"Permisi, Bu."
"Silahkan masuk, Ra."
Raya mengangguk seraya berjalan mendekat. Gadis itu tersenyum tipis dan menyalimi Bu Riska, kemudian mengambil duduk di kursi yang berseberangan dengan meja, berhadapan langsung dengan guru tersebut.
"Ibu sudah panggil kamu lima belas menit yang lalu loh, Daffa baru bilang apa gimana?"
Raya sedikit mengerucutkan bibirnya, masih tampak kesal dengan Daffa.
"Nggak tahu tuh anak, lain kali jangan minta tolong dia, Bu. Dia mah anaknya aneh," jawab Raya masih terlihat kesal.
Bu Riska justru tertawa, sembari tangannya mengambil sesuatu dari laci mejanya. Ia menatap Raya, sebelum berucap, "Nggak boleh gitu, nanti kalo nggak ada dia kesepian loh." Guru itu lantas terkekeh.
Raya segera menggeleng, tidak akan pernah ia kesepian hanya karena tidak ada Daffa! Justru ia akan sangat senang jika lelaki itu berhenti mengusiknya.
"Nggak akan, Bu. Anak itu mau ngapain juga nggak peduli."
"Tapi, Ra."
Raya menautkan alisnya bingung, ketika Bu Riska tidak melanjutkan ucapannya. Guru tersebut justru menggeser kertas tepat di depan Raya.
"Kenapa, Bu? Ada lomba lagi?" tanya Raya kali ini terdengar lebih antusias.
Bu Riska tersenyum, "Iya, tapi kali ini lombanya berdua. Seleksi pemeran utama untuk pentas drama antara sekolah se-provinsi. Ada dua kemungkinan kandidatnya. Kamu yang udah pasti anak sastra yang Ibu tahu talentanya, sama Nelisa rekomendasi wali kelas kamu dan guru bahasa. Itu buat yang perempuan."
Raya menghembuskan napas pendek. Senyumnya tidak selebar tadi. Ia hanya tersenyum tipis, kabar ini tidak lagi menggembirakannya. Entah kenapa, kali ini ia merasa ragu.
"Kenapa muka kamu jadi nggak semangat gitu? Kamu nggak tertarik sama lombanya?" tanya Bu Riska, menyadari air muka Raya berubah drastis.
Bu Riska tahu betul, bagaimana cintanya Raya dengan Sastra. Entah itu dalam bentuk hal tulis menulis, atau menjadi pemeran dalam sebuah drama, film pendek, ataupun yang lainnya.
Raya menggeleng pelan. "Bukan gitu, Bu. Tapi kali ini saya nggak yakin."
Dahi Bu Riska berkerut, terlihat sekali rasa penasarannya. Biasanya Raya tidak bersikap seperti ini, gadis itu selalu antusias dalam lomba yang berbau sastra.
"Loh kenapa?"
Raya membuang napas pendek. "Semua juga tahu, Bu. Kalau saya sama Nelisa lebih berbakat siapa. Selama ini, dia cuma nggak tertarik aja kan sama sastra jadi saya terus yang maju. Itupun sebatas juara tiga."
Bu Riska tersenyum hangat, ia paham dengan apa yang dirasakan muridnya. Sekarang Raya sedang merasa kecil dengan kemampuan yang gadis itu punya.
Wanita paruh bayah itu mengusap rambut Raya pelan. Dia sudah menganggap Raya seperti anaknya sendiri, sangat senang jika bertemu dengan gadis itu. Pembawaannya selalu menyenangkan.
"Kamu harus yakin, Raya. Ibu memang akan menyeleksi sesuai kemampuan kalian. Tetapi Ibu yakin kamu bisa. Kamu hanya perlu berlatih lebih giat lagi ya, nanti eskul ibu berikan materi tambahan." Wanita itu masih mempertahankan senyumnya.
Usianya yang tak lagi muda, dengan kerutan di dahi sudah terlihat tetapi kehangatan perempuan itu membuat Raya betah berada di sini. Ia selalu merasa diapresiasi dan dianggap keberadaannya sekecil apapun.
Raya mengangguk pelan, penuh keyakinan. Ia hanya perlu berlatih lebih giat lagi, maka tidak ada yang tidak mungkin.
Bu Riska senang, akhirnya Raya kembali pada semangatnya. "Kalau gitu, setelah ini tolong panggilkan Nando ya? Ibu mau bicara sama dia, sepertinya untuk pemeran cowoknya dia."
Raya kembali terdiam. Sedikit terkejut sebenarnya, tetapi ia berusaha biasa saja. Tidak heran seharusnya, karena Nando terkenal tampan dan memiliki kenalan yang banyak di sekolah ini. Pasti banyak guru yang menyarankan lelaki itu.
Meski sedikit kesal, dan sebenarnya ia tidak ingin menemui lelaki itu. Tetapi Raya tidak mau menolak perintah Bu Riska.
Sembari bangkit, gadis itu mengangguk. "Baik, Bu. Nanti saya panggilkan, saya permisi dulu."
Bu Riska mengangguk, setelah bersalaman, Raya beranjak keluar. Guru itu menghelah napas panjang.
"Kamu bisa lebih dari yang kamu kira, Ra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semestanya Raya
Fiksi RemajaDidekati lelaki karena lelaki itu menyukai sahabatnya? Raya tidak pernah menyangka akan itu. Namun, di balik itu semua, nyatanya ada sosok yang membuat Raya tidak pernah bisa mendeskripsikan bagaimana lelaki itu hidup. Daffa Ganuar, lelaki itu tamp...