Dulu, sebelum Raya mengetahui bahwa perasaan Nando hanya semu, ia orang yang paling semangat bertemu lelaki itu. Sekolah menjadi tempat favorit meski harus bertemu dengan matematika dan sederet pelajaran memusingkan lainnya. Ia selalu suka, karena ketika tiba di sekolah maka ia akan bertemu dengan Nando. Menghabiskan waktu dengan lelaki itu, bekerja sama untuk menjahili temannya. Mereka memang tidak sekelas, tetapi Nando selalu menyempatkan untuk datang ke kelasnya. Ke kantin, taman, lapangan basket, dan menemaninya di ruang sastra serta perpustakaan. Meskipun di sana, lelaki itu hanya diam sambil menunggu Raya menyelesaikan aktifitasnya.
Raya selalu suka menulis segala kegiatannya dengan Nando. Bahkan, ia sudah menghabiskan satu buku harian hanya untuk mengabdikan momennya bersama lelaki itu. Tetapi, kini cerita mereka sudah selesai. Dan Raya, tidak ingin menambah daftar catatan tentang lelaki itu. Bahkan dengan membacanya saja, memori Raya seolah masih tergambar jelas bagaimana Nando memperlakukannya. Membawakan bekal, selalu memberinya ruang dan waktu untuk apapun. Menemaninya ke manapun pergi.
Sampai saat ini, Raya bertanya-tanya. Di mana seorang teman yang melakukan apapun untuk temannya? Seperti Nando memperlakukannya dulu?
Sekarang, sekolah menjadi hal yang memuakkan untuk Raya. Tidak sesenang dulu ketika bertemu Nando, justru lelaki itu menjadi orang yang paling ingin ia hindari saat ini.
Namun, di ruang sastra ini sepertinya tidak akan membiarkan kenangan mereka berhenti di sini. Di ruangan sastra, seolah tidak membiarkan dirinya melewati hari tanpa Nando. Karena kenyataannya ia bertemu persis duduk bersebelahan dengan lelaki itu.
"Baik, sudah datang semua?"
Raya enggan menoleh ke Nelisa maupun Nando yang duduk berdampingan di sebelah kanan. Ruangan ini begitu luas, jika hanya untuk empat orang. Ia, Nando, Nelisa, dan Bu Riska.
"Sudah, Bu."
Nelisa menjawab santun.
Raya melirik gadis itu yang duduk persis di samping Nando. Jadi, saat ini Nando berada di tengah. Sedikit licik memang.
"Kalian akan berlatih bersama-sama selama dua bulan ke depan. Kalaupun nanti yang terpilih salah satu di antara Nelisa dan Raya, Ibu harap kalian tetap bisa menerima keputusan itu. Jika tidak bisa mengikuti lomba kali ini, latihan kalian bisa dijadikan pelajaran untuk lomba selanjutnya."
Raya membuang napas pendek. Agak sulit sepertinya harus berhadapan dengan dua manusia ini, dua bulan ke depan. Tetapi Raya harus tetap menjalankan keprofesionalannya. Ia harus membuktikan pada seseorang bahwa ia mampu. Lebih dari itu.
Bu Riska sibuk mengeluarkan beberapa kertas berupa lembar naskah. Kemudian perempuan paruh bayah berkacamata karena faktor usianya, memberikan dua lembar naskah untuk Raya dan Nelisa.
"Kalian pelajari dulu naskahnya. Kalau untuk praktek, nanti kita atur jadwal."
Bu Riska beralih menatap Nando, dengan memberikan satu lembar naskah juga.
"Kamu sama, pelajari saja dulu. Kalau nanti ada yang ingin ikut seleksi ini, Ibu akan menyeleksinya. Untuk sementara, kamu saja yang berlatih ya," ucap Bu Riska lembut.
"Baik, Bu." Mereka menjawab dengan serentak.
Ruang penat itu menjadi lebih lenggang ketika Nelisa dan Nando berpamitan untuk keluar. Menyisakan Raya dan Bu Riska di sini.
Raya tersenyum tipis, melihat punggung mereka yang kian menjauh. Tampak serasi dilihat dari sudut pandang manapun. Seharusnya, Raya sadar sejak awal.
"Kalian ada masalah?"
Raya menoleh, mendengar pertanyaan Bu Riska yang sepertinya guru itu tahu persis bagaimana pertemanan Raya.
Raya menggeleng pelan. "Engga, Bu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semestanya Raya
Novela JuvenilDidekati lelaki karena lelaki itu menyukai sahabatnya? Raya tidak pernah menyangka akan itu. Namun, di balik itu semua, nyatanya ada sosok yang membuat Raya tidak pernah bisa mendeskripsikan bagaimana lelaki itu hidup. Daffa Ganuar, lelaki itu tamp...