“Oke, sesuai dengan hasil akhir diskusi tadi, ya. Jangan ada yang telat besok, ba’da Zuhur sudah kumpul semua. Amelia kamu sudah catat hasil rapatnya?"
Amelia mengalihkan tatapnya dari catatan yang sedang ditulisnya, menatap pada satu-satunya laki-laki yang duduk di tengah-tengah kumpulan manusia. “Oh, iya. Sudah kok.” balasnya dengan anggukan kecil. Laki-laki itu mengacungkan ibu jarinya kepada Amelia.
“Konsumsi aman ‘kan, Melly?” lanjut laki-laki itu kemudian, mengambil atensi Melly—sang Ketua Bendahara, yang mengambil peranan dalam bagian konsumsi kali ini.
“Insyaallah, aman kok.”
Laki-laki itu tersenyum puas, kemudian ia berdiri sambil sesekali ekor matanya melirik Amelia yang tengah sibuk mencatat. “Semua sudah oke, 'kan? Dan tolong dikoordinasikan lagi kalau semisal masih ada yang miss ke saya. Oke, sampai di sini, yang lain sudah boleh bubar." Setelah menutup agenda rapat, Azka—menjabat sebagai Ketua BEM langsung beranjak ke sisi lain, membiarkan yang lain untuk keluar lebih dulu.
Amelia memangku tasnya, menunggu Melly yang masih dikerumuni oleh anggota bagian konsumsi. Amelia memutar kepalanya lurus ke depan saat telinganya menangkap bunyi ketukan di mejanya, dan ternyata Azka kini berdiri tepat di hadapannya, "Hai ... kakinya sudah sembuh?" tanya Azka sambil melihat ke arah kaki Amelia yang tertutupi oleh gamis biru yang dipakainya.
Amelia mengangguk pelan, lantas beranjak bangun dari kursi. “Alhamdulillah, sudah sembuh kok. Cuma luka kecil."
Azka mengangguk-angguk, melirik sekeliling sebelum kemudian kembali menatap Amelia. “Pulang nanti mau aku antar?” tawarnya, berharap untuk kali ini Amelia tidak menolak tawarannya. Namun, sayangnya Azka hanya bisa tersenyum tipis saat Amelia menggeleng—menolaknya.
“Maaf, tapi kamu enggak perlu antar aku, aku dijemput sama Abang."
Azka terdiam sejenak. Laki-laki ini tahu tentang Rasyid, tetapi ia sama sekali tidak mengenalnya. Azka hanya pernah melihatnya dari pigura yang terpajang gagah di ruangan rumah Amelia ketika hari lamaran waktu lalu. Azka juga tidak asing mendengar nama Rasyid disebutkan Bunda dan Ayah maupun Amelia sendiri.
"Abang kamu pulang?"
"Iya."
Azka mengangguk sekali. "Aku belum pernah bertemu dengan Bang Rasyid, boleh nanti kamu mempertemukan aku dengan Bang Rasyid?" Azka memerhatikan Amelia, menanti jawaban apa yang akan diberikan oleh tunangannya itu. Apa mungkin ia berkesempatan bertemu langsung dengan sosok Rasyid atau mungkin ... tidak?
Amelia memberi anggukan pelan, tidak ada salahnya mempertemukan Azka dengan Rasyid. Mungkin pertemuan singkat ini bisa membuat kedua laki-laki itu saling mengenal. Mengingat Rasyid tidak pulang di hari lamarannya.
"Boleh, Abang pasti juga mau ketemu sama kamu."
Azka tersenyum mendengar kalimat itu.
Azka menoleh ke belakang, lalu bergeser—mengambil jarak saat melihat Melly akan menghampiri mereka.
"Mel, maaf ya aku lama banget, ya?" Melly berdiri di hadapan Amelia dan Azka, menatap keduanya bergantian dengan senyuman. Melly menggamit lengan Amelia, membawa sahabatnya keluar dari ruangan dan Azka mengikuti keduanya dari belakang.
"Kalian lagi ngomongin apa tadi?" Melly bertanya setelah mereka berada di luar. "Enggak takut ketahuan sama anak-anak yang lain?" Melly berbisik pelan, memastikan tidak ada orang yang lain mendengar suaranya. Mengingat keduanya bersepakat untuk saling merahasiakan hubungannya.
"Enggak ngomongin apa-apa kok, Melly. Tenang, aman kok." Azka menjawabnya, memberi isyarat dengan tangan bahwa semuanya masih terkendali. "Kalian masih ada kelas, nggak? Atau mau langsung pulang?" tanya Azka pada kedua perempuan itu. Dan, mendapati gelengan dari keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Pengganti Amelia (TAMAT)
Storie d'amoreHubungan yang terjalin antara Rasyid dan Amelia seharusnya tidak ada yang berubah, keduanya akan tetap menjadi Kakak-Adik yang saling menyayangi. Ya, memang seharusnya begitu ... sebelum kekacauan satu hari menjelang pernikahan Amelia-yang membuat...