Warning!!
Ini latar waktunya masih sama kayak part sebelumnya. Jadi, yang udah lupa bisa dibaca ulang part sebelumnya sebelum baca part ini yaaaa 👌👌
Happy reading, guyss😻
------------------------------------------------------------
Gue kayaknya keterlaluan, deh..
Kenapa gue ngomong kayak gitu ya tadi?
Vian pasti marah baget.
Bego lo, Ay. Lo bego.
Nyatanya, rasa bersalah itu terus menghantui Aylin. Dengan pikiran berkecamuk, ia terus berjalan menyusuri trotoar untuk menuju halte. Langit yang semakin berubah warna menjadi abu pertanda akan turunnya hujan tidak membuat Aylin mempercepat langkahnya.
Dalam diamnya, Aylin hanya terus berandai-andai.
Andai... dia bisa sedikit saja mengendalikan emosinya.
Andai... dia bisa lebih berpikir jernih dan menjaga ucapannya.
Andai... dia bisa memutar waktu.
Kalau saja bisa, Aylin ingin kembali ke malam itu. Malam dimana Aylin menyuruh Vian untuk mendekati Sesil.
Kalau saja percakapan itu tidak pernah terjadi, Vian pasti masih bersamanya kan? Bukannya dengan Sesil.
Seharusnya begitu.
Ya, Aylin tau. Dari awal, semuanya memang salahnya. Tindakan Vian hari ini pun bisa dimengerti. Aylin terlalu tidak peka dengan perasaan Vian. Bahkan... Dengan perasannya sendiri.
Hanya karena takut kembali terluka, Aylin memilih menyangkal semuanya. Tidak mau kembali jatuh sendirian seperti bersama Hendery dulu. Tapi Aylin tidak tau, kalau sikap yang ia ambil justru menyakiti Vian. Sebentar lagi, mungkin dia akan kehilangan sosok Vian.
Aylin menyesal. Sungguh.
Namun, apakah sudah terlalu terlambat bagi Aylin untuk memperbaiki semuanya? Mengingat Vian sepertinya sudah jatuh dengan perempuan lain. Perempuan yang sepertinya lebih bisa menghargai cowok itu dibanding dia.
Semakin dipikirkan, Aylin semakin mengerti rasa sakit yang mungkin dirasakan oleh Vian selama ini.
Pada dasarnya, sekuat-kuatnya orang mereka juga pasti memiliki batas maksimal untuk berjuang.
Mungkin Vian sudah menyentuh batas itu. Vian sudah mencapai titik lelahnya dalam menghadapi Aylin.
Sekali lagi, semua ini salahnya.
“Cewek, kiww kiww. Cakep amat!
Namanya siapa??”
“Mau dianterin nggak nih sama abang??”
“Idihh sombong diajak ngobrol langsung lari!”
Aylin meringis melihat dua orang perempuan berseragam putih abu-abu yang berlari terbirit-birit karena digoda oleh segerombol laki-laki berpenampilan urakan yang tengah berkumpul di dekat halte.
Kakinya langsung berhenti melangkah begitu saja. Genggaman tangannya pada dua sisi tali tas gembloknya mengerat.
Menggigit bibir bawah dengan kuat, ia mulai ragu untuk melanjutkan langkah.Namun, ia juga terlalu enggan untuk putar balik. Aylin ingin cepat pulang. Bergelut dengan kasur empuk kesayangannya. Dan satu-satunya jalan adalah menghadapi sekumpulan jamet itu.
“Duh, gimana ini njir?” gumam Aylin, entah pada siapa.
Mengeluarkan ponselnya dari saku rok abu-abu dengan tergesa, Aylin langsung bergerak mencari roomchat bersama Ojil.
KAMU SEDANG MEMBACA
ME WHEN?
Teen FictionKetika dunia hanya milik si cantik. Memiliki teman cantik dan populer mungkin merupakan impian sebagian besar pelajar. Dimana setiap berjalan, maka seluruh mata akan memandang. Selain itu, teman pun akan berdatangan dengan sendirinya. Ya, bahasa kas...