19. Bukan Prioritas.

260 43 12
                                    

Drama live action yang sialnya ikut menyeret Aylin sudah berakhir sepuluh menit yang lalu. Tepatnya, setelah dua orang security turun tangan memisahkan mereka semua.

Dan sekarang di sinilah Aylin. Berdiri di depan loby mall dengan Hendery yang terus saja menjaga Flara.

Seperti orang bodoh, Aylin hanya diam sambil terus memperhatikan.

Memperhatikan bagaimana Hendery terus merangkul Flara seolah Flara tidak dapat berdiri sendiri.

Memperhatikan bagaimana Hendery melepas jaketnya untuk Flara agar tidak kedinginan.

"Lin," Panggil Hendery.

"Hm?"

"Aku antar Flara pulang dulu, ya. Kasian dia kondisinya lagi nggak baik-baik aja," Ucap Hendery. Tidak sepenuhnya meminta izin, karena setelah mengatakan hal itu, Hendery langsung berbalik dan bergerak membawa Flara pergi bahkan sebelum Aylin menjawabnya.

Aylin tersenyum getir melihatnya.

"Terus... aku gimana?" Tanya Aylin dengan suara bergetar yang langsung membuat langkah Hendery dan Flara berhenti. Air mata yang menggenang di pelupuk matanya, membuat pandangan Aylin sedikit mengabur menatap Hendery.

"Apa aku keliatan baik-baik aja, kak? Aku juga berantakan. Bukan cuma Flara yang butuh pertolongan di sini,"

"Lin--"

"Aku bisa pesenin Flara taxi, dan kamu bisa anterin aku pulang. Bukannya kita berangkat bareng seharus kita pulang--"

"Jangan egois, Aylin." Sela Hendery.

Aylin langsung terdiam mendengarnya.

"Flara itu temen kamu dan kondisi kalian itu beda. Seharusnya kamu  ngerti kalo sekarang bukan cuma fisiknya dia yang luka, tapi mentalnya juga. Dia habis diselingkuhin kalo kamu lupa." Hendery kembali mengeratkan rangkulannya pada pundak Flara.

"Aku anter Flara pulang. Kamu tunggu di sini. Nanti aku balik lagi jemput kamu. Jangan kemana-mana sebelum aku datang." Tidak mau memperpanjang perdebatan dengan Aylin, Hendery memilih berbalik dan membawa Flara pergi dari sana.

Meninggalkan Aylin yang hanya menatap kepergian temannya bersama laki-laki yang ia cintai dengan pandangan sendu.

Aylin tersenyum miris. Merasa malu dengan dirinya sendiri karena sempat terlalu percaya diri bahwa dirinya akan menjadi kekasih seorang Hendery hari ini.

Nyatanya, Aylin bahkan tidak dijadikan prioritas utama.

Tangannya bergerak menghapus air mata yang berhasil lolos di pipi kirinya begitu menyadari banyak pasang mata yang tengah memperhatikannya. Kemudian memilih berjalan menuju bangku panjang dan duduk di sana.

Menghela napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Berharap hal itu dapat mengurangi rasa sesak di dadanya yang tidak kunjung hilang.

Kepalanya mendongak, menatap langit malam dengan pandangan kosong. Tetap bertahan dengan posisi itu dalam waktu yang lama. Tidak peduli dengan dinginnya angin malam yang terasa menusuk kulit.

Waktu semakin berlalu. Namun Hendery tidak kunjung datang.

Aylin terkekeh sinis. Mulai meragukan ucapan Hendery yang katanya akan kembali.

ME WHEN? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang