Langit masih terlihat gelap, ada tetesan hujan mulai mereda. Ada Ayah yang sedang memanaskan mobil. Sementara Bunda tengah menyusun bekal makanan yang akan di bawa Rasyid. Pagi-pagi sekali Bunda sudah sibuk di dapur, memasak makanan banyak sekali, mulai dari cemilan sampai menu berat. Sedangkan Amelia diam memperhatikan, masih belum mau bicara dengan Rasyid meskipun Rasyid sudah berusaha mengajaknya bicara, menjelaskan agar adiknya mengerti.
"Abang, nyetirnya hati-hati. Kalau nanti hujan lagi ngantian sama Ayah, jangan maksa tetap nyetir. Selesai shalat subuh makan dulu," Titah Bunda, sudah selesai menata bekal ke dalam totebag. Kepalanya menggelang pelan saat mendengar jawaban singkat dari putranya.
"Iya, Bunda."
"Jangan iya-iya saja! Abang, Bunda udah masak banyak buat Abang. Jangan nggak dimakan. Bunda enggak mau Abang pulang-pulang kurang gizi!" Omel Bunda.
Senyum Rasyid terkembang semakin lebar, kepalanya mengangguk-angguk mendengar omelan Bunda. "Makanannya pasti Rasyid makan kok, Bunda." Balasnya.
Bunda bergerak mendekat pada Rasyid, tangannya dengan lembut mengusap bahu Rasyid pelan. Kemudian tatap Bunda beralih pada Ayah yang kini berjalan ke arah mereka. Semalam Rasyid mengatakan akan kembali ke Jakarta sebelum subuh agar tidak terlalu macet di jalanan nanti.
"Sudah siap, berangkat sekarang, Bang?" Tanya Ayah begitu berdiri di hadapan istri dan putranya.
"Sekarang saja, Yah." Jawab Rasyid, lalu ia mengambil tas ransel di atas meja. Rasyid mencuri lirik pada Amelia diambang pintu, memeluk tubuhnya sendiri. Lantas kaki Rasyid bergerak seperempat ke samping, berdiri di depan Amelia yang memalingkan wajah darinya. Ada garis halus dibibirnya, tertarik pelan ke kedua sudutnya—memperlihatkan senyuman ringannya.
"Abang, tas-nya biar Bunda bawa ke mobil." Bunda mengambil alih tas ransel Rasyid, "Ayah, tolong bawa ini, tas isi makanannya. Yang totebag Ayah simpan di jok belakang saja, biar nanti kalau mau makan enak diambilnya." Titah Bunda pada suaminya. Bunda melangkah lebih dulu, lalu baru Ayah menyusul. Meninggalkan Rasyid bersama Amelia—memberi keduanya waktu untuk bicara.
"Bunda udah coba ngobrol sama Amel, tunggu sebentar ya, A'. Itu Amel cuma butuh di bujuk lagi sama Abang." Kata Bunda memberitahu. Ayah mengangguk saja, membuka bagasi menyimpan barang bawaannya, ada titipan si bungsu Aisyah juga di sana.
"A', awan gelap sekali, takutnya hujan deras ini." Raut wajah Bunda terlihat cemas, melihat langit tampak begitu pekat, suara gemuruh sesekali terdengar.
Ayah menutup kembali bagasi, ikut melihat arah pandang istrinya, lalu ekor matanya melirik pada keberadaan kedua anaknya. "Jangan khawatir, sebelum ada tanda-tanda hujan lagi Aa' ganti nyetir. Rasyid aman." Kata Ayah menenangkan kecemasan Bunda.
"Humaira masih tidak mau bicara sama Abang, ya?" Suara Rasyid terdengar pelan, begitu ringan tidak ada tekanan dalam intonasinya itu.
"Humaira ...." Kepala Rasyid memiring ke kanan, punggungnya dibungkukkan yang membuat tatapannya bertemu tatap dengan Amelia. Wajah cemberut Amelia menghasilkan senyuman lebar di wajah Rasyid.
"Amelia Syafiqha Humaira." Sebut Rasyid lembut.
"Amel nggak dengar, Adskhan Rasyid Harsyad!"
Amelia menatap tajam pada Rasyid, pipinya menggembung. Lalu Amelia mengambil langkah cepat melewati Rasyid, namun sebelum itu lengan Rasyid lebih dulu menghalangi langkah adiknya itu, ada kekehan kecil dari Rasyid ketika tadi mendengar Amelia membalas menyebut namanya.
"Awas, Abang!"
"Humaira harus bicara dulu sama Abang,"
Amelia mendelik tajam, dagunya terangkat tinggi. "Dari tadi Amel ngomong tuh sama Abang!" Amelia melipat tangannya di bawah dada, memasang raut menjengkelkan sebisanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Pengganti Amelia (TAMAT)
RomansaHubungan yang terjalin antara Rasyid dan Amelia seharusnya tidak ada yang berubah, keduanya akan tetap menjadi Kakak-Adik yang saling menyayangi. Ya, memang seharusnya begitu ... sebelum kekacauan satu hari menjelang pernikahan Amelia-yang membuat...