Malam itu hujan serta petir terdengar keras, ada gumpalan awan pekat terlihat dari balik jendela kaca mobil SUV hitam yang tengah melaju cepat di antara kendaraan lain melintas Tol Jagorawi, menuju arah Bogor—tepatnya ke lokasi Bumi Perkemahan Mandalawangi. Ada empat penumpang dalam mobil tersebut—tiga orang dewasa termasuk sang sopir dan seorang anak kecil berusia lima tahun.
"Bapak, apa di sana ada Belalang? Bi Uti bilang ada banyaak." Si kecil bertanya riang, kepala meneleng ke arah depan, mengalihkan tatapannya dari kilatan petir di langit sana.
"Ada dong, Den. Banyak, mau di bikin sate, ya, Den?" Hamdan—Sang sopir menyahut dengan senang, tentu saja.
"Sate? Memang Belalang bisa di makan, ya, Pak?" Raut bingung terlihat jelas di wajah menggemaskan itu, jari mungilnya mengaruk pelan hidungnya.
"Bisa dong, Bapak dulu makannya itu. Enak, rasanya kayak ayam goreng buatan Bi Uti, Den."
Kepalanya berputar ke belakang, menatap pada pria dewasa yang memangkunya. "Abi, apa benar bisa di makan?" Tanyanya, wajah polosnya berhasil membuat ketiga orang dewasa itu tertawa.
"Bisa, nak. Kakek dulu pernah makan juga, lho." Abi Raffa membalas, telunjuknya mengusap lembut kening si kecil. Menoleh pada Nasya, sang istri yang tengah mengandung anak keduanya. "Umi juga pernah makan, lho. Iya, kan, Umi?"
"Umi, juga?!"
"Iyaa, sewaktu Umi kecil dengan Eyang buyut."
"Wah, keren!"
Suara tawa kembali terdengar, bersamaan dengan gelagar keras petir. Bibir mungilnya tersenyum, ada binar indah ketika maniknya menangkap kilatan petir. Ia senang, sangat senang. Bahkan tidak ada ketakutan sama sekali.
"Abang mau tangkap Belalang?" Tanya Umi, mengelus pelan perut besarnya. "Jangkrik juga ada, lho." Lanjutnya.
Raut antusias semakin menggebu-gebu, kepalanya mengangguk cepat. "Mauu, Jangkrik itu makanan Yaya Burung Kakek, kan, Umi?" Tangannya bergerak membentuk gestur burung, lalu berputar-putar seolah burung itu tengah terbang di langit.
"Oh, pasti ada nyamuk juga!"
"Hahaha, ada, Den. Banyak pasti nyamuk di sana."
"Pasti ada, Abang. Di perkemahan ada bakal ketemu sama raja dan ratu nyamuk terbang siang hisap darah Abang Rasyid." Ujar Abi, membuat intonasi suara dan raut menakut-takuti sang anak.
Namun, siapa sangka, justru si kecil Rasyid tertawa kecil. Lalu seruannya kembali membuat Pak Hamdan, Umi Nasya dan Abi Raffa tertawa jenaka.
"Horee! Abang mau kasih darahnya buat nyamuk. Umi bilang sedekah tidak harus dengan uang, iya, kan, Um?" Serunya girang.
"Aden, nanti bisa kehabisan darahnya kalau disedekahkan semua."
Umi Nasya mengelus pipi merah putranya. "Iya, nak. Bapak benar, lho. Sedekah memang tidak harus dalam bentuk uang, bisa itu minuman, makanan atau apa pun itu. Tapi kalau Abang Rasy mau sedekah darah buat nyamuk-nyamuk nanti bisa sakit." Tutur Umi Nasya.
"Benar, Abang. Sakit sekali lho nanti. Abi pernah sakit karena diambil darah sama nyamuk."
"Wah, Abi sakit karena digigit nyamuk?" Rasyid bertanya dengan semangat.
"Iya, Abang jangan sampai sakit. Cukup Abi saja!"
Namun, si kecil mengerutkan keningnya bingung. "Kenapa Abang bisa sakit? Abang kuat kok, Umi." Kepalanya berputar kembali ke belakang, melihat pada Abinya. "Abang kuat 'kan, Abi?" Tanyanya bingung.
Abi Raffa merangkum wajah putranya, ditatapnya pada netra legam itu. "Kalau nyamuknya ambil semua darah Abang, nanti bisa kekurangan darah. Dan, Abang akan sakit karena kekurangan darah." Katanya, memberikan pengertian seringan mungkin agar sang anak mengerti.
![](https://img.wattpad.com/cover/305006862-288-k589035.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Pengganti Amelia (TAMAT)
RomanceHubungan yang terjalin antara Rasyid dan Amelia seharusnya tidak ada yang berubah, keduanya akan tetap menjadi Kakak-Adik yang saling menyayangi. Ya, memang seharusnya begitu ... sebelum kekacauan satu hari menjelang pernikahan Amelia-yang membuat...