"Umur kamu berapa?" Oma membuka suara di sela makan siang, meletakan sendok dan garpu ke atas piring, lalu mengangkat kepala menatap lurus Amelia.
Amelia menutup mulut saat hendak menyuap, lantas dengan cepat tangannya turun. Amelia mengulum bibir ke dalam, "Sembilan belas, Oma." jawab Amelia pelan. Kepalanya menunduk saat merasakan usapan lembut di pahanya, Amelia menoleh melihat senyum di wajah tante Sinta.
Oma mengangguk-angguk, lalu mengelus pelan punggung tangan. "Kuliah jurusan apa? Sudah semester berapa?"
Amelia meremas pelan Jemari tangannya, menetralkan kegugupan akan pertanyaan-pertanyaan dari Oma. " Saya masih semester tiga, Oma. Jurusan Akuntansi." balas Amelia pelan, mengatur napas agar tetap tenang.
Tatap Oma beralih pada Azka untuk beberapa saat, sebelum kembali menatap Amelia. "Oh." Oma menyahut singkat. Tangannya meraih gelas di depan piring. "Apa yang membuat anak-anak muda jaman sekarang cepat sekali berpikiran untuk menikah? Masih muda tentu belum punya pengalaman." komentar Oma setelah menghabiskan air, setelahnya kembali menyimpan gelas di atas meja.
Amelia menggigit pipi dalamnya, napasnya tertahan kala mendengar perkataan Oma yang membuat Amelia semakin gugup dan ... takut.
"Ambu." sebut Sinta pelan, lalu memberikan senyum canggung pada Amelia. "Pengalaman bisa tetap bisa di cari, Ambu. Memang apa salahnya menikah diusia muda—"
"Tentu salah, Sinta." Oma menyela cepat, tidak membiarkan menantunya, sengaja membuat suara Sinta tertelan
"Azka, apa alasan kamu ingin menikahi Amelia? Karena cinta? Bisa saja kamu hanya cinta sesaat karena penasaran, dan setelah kamu mendapatkannya, lalu apa? Kamu bisa mencintai tanpa perlu langsung menikah?" Oma berkata dengan pelan, membiarkan agar cucunya bisa mendengar dengan baik. "Menikah diusia muda itu rentan konflik. Lebih baik pacaran saja dulu," sambung Oma tegas.
Azka yang tengah mengaduk makanan langsung mendorong kasar piring ke depan, kemudian menyuarakan ketidasukaannya. "Oma, Azka enggak mencintai dalam sesaat. Menikah itu—"
"Azka dengarkan Oma!" tegur Rohan, memberikan tatapan peringatan kepada putranya.
Azka menarik napas panjang, lalu mendorong punggung ke sandaran kursi. Azka melihat Amelia, ada raut kecemasan sangat kentara di wajahnya. Azka mendesah kasar, Amelia pasti kesulitan menghadapi Oma, tidak ada yang bisa Azka lakukan untuk membantu Amelia.
Oma sangat keras.
"Dan ... Amelia, apa menikah menjadi jalan satu-satunya bagi kamu? Oma rasa tidak, kalian bisa melanjutkan pertunangan sama beberapa tahun ke depan, sampai kalian sudah memiliki finansial untuk menikah."
Wajah Amelia memanas, kedua tangan saling meremas cemas, suaranya tertahan tidak bisa dikeluarkan. Jadi, Amelia hanya bisa diam tidak menjawab.
"Apa maksud Oma adalah tidak merestui pernikahan aku dan amelia?" tanya Azka kemudian, berterus terang ingin memperjelas semua maksud dari setiap perkataan Oma.
Oma mengambil serbet dan mengelap bibirnya. Tatapnya tertuju kepada azka. "Kalian bisa menikah diusia yang sudah matang untuk menikah. Masih terlalu dini untuk memikirkan pernikahan." Kata Oma tidak ingin ada yang membantah, lalu beranjak dari kursi. Oma menjadi orang pertama yang meninggalkan meja makan, kemudian di susul Rohan setelahnya.
Mata Amelia berkedip sekali, membiarkan butiran bening yang tertahan sejak tadi meluruh, dadanya sesak setiap kali Oma mendengar perkataan Oma. Amelia tidak berani mengambil kesimpulan sendiri ... terlalu takut.
Makan siang berakhir dingin, Oma tidak menyambut baik kehadiran Amelia di meja makan dan hubungan dengan Azka. Sekarang apa yang harus Amelia lakukan? Semua terasa sulit baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Pengganti Amelia (TAMAT)
RomantizmHubungan yang terjalin antara Rasyid dan Amelia seharusnya tidak ada yang berubah, keduanya akan tetap menjadi Kakak-Adik yang saling menyayangi. Ya, memang seharusnya begitu ... sebelum kekacauan satu hari menjelang pernikahan Amelia-yang membuat...