29. Gagal?

11 1 0
                                    

"Bener 'kan, Daff?"

Gadis itu terkekeh ringan, matanya nyaris berkaca-kaca. Semua yang ia perjuangkan sia-sia. Semua yang ia korbankan tidak ada apa-apanya. Mengapa ia selalu kalah dengan Nelisa? Iya, Raya tidak ingin menganggap Nelisa saingan karena gadis itu sahabatnya. Namun, cara pandang lingkungan sekitar yang membuatnya jadi seperti ini. Kenapa ia tidak boleh menang sekali saja?

"Ra, maafin gue."

"Kenapa jadi lo yang minta maaf?"

"Maaf karena kali ini, gue gabisa bantu lo, Ra. Tapi demi Tuhan, kalo lo butuh tempat cerita lo bisa panggil gue kapanpun. Kapanpun, Ra. Gue janji akan selalu ada buat lo."

Raya tersenyum lalu menggeleng pelan, "Jangan janji sama gue, Daff. Lo tau seberapa berharganya janji di hidup gue? Sekecil apapun bakal gue tagih, Daff. Terlalu banyak janji dari orang sebelumnya, yang nggak bisa gue pegang satu pun, gue jadi takut janji. Jangan ngomong seolah-olah lo bisa tepati semuanya. Nggak, lo nggak boleh janji apapun sama gue."

"Ra?"

Daffa menggeleng pelan. Sedalam apa luka yang Nando sematkan untuk gadis itu? Sampai-sampai apapun yang ia ucapkan seolah tidak ada artinya? Sejauh ini, ia selalu mengusahakan apapun untuk Raya kan? Tidak ada janji yang ia ingkari, tidak ada omong kosong yang ia tunjukkan? Tetapi kenapa susah sekali menyakinkan Raya? Bahwa dia dan Nando berbeda?

"It's okay, gue minta maaf. Tapi gue beneran, Ra. Lo harus cari gue kalo lo bingung mau ke mana ceritanya. Atau, perlu bantu bilang ke Mama lo tentang ini?"

"Daff, bisa stop nggak?" Gadis itu mengusap air matanya kasar. "Stop jadi kayak Nando, Daff. Gue bakal makin susah buat lupain dia. Lo nggak tau, setiap hal yang lo lakuin itu ngingetin gue sama dia. Jadi stop, Daff. Gue capek."

Daffa terdiam. Nando lagi, Nando lagi? Kapan gilirannya? Ia juga ingin mendapatkan setidaknya satu perhatian dari Raya. Entah sejak kapan, dunia Daffa seolah berpusat hanya pada Raya. Sehingga sesakit apapun ia berada di sekitar gadis itu, Daffa tetap bertahan. Ia tetap jatuh cinta, setiap hari.

Raya mengusap air matanya sekali lagi, kemudian berdiri. Menatap Daffa seperkian detik, "Berhenti, Daff. Gue nyakitin lo. Lo emang baik, tapi gue takut lo kayak gini cuma di awal aja. Gue takut, kalo apa yang lo tunjukin sekarang cuma bertahan ketika lo udah dapetin gue. Setelah itu semuanya berubah. Omong kosong, Daff. Rasa sayang yang bertahan dari awal sampai akhir. Omong kosong."

Lalu gadis itu berlari, meninggalkan Daffa sendirian yang kini hanya bisa diam. Membiarkan punggung mungil gadis yang ia cintai menjauh. Raya mungkin benar. Ia termasuk orang yang ketika sudah mendapatkan seseorang yang ia suka, akan berubah. Namun, ia pastikan tidak dengan Raya. Karena sungguh, perasaan ini benar-benar tidak bisa ia hilangkan barang sedetik pun. Daffa tidak bisa melihat Raya menangis, terluka sekecil apapun, apalagi sampai berantakan. Daffa tidak bisa. Ia selalu ikut hancur, saat Raya hancur. Ia bahkan ingin menolak pemeran itu, tetapi tidak bisa. Sudah terlanjur.

"Ra, maaf."

* *  *

"Selamat ya, Nel? Gue ikut seneng haha, semoga sekolah kita kali ini juara ya. Soalnya udah dua tahun berturut-turut cuma dapet juara tiga. Gue yakin kalo ini lebih dari itu. Jangan lupa kalo menang makan-makan."

"Ra? Are you okay?"

Raya terdiam, ingin menangis saja rasanya jika ditanya sepeti itu. Tetapi mana mungkin? Ia akhirnya memaksakan untuk tersenyum kemudian mengangguk cepat. "Gue oke kok, kan sahabatnya kepilih masa gue sedih? Lagian lo sih, nggak dari dulu."

"Maaf, Ra. Harusnya tetep lo kan?"

"Isss apa sih lo, Nel? Kalo di sini gue udah kalah, gimana di sana? Jadi kalo ada yang lebih baik kenapa enggak? Sekolah juga pengen hasil yang terbaik, Nel. Lo pasti bisa, semangat ya?"

Nelisa mungkin egois soal Nando tetapi untuk yang satu ini, ia paham sekali bagaimana perasaan Raya. Itu yang membuatnya tidak mau ikut seleksi lomba dua tahun lalu karena ingin Raya yang maju. Namun, tahun ini ia menerima tawaran itu dan berharap tetap Raya yang menjadi andalannya, tetapi ternyata, dirinyalah yang terpilih. Ia merasa bersalah untuk sesuatu yang bukan salahnya.

"Makasih, Ra."

Pada akhirnya Nelisa hanya bisa tersenyum tipis. Berharap semuanya baik-baik saja. Berharap, keselisihan di antara mereka segera membaik.

"Sama-sama, Nel. Oh iya, gue duluan, ya? Mau ke kamar mandi sebentar."

"Ra—lo——"

"Nggak, Nel. Gue cuma mau buang air kecil aja, kok! Lo tenang aja!"

Dan sialnya, Nelisa paham bahwa perginya Raya ke kamar mandi bukan semata-mata untuk buang air, tetapi untuk mengasingkan diri. Untuk melupakan kesakitannya dan mungkin akan menangis kencang di sana. Namun, sialnya lagi, Nelisa tidak bisa melakukan apapun untuk menenangkan Raya seperti gadis itu menenangkannya. Sebab selalu seperti ini, Raya terlalu tertutup untuk dirinya yang apapun ia ceritakan.

Semestanya RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang