"Jadi, kenapa kau bisa bicara? Mulutmu ada dimana? Bagaimana kau mendengar ucapanku? Apa kau dapat melihat ke segala arah? Kau-"
"Stop!"
Aku tertawa kecil, kemudian melihat ke arah cermin yang memantulkan diriku sendiri, sedang duduk bersila sambil memegang kalung.
"Kau dapat melihat kecantikanku? Kau perempuan? Atau laki-laki? Kau hidup? Kau-"
"Aku bilang stop!"
Aku kembali melihat si kotak hijau.
"Katanya aku harus bertanya tentang kau terlebih dulu?" godaku.
"Kau tidak memiliki bakat untuk bertanya." Lagi-lagi aku tertawa. "Aku saja yang akan menceritakan tentang kita."
Aku diam, lalu tersenyum, dan bersiap untuk mendengar sekaligus mengetahui siapa aku.
"Aku, adalah kau. Hidupmu. Kita terlahir seperti ini, jangan bertanya apa-apa tentang kelahiran kita. Pura-puralah mengerti."
Kotak hijau terdiam sejenak. Jika ia bernapas, mungkin ia sedang menarik napas panjang.
"Kita sudah terlahir sebanyak empat kali. Kali pertama, kau terlahir menjadi seorang bayi. Kau tau? Kecantikanmu terpancar jelas meski masih bayi. Saat itu kita ditemukan di depan sebuah panti asuhan, dan besoknya sudah ada yang mau mengadopsi kita. Tapi kau bayi yang rewel, tidak bisa diam. Aku bosan mendengar tangisanmu yang tidak aku mengerti apa maksudnya, karena kau bayi, dan aku bukan, meski aku adalah kau, hidupmu."
Aku masih terdiam, mendengarkan.
"Kali kedua, kau terlahir menjadi seorang nenek yang sangat cantik. Pesonamu terpancar kemana-mana, hingga seluruh pelosok negeri tau tentang kecantikanmu. Kau menjadi artis, dan punya banyak kekayaan. Banyak orang melamarmu, tapi aku selalu melarangmu untuk menerima semua itu. Lalu, kali ketiga-"
"Sebentar." Aku memotong. "Bagaimana aku bisa terlahir kembali? Apa di kelahiran pertama, aku mengalami mati?"
"Ya, benar, kamu mati." Kotak hijau memberi jeda pada kalimatnya. "Tapi aku tidak. Aku masih hidup, makanya kau terlahir kembali."
"Kalau begitu, pada kelahiran ketiga, aku mati juga, tetapi kau tidak mati, sehingga hari ini aku terlahir kembali. Begitu?"
"Yups, benar sekali."
"Apa suatu saat kau akan mati?" Kotak hijau bergumam. Mungkin mengiyakan. "Bagaimana caranya?"
"Apa kau mengharapkanku mati? Apa kamu tidak ingin terlahir kembali?"
"Tidak, bukan begitu," elakku yang kemudian tertawa. Sepertinya kotak hijau tersinggung dengan pertanyaanku. "Bukankah aku perlu tahu mengenai hal itu? Jadi, aku bisa menghindari hal yang dapat membuatmu mati."
"Kau yang terlahir kali ini banyak tanya sekali, ya. Mungkin kau sama seperti bayi rewel pada kelahiran pertama."
Lagi-lagi kotak hijau membuatku tertawa. Bukan karena dia membuat lelucon, tapi dia terlalu perasa dan nadanya mudah meninggi, sehingga menurutku dia itu lucu. Dia unik. Dia aneh.
Sama sepertiku, aneh. Aku ini sebenarnya siapa atau apa?
"Sebenarnya aku akan memberitahumu pada saat yang genting. Tapi sepertinya tak masalah jika aku memberitahumu saat ini." Kali ini aku yang menggumam. "Aku akan mati, jika kau menggunakan kekuatan yang kamu punya."
Aku membulatkan mata dan tak berkata apa-apa, tapi kotak hijau mengerti bahwa aku sangat kaget. Sekaligus bingung. Sekaligus ingin tau. Sekaligus ... sudahlah, kotak hijau akan bercerita lagi.
"Kekuatan itu bisa kau gunakan ketika keadaan genting, dengan keputusan kita. Maksudku, dengan keputusan aku dan kau, karena ini menyangkut dengan hidup kita berdua, bukan hanya kau, dan bukan hanya aku."
"Keadaan genting? Apa seperti diserang penjahat? Atau diculik? Atau ... bagaimana? Dan berapa kali aku bisa menggunakan kekuatan itu?"
Kali ini kotak hijau yang tertawa. Bukan tertawa kecil seperti yang sering aku lakukan, tapi tertawa yang menertawakan.
"Kau pikir kekuatan yang aku maksud adalah kekuatan menghilang? Terbang? Otot bertambah besar? Mengeluarkan racun?"
Aku menggigit bibir sambil tersenyum, malu.
"Kekuatan yang aku maksudkan adalah, mengunyah meski tak punya gigi, mendengar meski divonis tuli, berjalan meski divonis lumpuh, dan ...."
Kotak hijau terdiam. Mungkin untuk sejenak.
"Hidup meski divonis mati?" tebakku, yang lebih bermaksud untuk bercanda.
"Melihat meski divonis buta." Kotak hijau melanjutkan perkataannya, tanpa menghiraukan candaanku.
"Wah, itu keren. Semoga aku tidak memerlukan kekuatan itu, dan memulai hidup yang lebih hebat dari kelahiran-kelahiranku yang sebelumnya."
Aku berdiri dengan semangat, masih di depan cermin, dan masih memegang kalung tempat bergantungnya kotak hijau.
"Apa aku boleh memasangmu di leher?"
"Tentu saja." Nada kotak hijau terdengar lebih ceria. Mungkin dia tertular semangatku.
Aku memasangkan kalung kotak hijau sambil menatap cermin. Setelah terpasang, aku melihat wajahku.
Aku cantik. Aku bersinar. Tapi kotak hijau juga cantik, bersinar, meski ia hanya bergantung di kalung dengan bentuk kubus yang kecil.
"Ah, ya. Aku lupa. Namaku siapa?"
Kotak hijau terdiam, mungkin berpikir.
"Ay."
Aku tersenyum senang, lalu bergumam, "Ay. Namaku adalah Ay." Beberapa detik kemudian, aku kembali bertanya, "Ay. Ay apa?"
"Hanya Ay."
"Sesingkat itu? Ya ampun, kau tega sekali."
Kotak hijau tak menghiraukanku yang sudah berjalan menjauhi cermin, menuju pintu.
"Namaku Ay, Nayala Fiskha," ucapku setelah beberapa saat berpikir.
"Mengapa kau membuat panjangannya? Padahal, maksudku adalah Eye."
"Benarkah?" Aku menghentikan langkah, tepat di depan pintu. "Yang penting dipanggilnya Ay. Tidak apa-apa, kan?"
"Terserah kau saja."
Aku tertawa kecil.
"Bagaimana aku memulai hidup? Saat ini kita ada dimana?"
"Kita ada di hutan. Kau berjalanlah menjauhi rumah ini, lalu aku akan membuatmu pingsan. Seseorang akan menemukanmu, dan dia akan menjadi orangtua angkatmu."
"Bagaimana kau akan membuatku pingsan?"
"Apa itu penting?"
"Tentu saja tidak," jawabku sambil tertawa kecil.
"Kalau begitu, apa kau siap?"
"Lebih dari siap."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ay
FantasyAy menjadi buta karena suatu kecelakaan, kotak hijau pun menawarkan kekuatan agar Ay bisa melihat. Hanya saja, Ay harus mendapatkan kotak hijau lain selama satu bulan, atau ia akan mati. Ternyata, pemilik kotak hijau lain berada di dekat Ay. Namun a...