Pesimis

240 22 0
                                    

Suasana kelas begitu hening, sesekali dihiasi suara kertas yang saling bergesekkan. Guru berwajah keibuan duduk di kursinya, sambil membaca buku, kemudian menulis. Persis seperti yang murid-muridnya sedang lakukan.

Namun, tentunya aku tidak. Aku ini buta, kan. Tak apa tak membaca, biar saja nanti dibacakan. Tak apa tak mengerjakan tugas, langsung saja diuji lisan.

Di sebelahku, Gam menuliskan jawaban di kertas selembar sambil sesekali melihat ponsel. Mendingan searching, daripada susah-susah nyari di buku, katanya beberapa belas menit yang lalu.

"Nih," bisiknya tiba-tiba sambil menggeserkan sebuah permen di meja, ke arahku, sesaat setelah mengambil dua permen dari saku seragam.

Aku hanya melirik permen itu sekilas, tanpa berbuat apa-apa lagi.

Sadar tawarannya tidak digubris, Gam mengambil kembali permen yang ia berikan dan membuka bungkusnya perlahan, berusaha untuk meminimalisir suara.

Aku pikir Gam akan memakan permen tersebut, tapi ternyata tidak. Ia malah memasukkan permen tersebut ke mulutku tanpa berkata apa pun, seolah tak memberiku kesempatan untuk menolak.

"Terima kasih," bisikku sangat pelan, tak peduli Gam mendengarnya atau tidak. Dan aku akan lebih berterima kasih jika kau mau memberikan kotak hijaumu, lanjutku dalam hati.

"Kapan kita melanjutkan tugas kelompok?"

Itulah saatnya. Aku akan meminta kotak hijau Gam pada saat kami mengerjakan tugas di rumahnya. Ah, tapi bagaimana jika Gam tak mau?

Tentu saja aku tidak akan mencuri.
Namun, waktuku tidak lama lagi. Mana mungkin aku hanya membujuknya tanpa melakukan apa-apa lagi? Bagaimana jika Gam takkan pernah mau memberikan kotak hijaunya?

"Ay," panggil Gam menyadarkanku.

"Bagaimana jika hari ini?"

Oh, apakah terlalu cepat?

Tidak. Tidak, Ay. Waktumu tidak banyak.

"Wah, kau tidak sabar ingin berdua denganku, ya?" tanya Gam setengah menggoda. "Hari ini aku ada kegiatan lain. Bagaimana kalau besok?"

"Ya, besok saja."

"Ya? Jadi, kau benar-benar tak sabar berdua denganku?" Gam masih menggoda.

"Apa, sih," aku tertawa kecil, "maksudku bukan begitu ...."

"Akui saja, Ay. Jangan-jangan, kau tertarik padaku, ya?" tanya Gam, kali ini sambil mengelus daguku.

"Gam!" omelku sambil memukul pelan lengan Gam.

"Gam, tugasmu sudah selesai? Sini kumpulkan."

Suara guru membuatku dan Gam terdiam, sedangkan teman-teman sekelas tertawa.

Empat puluh menit sejak kejadian itu, Gam tak lagi mengajakku bicara. Jadi, dia itu lelaki yang penurut -atau penakut- pada guru? Aku tertawa dalam hati.

Guru yang tadi menegurku dan Gam baru saja keluar dari kelas, membuat Gam menggerutu kecil yang membuatku akhirnya tertawa dengan tenang. Beberapa teman ikut menertawai kemalangan Gam.

Tunggu.

Sudah lama ya, Gam tidak marah?

Sekali lagi, aku tertawa dalam hati.

Tiba-tiba, Kinar melewat ke sampingku. Ia telah menyelempang tas, berarti akan pulang. Aneh, biasanya ia menyapaku terlebih dulu.

"Kinar," panggilku, membuat Kinar berhenti berjalan.
Dengan seolah-olah buta, aku menghampirinya.

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang