Aylin sedikit banyaknya tau, bahwa dunia seringnya tidak berjalan sesuai dengan keiginan. Bahwa ekspetasi yang berlebihan, merupakan penyebab utama dari timbulnya patah hati. Namun... Aylin tidak tau, kalau realita akan menamparnya sekeras ini.
Dari sekian banyak kemungkinan, kenapa harus seperti ini?
Sekali lagi, mata bulat itu menatap layar ponsel. Melihat sebuah gambar yang dikirim oleh nomor tidak dikenal dengan seksama. Dalam hati, Aylin berharap bukan mereka orangnya.
Bukan Flara.
Bukan Hendery.
Hanya mirip. Ya, pasti hanya mirip.
Tapi.. Kenapa hatinya masih sakit?
"Ay?" Panggil Vian setelah beberapa lama memperhatikan Aylin yang tiba-tiba diam memperhatikan ponsel.
Panggilan Vian membuat Aylin perlahan mendongak dan menurunkan ponselnya. Lalu menatap Vian dengan pandangan kosong.
Perubahan ekpresi Aylin jelas disadari oleh Vian.
"Kenapa, Ay?"
"G-gue mau mastiin sesuatu dulu." Ujar Aylin.
Tanpa menunggu jawaban dari Vian, Aylin langsung bergerak pergi meninggalkan koridor lantai 1.
Melangkah melewati lapangan dengan perasaan yang campur aduk. Mata bulatnya menatap lurus ke depan. Tepatnya ke arah gerbang besar yang terbuka setengah. Aylin merasa kepalanya begitu penuh memikirkan banyak hal sampai tidak menyadari bahwa Vian dan Asti terus mengikutinya dari belakang.
Vian sebenarnya tidak tau maksud dari perkataan Aylin. Tidak tau apa yang ingin gadis mungil itu pastikan. Namun melihat dari ekspresi Aylin, Vian dapat menebak bahwa hal itu bukanlah masalah sepele. Itu sebabnya, walaupun merasa bingung, Vian tetap memilih mengikuti.
Melewati tengah lapangan, langkah Aylin semakin melambat. Membuat Vian ikut melambatkan langkah dibelakangnya. Sampai akhirnya kaki pendek itu berhenti, Vian pun ikut berhenti.
"Gila, gila! Gue iri banget sama Flara. Baru putus sama Dino langsung dapet yang baru. Mana lebih ganteng!"
"Wajar, sih. Dianya juga cantik."
"Eh, tapi gue waktu itu liatnya si cowok itu deketnya sama Aylin tau,"
"Dih, masa?"
"Iya, njir! Gue pernah liat si cowok itu nganter sama jemput Aylin beberapa kali. Kok malah jadiannya sama Flara, ya?"
"Alah, itumah paling si Aylin cuma dijadiin batu loncatan doang buat deket sama Flara."
"Iya juga ya. Lagian emang cantikkan Flara kemana-mana, sih. Cocok cantik sama ganteng. Kalo sama Aylin ntar yang ada si Aylinnya ke banting, hahaha!"
"Gue sih malu kalo jadi Aylin udah kepedean duluan, hahaha!"
"Ehh sstttt sttt, ada orangnya tuh."
Sialan.
Kedua tangan Vian terkepal kuat. Mendengar kalimat-kalimat hinaan yang dilontarkan untuk Aylin sukses membuat emosinya terpancing. Menatap tajam dua orang gadis yang berdiri tidak jauh di arah berlawanan, kakinya bergerak melangkah dan berhenti tepat di sebelah Aylin.
"Punya mulut kayak nggak di sekolahin. Kalo yang kayak Aylin lo pada bilang jelek, terus lo berdua apaan?" Vian terkekeh sinis. Memandang dua gadis tersebut dari atas hingga ke bawah dengan tatapan remeh.
Vian tidak mengatakan apapun lagi. Namun tatapan remeh yang cowok itu tunjukkan seolah dapat menjelaskan semuanya. Dua gadis itu bungkam. Diremehkan dengan Vian yang notabennya masuk ke dalam jajaran cowok tampan dan populer di sekolah memanglah menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ME WHEN?
Teen FictionKetika dunia hanya milik si cantik. Memiliki teman cantik dan populer mungkin merupakan impian sebagian besar pelajar. Dimana setiap berjalan, maka seluruh mata akan memandang. Selain itu, teman pun akan berdatangan dengan sendirinya. Ya, bahasa kas...