Waktu sudah menunjukkan sore hari. Matahari yang perlahan mulai terbenam membuat suhu udara tidak sepanas siang tadi.
Aylin dan Hendery, kedua sejoli itu kini sedang berada di sebuah taman. Duduk diatas tanah berlapis rumput sambil memandangi danau buatan yang berada beberapa meter di hadapan.
Suasana taman tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa anak kecil yang tengah bermain ditemani oleh para orangtua. Namun jaraknya lumayan jauh dari tempat Aylin dan Hendery duduk. Mungkin karena di sana dekat dengan danau sehingga berbahaya bagi anak kecil jika terjatuh.
Terhitung sudah lima belas menit mereka di sana. Tanpa ada yang mengeluarkan sepatah kata untuk memecah keheningan yang tercipta sejak meninggalkan kampus.
Untuk kesekian kalinya, Hendery memperhatikan Aylin yang hanya diam dengan pandangan lurus ke arah danau. Entah benar-benar tertarik, atau hanya enggan untuk sekedar melihat dirinya.
Jelas, Hendery tau apa yang membuat sikap Aylin berubah dalam sekejab.
Hendery menghela napas berat. Seharusnya, dari awal dia tidak perlu membawa Aylin ke kampusnya.
"Lin," Panggil Hendery, memecah keheningan.
"Hm?"
"Kalau ada yang ganggu pikiran kamu, kamu bisa tanya langsung sama aku. Aku nggak keberatan." Hendery semakin menatap lekat ketika Aylin mulai menoleh melihatnya. "Jangan diem aja, Lin. Diem kamu bikin aku takut,"
"Takut kenapa?"
"Takut..." Hendery kembali meluruskan pandangannya ke arah danau. Namun sorot matanya berubah menjadi sendu.
"Takut kamu tiba-tiba pergi ninggalin aku karena omongan mereka."
Mendengarnya, Aylin terdiam. Bingung ingin merespon seperti apa.
Jujur, Aylin juga sebenarnya tidak mau mudah percaya dan menelan mentah-mentah semua yang mereka katakan. Ucapan-ucapan teman Hendery, mungkin bisa Aylin anggap sebagai sebuah candaan belaka. Mengingat mereka melontarkan kalimat buruk itu sambil tertawa.
Tapi perempuan itu... Menggoyahkan semuanya.
Sekeras apapun Aylin berusaha menyingkirkan semua pikiran negatif tentang Hendery, omongan perempuan itu terus saja berputar dikepalanya seperti kaset rusak.
Aylin takut.
Jika semua itu benar, maka dia tidak punya alasan lagi untuk menyukai Hendery.
Dan Aylin belum siap kehilangan cowok itu. Orang yang menjadi alasannya tersenyum akhir-akhir ini.
"Cewek yang tadi itu... Siapa kamu, kak?"
Hendery tidak langsung menjawab. Cowok itu nampak berpikir sejenak.
"Mantan," Hendery terkekeh pelan. "Mantan yang gagal move on lebih tepatnya. Aku nggak maksa kamu untuk percaya sama aku. Tapi, dia emang selalu begitu. Ngomong yang jelek-jelek tentang aku ke semua cewek yang lagi aku deketin."
Hendery tersenyum dengan mata yang menatap Aylin dengan lembut. Tangannya bergerak, mengelus puncak kepala Aylin.
"Lin, aku nggak akan menjelaskan diri aku cuma untuk keliatan baik di mata kamu. Tapi..." Hendery menggantungkan kalimatnya. Satu tangannya yang semula mengusap puncak kepala Aylin, kini pindah menyentuh pipi chubby cewek itu.
"Aku minta kamu mikir ulang. Selama kenal aku, apa aku pernah ngelakuin hal buruk sama kamu? Apa aku pernah bikin kamu ngerasa nggak nyaman sama aku? Kalo pernah, kamu boleh tinggalin aku kapanpun kamu mau, Lin." Ucap Hendery, sebelum akhirnya kembali menjauhkan tangannya dari Aylin.
KAMU SEDANG MEMBACA
ME WHEN?
Teen FictionKetika dunia hanya milik si cantik. Memiliki teman cantik dan populer mungkin merupakan impian sebagian besar pelajar. Dimana setiap berjalan, maka seluruh mata akan memandang. Selain itu, teman pun akan berdatangan dengan sendirinya. Ya, bahasa kas...