15. Semu

7 3 0
                                    

"Biarkan aku yang mengejarnya!"

Raya mengusap wajahnya frustasi ketika suaranya melemah, padahal intonasi yang harus ia keluarkan adalah tegas. Ia mengambil naskahnya kembali, lalu membaca ulang. Memejamkan mata, mengatur napas kemudian menghadap kaca besar di hadapannya.

"Biarkan aku yang mengejarnya!"

Raut wajahnya tampak mengeras, lalu ia mulai berlari, mempraktekan apa yang tertulis di ceritanya.

"Hebat juga lo."

Raya menoleh saat telinganya menangkap suara seseorang yang sangat familiar. Ia kemudian berbalik, sebelum akhirnya membenarkan rambutnya yang sempat berantakan karena ia berulang-ulang latihan. Menghampiri lelaki berseragam olahraga.

"Ngapain lo ke sini?"

Daffa menyugar rambutnya kemudian menaikkan satu alis. Duduk di dekat kursi yang di depannya ada meja serta selembar naskah milik Raya.

"Bu Riska mana? Kenapa lo latihan sendirian?"

Raya ikut duduk sambil menggeleng pelan, meraih satu botol minum yang ia bawah dari rumah. Mengamati Daffa yang memakai kaos olahraga padahal tak ada pelajaran olahraga sekarang.

"Katanya lagi revisi naskah punya Nando," jawabnya pelan.

Raya meletakkan kembali minumnya, kemudian menatap Daffa dengan dahi berkerut heran. "Sejak kapan pelajaran olahraga pindah?"

Daffa menunduk untuk melihat seragamnya sendiri kemudian terkekeh. Ini adalah jam istirahat yang seharusnya mereka gunakan untuk ke kantin atau apa. Namun, Raya memilih ke ruang sastra. Daffa mengetahui Raya ada di sini, karena akhir-akhir ini Raya memang giat berlatih.

"Baju gue basah." Ia menyengir. "Tadi waktu ke kantin, nggak sengaja nabrak orang. Dia bawa es, berakhir deh baju putih Abu-Abu gue basah. Untung di loker ada baju. Ya walaupun agak menyimpang dari jadwal."

Raya mangut-mangut, suasana menjadi hening. Entah Daffa maupun Raya memilih sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sebelum akhirnya fokus Raya terbelah, ketika terdengar suara seseorang yang baru memasuki ruangan.

"Ra, kata Bu Ris——"

Langkah Nando terhenti di ambang pintu. Tatapan matanya sempat bertemu dengan Raya, sebelum teralih pada Daffa yang hanya memasang wajah datar. Lelaki yang memegang selembar naskah serta satu plastik jajanan itu berjalan mendekat ke arah Raya.

"Nelisa lagi ada urusan sama Bu Riska, jadi kita disuruh latihan berdua dulu." Nando berbicara sambil meletakkan satu kantong plastik berisi jajanan tersebut di meja, menoleh pada Daffa sejenak. "Lo ngapain ke sini?"

Daffa sudah menduga pertanyaan itu akan keluar dari mulut Nando. Ia menaikkan sebelah alis lalu terkekeh pelan. "Emang ada yang ngelarang gue ada di sini?"

Nando berdecak, menatap lelaki itu tajam. "Lo nggak denger kalo kita mau latihan? Dengan adanya lo di sini itu ganggu."

"Gue nggak berniat ganggu siapapun. Lagian, itu buat ngelatih mental kalian. Emang nanti waktu pentas nggak diliatin penonton? Mana lebih banyak." Daffa balik menatap Nando tajam. Oh ayolah, ini latihan lomba bermain peran, bukan olimpiade matematika.

Raya memijat pelipisnya, ia harus waspada karena bisa saja dua orang di depannya ini terbawa emosi. Entahlah akhir-akhir ini Raya dibuat pusing dengan tingkah dua lelaki di depannya.

"Nggak perlu ditonton lo juga."

"Ya terus urusannya sama lo apa?"

"Gue nggak suka."

"Eh sadar, dia bukan siapa-siapa lo! Gue jadi kasian sama Nelisa punya cowok modelan lo!"

"Lo berdua bisa diem nggak sih, hah?!"

Kedua lelaki itu langsung terdiam mendengar suara Raya yang menggema. Kemudian sama-sama masih melempar tatapan saling menyalahkan. Raya mengusap wajahnya kasar. Ia hanya ingin berlatih dengan tenang, bukan malah menonton orang berdebat.

"Daffa."

Daffa menoleh saat namanya disebut. "Lo keluar sekarang juga."

"Tapi—"

"Keluar!"

Daffa tersentak, sebelum akhirnya mengangguk pasrah. Ia keluar sambil menahan jengkel karena melihat senyum kemenangan dari Nando. Daffa ikut kesal, karena lelaki yang sudah memiliki kekasih itu masih saja berupaya mendekati Raya. Cih dasar! Tidak tahu malu.

                 ***

"Kenapa nggak bales chat gue?"

Raya mendengkus, "Kita di sini mau latihan, bukan bahas yang lain."

Nando menggeleng pelan menyadari perubahan Raya sudah banyak. Tidak ada lagi suara lembut yang dulu hanya Raya keluarkan saat bersamanya atau senyuman yang selalu gadis itu sematkan untuknya. Sekarang hanya tersisa raut wajah yang datar serta dingin, suaranya mulai ketus juga terkadang terdengar malas berbincang dengannya.

"Gue salah apa sama lo, Ra? Lo ngerasa gue selingkuhin lo? Padahal kan lo tau, kita nggak pernah ada hubungan apa-apa. Jadi, tolonglah tetep kayak dulu. Kayak Raya yang gue kenal. Gue sayang sama lo, sebagai sahabat."

Raya terdiam dengan dada yang bergemuruh hebat. Perkataan Nando menghantam tepat di uluh hatinya. Ia sadar itu sejak awal. Bahwa cintanya memang tidak akan terbalas sampai kapanpun. Salahkan dirinya yang menganggap persahabatan mereka bisa lebih. Namun, dari awal juga mereka tak saling menyematkan kata sahabat. Mereka hanya menjalani kesehariannya dengan saling membantu, mengisi, dan melakukan banyak hal bersama.

Raya sadar, tidak salah jika Nando menyematkan hubungan mereka sebatas sahabat dan ia rasa dirinya juga melakukan hal yang sama karena tidak ada kemajuan dari hubungan mereka. Namun, itu saat Raya belum tahu jika Nando mempunyai perasaan yang sama dengan Nelisa—sahabatnya juga. Benar kata Nando, tidak seharusnya dia menjauh dari Nando maupun Nelisa. Mereka berhak saling mencintai tanpa kehilangan dirinya tetapi bagaimana dengan perasaannya sendiri? Raya hanya ingin menjaga jarak dengan Nando karena tidak mau perasaannya semakin tumbuh. Itu juga ia lakukan demi menjaga hati Nelisa.

Raya terkekeh, tidak menyangka jika Nando akan mengatakan hal demikian. Seharusnya Nando bisa menegur dengan cara yang lain, tidak seperti ini.

"Gue tau, Nando. Makanya itu gue sadar diri. Gue maupun lo cuma anggap hubungan sebelumnya sebatas sahabat, nggak lebih. Gue nggak ngerasa diselingkuhin sama lo. Oke, karena di awal-awal gue marah sama lo, karena selama ini gue kira kita punya perasaan yang sama tapi ternyata nggak. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, lo nggak salah Nando. Di sini gue yang salah karena bawa perasaan."

Raya berusaha sekali menahan suaranya agar tidak bergetar pun dadanya yang mulai terasa sesak. Menyampaikan kalimat menyakitkan itu tidak mudah apalagi perihal rasa sayang.

"Gue jauhin lo bukan karena gue kecewa sama lo. Tapi gue perlu sembuh dan lebih sayang diri gue sendiri, Do. Gue juga menghargai Nelisa. Gue nggak mau dia sakit, karena lo lebih deket sama gue. Sampai sini lo paham 'kan?"

Raya menatap Nando yang kini hanya bisa diam dengan raut wajah sendu. Kemudian menarik sudut bibirnya membentuk lengkungan senyum tipis. "Jangan ganggu gue lagi, Do. Ini semua demi hubungan baik kalian. Gue yakin, Nelisa bakal ngerasa sakit kalau seandainya dia tahu semuanya."

Nando menggeleng lemah, menahan tangan Raya yang hendak pergi. "Lo sahabat gue, Ra. Gue nggak mungkin biarin lo jauhin gue."

"Tapi gue punya perasaan sama lo. Gue udah melanggar hubungan persahabatan itu sendiri."

Raya dan Nando menoleh ketika suara perempuan lain terdengar. Kemudian keduanya sukses membeku dan Nando yang reflek melepaskan tangan Raya.

"Maksudnya, Raya—— lo?"


Semestanya RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang