Javier meletakkan sebuah bingkai di ruangan berukuran 10x10 meter dengan cat dinding putih itu.
Javier tersenyum saat melihat hasil lukisan seorang pelukis hebat yang kini telah terpajang cantik di galeri yang masih kosong itu.
Tidak lama kemudian pintu ruangan itu pun terbuka.
Javier menolehkan kepala dan menemui sang ayah, Jeffian, yang masuk ke dalam galeri itu dengan membawa beberapa kanvas yang telah berisi lukisan.
"Banyak sekali," komentar Javier saat melihat ayahnya meletakkan kanvas itu di atas meja, pemuda itu segera menghampiri.
"Apa ini bunda?" tanya Javier saat ia mengenal jelas objek lukis di kanvas itu.
"Iya, ayah hampir selalu melukis bunda setelah kita berpisah," jawab Jeffian sembari tersenyum tipis kemudian ia melihat lukisan yang dipasang oleh Javier.
"Kenapa memilih memasang di tempat itu?" tanya Jeffian menunjuk lukisan hasil karyanya yang dipasang Javier.
"Agar setiap pengunjung yang datang bisa melihat senyum bahagia mereka," jawab Javier.
Kedua lelaki itu lalu memandang lukisan dengan ukuran cukup besar itu, sebuah lukisan yang baru Jeffian buat sekitar beberapa minggu lalu.
Sebuah lukisan di mana Enzo, Roseanne dan anak mereka Ella, tersenyum bahagia, berlari di atas awan.
"Javier kangen," ucap Javier sembari merapatkan bibirnya, matanya berkaca-kaca.
Jeffian melirik Javier kemudian merangkul sang anak, "ayah juga."
"Ayah tidak mengenal Ella," kekeh Javier sembari mengelap matanya agar tidak kembali menangis.
"Ayah pernah bertemu sekali, Ella sungguh cantik, ia memiliki mata indah bunda mu," ucap Jeffian.
"Benar, sama seperti dengan lukisan Ayah," ucap Javier seraya menunjuk lukisan Jeffian lainnya yang sudah tergantung.
"Yeah," respon Jeffian pelan.
"Apakah bunda saat muda sangat cantik?" tanya Javier kemudian, memandang lukisan buatan Jeffian satu per satu.
"Apakah menurutmu saat berusia 40 ini ia cantik?" balas Jeffian balik tanya.
"Iya."
"Jika usia 40 tahun saja ia cantik, maka Ayah bisa katakan bunda saat berusia 25 tahun sangat sangat sangat cantik," balas Jeffian yang membuat Javier tertawa.
"Benarkah?"
"Ayah menyimpan foto nya saat kita berusia 25 tahun, bunda mu sangat cantik, seperti seorang putri, seperti Rapunzel," jelas Jeffian dengan senyuman di wajah.
"Ayah sungguh mencintai bunda ya?" goda Javier.
"Begitu lah, dan rupanya tidak hanya ayah saja yang mencintai bunda mu, ayah Enzo juga mencintainya," jelas Jeffian.
Javier mengangguk pelan kemudian dengan bersemangat ia berucap, "bisa gak Ayah menceritakan kisah Ayah dan bunda dulu?"
Namun sebelum Jeffian dapat menceritakan apapun tiba-tiba pintu terbuka, Miguel masuk ke dalam ruangan itu dengan sebuah amplop di tangannya.
"Hai, Javier," sapa Miguel pada Javier tetapi tidak menyapa Jeffian dan hanya menyerahkan amplop itu pada Jeffian.
"Apa?" tanya Jeffian menerima amplop itu.
"Baca, undangan pernikahan."
"Siapa yang menikah?" tanya Jeffian menaikkan alis.
"BACA! NOH NAMA GUE SAMA ABEL," tunjuk Miguel dengan suara keras.
"Wah, Om Miguel mau nikah?" tanya Javier dengan nada suara bersemangat.
"Om am om am, dulu aja manggil uncle sekarang om," protes Miguel.
Javier tertawa, "lebih singkat panggil Om."
"Lebih cocok juga," sambung Jeffian, ayah dan anak itu lalu tertawa bersama sementara Miguel memutar bola matanya.
"Kan kan, ayah anak sama aja, setali tiga uang," tunjuk Miguel.
"Selamat ya bro," ucap Jeffian kemudian setelah dirinya selesai tertawa bersama dengan Javier.
"Iya, sama-sama, oh ya, gue mau langsung cus ya, mau kasih undangan ke yang lain juga nih," ucap Miguel kemudian seraya menunjukkan tote bag yang ia bawa, berisi undangan untuk lainnya.
"Oke, oke, hati-hati PakSu!" ucap Jeffian seraya menepuk pundak Miguel.
"Belum, masih 3 minggu lagi, dah ah, gue cabut, bye!" ujar Miguel seraya beranjak keluar.
"Hati-hati di jalan, Om!"
"Oke!"
Javier pun lalu beralih pada sang ayah yang meletakkan undangan itu di atas meja dan menghampiri nya, "Ayah gak mau nikah juga?"
Pertanyaan Javier membuat Jeffian menaikkan alisnya tetapi kemudian ia segera menggelengkan kepala.
"Kenapa?" tanya Javier.
"Karena hati Ayah sudah milik Roseanne, bunda kamu, and none gonna replace her from my heart."
"Ayah cinta banget sama bunda?"
Jeffian mengangguk kemudian berjalan menuju sofa dan duduk di sana, Javier mengikuti sang ayah, turut duduk di sampingnya.
"Yes, even now."
"Tapi Ayah sudah lama gak ketemu bunda, gimana bisa Ayah masih cinta?" tanya Javier.
"Karena ada kamu, kamu adalah bukti cinta Ayah dan bunda kamu."
Javier merasa merinding mendengar ucapan Jeffian, bukan merinding ketakutan melainkan karena ia begitu takjub dengan sang ayah yang mencintai bunda nya.
"Kalau begitu ... Ayah mau kan cerita tentang kisah Ayah, bunda dan ayah Enzo dulu? Javier ingin tahu dari sisi Ayah," pinta Javier mempernyaman posisi duduknya.
"Okay, Ayah will tell you the love story between Jeffian, Roseanne and Enzo," balas Jeffian sembari terkekeh kecil.
"Javier suka cerita cinta segitiga," balas Javier dengan tersenyum.
"Benar, cerita cinta segitiga ... di mana bunda kamu yang menjadi pemeran utamanya."
"Karena bunda sangat cantik bukan?" balas Javier dengan antusias.
Jeffian tersenyum manis, "sangat cantik, especially her brown eyes."
Javier terkekeh mendengar penuturan sang ayah, ia pun menimpali dengan bertanya, "brown like a morning coffee?"
Sama seperti masa lalu, percakapannya dengan Roseanne kala itu, Jeffian tersenyum, "yes, brown like a morning coffee."
Jeffian menghela nafas pelan.
"Dan di mana kisah ini dimulai?" tanya Javier kembali.
"Kisah ini dimulai saat bunda datang dari Paris ke Milan," jawab Jeffian.
"So, in France and Italy?"
"Yeah, in France and Italy."
•••
THE END.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] France and Italy
Fanfiction"Lo kira gue akan lepasin Roseanne gitu aja? Gak semudah itu, Jeff."