"Kemaren lo ke mana? Kenapa nggak balik ke kelas abis dari ruang sastra?"
Raya mengangkat bahu tak acuh, menaruh tasnya. Ia menghadap ke sumber suara, karena yang bertanya duduk tepat di bangku belakangnya.
"Bolos," jawabnya jujur.
Raya kembali memutar tubuh, tangannya bergerak mengikat rambutnya yang sempat ia urai, mengabaikan beberapa teman yang masuk dan suasana mulai bising.
"Lo bisa dihukum."
"Gue tau." Raya menyahut lugas, menoleh sebentar, "Gue udah tau konsekuensi dari apa yang gue lakuin, gue udah siap terimanya."
Nelisa akhirnya memilih untuk menghampiri Raya dan duduk di samping gadis itu. Bagaimanapun Raya itu sahabatnya, ia tidak mungkin membiarkannya tersesat pada jalan yang salah.
"Sebelumnya lo nggak gini, Ra. Lo kenapa? Apa yang buat lo nekat kayak gini. Gue tau banget, sepatuh apa lo sama peraturan."
Raya menatap Nelisa dengan tatapan yang sulit Nelisa artikan. Apalagi ketika gadis itu menarik sudut bibirnya membentuk lengkungan senyum, Nelisa sama sekali tidak paham dengan isi kepala Raya. Terlalu susah dibaca.
"Nggak apa-apa 'kan kalau sekali-kali gue langgar? Banyak peraturan yang buat gue muak, Nel. Di rumah, sekolah, bahkan perasaan."
Nelisa menggeleng lemah. Ini bukan Raya yang pernah ia kenal. Nelisa tahu, semua orang pernah merasa capek dengan segala peraturan yang ada di dunia ini. Tetapi sebelumnya, Raya adalah orang yang tak pernah ia sangka akan seperti ini.
"Gue harap, lo nggak ngulangin kesalahan ini lagi, Ra. Lo harus tau, hukuman itu nggak ada yang enak," kata Nelisa pelan, ia sangat sayang dengan sahabatnya. Ia tak mungkin membiarkan Raya terjerumus ke hal yang salah.
Raya mengangguk dengan mata menyorot kosong, "Peraturan juga nggak selamanya enak, Nel."
Nelisa hendak membalas lagi, tetapi guru sudah datang. Akhirnya ia memilih pertanyaan lain, yang menurutnya lebih penting sekaligus rasa penasarannya tak bisa ia tahan lagi. "Lo pergi sama Nando juga?"
Dan Raya memilih diam.
* * *
Jam kedua membuat Raya bosan, pelajaran fisika memang selalu membuatnya kesal. Salah sendiri memilih jurusan yang banyak berurusan dengan angka. Gadis itu sudah menguap beberapa kali, mendengar samar-samar penjelasan guru di depan. Tanpa ia sadari, sedari tadi ada yang memperhatikannya dalam diam.
"Bu!"
Raya menoleh ketika suara seseorang yang amat ia kenal, terdengar. Bersamaan dengan itu juga, suasana menjadi hening.
Lelaki itu menoleh ke arah Raya, membuat tatapan mereka bertemu. Raya mengangkat alis seolah bertanya, tak tahu mengapa Daffa malah tersenyum padanya.
"Raya sakit kayaknya, Bu. Dia perlu ke UKS."
Raya melongo, reflek menunjuk dirinya sendiri dengan tatapan bingung. Kini, semua mata tertuju padanya, begitu pula dengan guru.
"Benar, Raya?"
Gadis itu tersentak, reflek menoleh ke guru. Ia gelapan sendiri bingung harus mengatakan apa. Karena sejujurnya ia sangat mengantuk, tetapi ia tidak ingin ketinggalan pelajaran.
Sekarang, Raya bingung harus menjawab apa.
Gadis itu menoleh pada Daffa, yang memasang wajah seperti orang tak berdosa. Ia mengepalkan tangannya dengan kesal."Iya kan, Ra? Tadi gue liat lo pegang kepala mulu." Daffa menyeletuk sedikit berteriak.
"Lo perhatiin gue terus?"
"Cieee!" Sorakan teman satu kelasnya, membuat Raya berdecak.
Raya menatap lelaki itu kesal. "Engga, Bu. Daffa emang orangnya suka iseng, orang gila dia tuh!"
Di ujung sana, Daffa tampak tersenyum tanpa dosa. Alisnya terangkat satu, mengejek Raya yang sempat mendumel. Ini adalah salah satu kegiatan menyenangkan bagi Daffa. Membuat Raya marah, dan melihat gadis itu cemberut.
"Yasudah, kita mulai lagi pelajarannya."
Semua kembali hening, fokus memperhatikan guru. Begitupula dengan Raya yang mulai ikut fokus.
Waktu satu jam lebih untuk pelajaran fisika memang sangat menguras energi. Raya menghembuskan napas panjang ketika pelajaran akhirnya selesai. Ia hendak beranjak untuk keluar kelas, tetapi urung ketika Nelisa memanggilnya.
"Raya!"
Raya menoleh, mengangkat satu alis. "Kenapa?"
"Gue mau ngobrol sama lo, boleh?"
Raya mengangguk pelan, kembali duduk. Suasana kelas memang sudah sepi, karena mereka sibuk ke kantin dan sebagainya. Nelisa berjalan mendekat ke Raya. Menggeser satu kursi lalu duduk di samping sahabatnya.
Mereka sempat terdiam cukup lama, canggung. Tidak biasanya mereka seperti ini. Bahkan Nelisa merasa, ia seperti baru mengenal Raya.
"Lo marah sama gue?" Nelisa menatap tepat pada mata Raya, mencoba mengajak berbicara dari hati ke hati.
Raya yang lebih dulu mengalihkan pandangannya. Menatap lurus pada pintu kelas, "Nggak. Gue nggak pernah marah sama lo."
"Terus sekarang apa? Kita kayak orang asing tau nggak?" Nelisa benar-benar tidak tahu harus menjelaskan bagaimana perasaannya sekarang. Ia bingung.
"Nggak ada yang asing, Nelisa. Gue punya kesibukan, begitupun lo. Sekarang lo udah bagi waktu, nggak sepenuhnya buat gue kan? Ada yang setiap hari, setiap saat minta waktu lo. Dan itu yang buat waktu lo ke gue berkurang. Gue nggak masalah, dan gue nggak ngerasa asing. Itu cuma perasaan lo aja. Lo butuh adaptasi sama suasana baru ini."
Nelisa menunduk, menyadari bahwa dirinya di sini bersalah. Sewaktu Raya dekat dengan Nando, Raya selalu pas membagi waktu untuk dirinya. Tetapi ketika dirinya bersama Nando, ia bahkan sering tidak menemui Raya. Nelisa membuang napas panjang, ia kembali menatap Raya.
"Ra."
"Hem?"
"Di dunia ini akan selalu ada manusia yang semula akrab banget mendadak jadi asing 'kan?"
Raya kali ini, memilih membalas tatapan sahabatnya. Entah mengapa, mendengar kalimat Nelisa barusan, dadanya terasa sesak. Ia menyadari bahwa semua yang datang juga bisa pergi. Semua yang pernah saling, juga bisa asing. Keraguan itu terus menyeruak. Raya berusaha membuang fakta yang ada. Karena sejatinya, ia tidak ingin benar-benar asing dengan siapapun. Apalagi Nelisa, sahabatnya dan satu orang yang berhasil mencuri seluruh perhatiannya.
Nando.
Ia mengangguk ragu, dengan senyum tipis. "Gue nggak bisa menyangkal itu."
"Tapi kalau gue minta tolong sama lo, kita tetep jadi orang yang akrab apa lo bisa?"
Raya tersenyum kecut mendengar pertanyaan Nelisa yang lebih terdengar permintaan. Ia tidak bisa berjanji, karena sesuatu yang membuat sakit bukankah harus dijauhi? Semakin lama ia berada di dekat Nelisa, maka ia juga akan selalu ada di sekitar Nando. Itu semua luka baginya.
Ia menggeleng samar. "Gue selalu mengusahakan itu, tapi nggak untuk berjanji, Nel. Ada atau tanpa gue, akrab maupun asing, kita masih saling berdampingan."
Raya menyentuh pundak Nelisa yang sedang menunduk. "Bahagia terus, Nel. Gue bahagia, kalo lo bahagia."
Aku selalu menulis tentang sesuatu yang semula baik-baik aja kayak nggak terpisahkan tetapi pada akhirnya menjadi asing. Karena aku tau, nggak ada yang benar-benar menetap. Semua akan pergi sesuai waktu dan masa yang ditentukan.
Menjadi asing itu nggak berpengaruh apa-apa, kalau sebelumnya nggak pernah ada interaksi khusus. Tetapi menjadi asing itu luka, ketika sebelumnya pernah saling.
See you, semoga yang asing bisa kembali saling. Semoga yang asing, selamanya nggak datang kembali. Lembaran baru sepertinya jauh lebih menarik.
Selamat menyelam, pada bab selanjutnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Semestanya Raya
Fiksi RemajaDidekati lelaki karena lelaki itu menyukai sahabatnya? Raya tidak pernah menyangka akan itu. Namun, di balik itu semua, nyatanya ada sosok yang membuat Raya tidak pernah bisa mendeskripsikan bagaimana lelaki itu hidup. Daffa Ganuar, lelaki itu tamp...