Sisa: Dua Minggu

223 21 0
                                    

"Sudah ku bilang, cukup pikirkan tujuan utamamu!" bentak kotak hijau, selepas aku bercerita tentang Deyna. "Waktumu tinggal dua minggu, kau tahu?"

Aku terdiam. Benar kata kotak hijau. Besok tepat dua minggu menuju kematianku –jika aku tak berhasil mendapatkan kotak hijau yang lain.

"Tapi bagaimana pun, mereka orangtuaku. Mana mungkin aku diam saja ketika mereka dalam bahaya?"

"Siapa bilang mereka dalam bahaya? Deyna hanya mengancammu, bukan mereka."

"Tapi Deyna ingin merebut perusahaan mereka."

"Kalau begitu, berikan saja perusahaan orangtuamu tiu pada Deyna. Beres, kan?" Aku hanya terdiam. "Lagipula, kau tak tahu kan alasan Deyna ingin merebut perusahaan orangtuamu?"

"Aku bisa mencari tahu," balasku sambil menarik selimut sampai ke dagu. Malam ini aku tidak berminat untuk membuka jendela dan bertemu dengan Gam beserta suratnya.

"Kau lupa tujuan lagi."

Aku, kau bukan lupa, kau hanya ... ah, kotak hijau tak pernah mau mengerti.

***

Sisa: dua minggu.

Gam masih begitu, Kinar tetap seperti biasa, dan Bobby tak berubah. Sedangkan Deyna, oh, lupakan saja, karena pada akhirnya aku akan mati: ntah di tangan dia, atau di tangan waktu.

Yha! Aku mulai pesimis sekarang.

"Kelompoknya masih yang kemarin, ya," pesan guru sejarah sebelum keluar dari kelas.

Huh, tugas kelompok lagi.

Gam menyenggol lenganku, "Waktunya seminggu, kau ingin mengerjakannya kapan?" tanyanya senang.

Sisa: dua minggu.

Apa aku masih harus menjauhi Gam? Tapi, untuk apa? Lagipula dia tak pernah berbuat jahat padaku.

Ya, dia tampak sangat tahu "siapa" aku, tapi dia pasti punya alasan. Mungkin saja dia "sesuatu" yang sama sepertiku, atau dia mengenal baik "sesuatu" sepertiku. Dan, oh, sisa waktuku tinggal dua minggu. Yang perlu aku pikirkan hanya mencari kotak hijau lain, bukan siapa sebenarnya Gam.

"Hei, aku benar-benar tidak mengerti mengapa kau tiba-tiba marah," Gam menghela napas, "apa karena aku tahu bahwa kau ...."

Aku menutup mulut Gam dengan tatapan datar ke arah depan.

Gam tertawa, membuatku segera menjauhkan tangan dari mulutnya. Oh, saat ini ia sedang tertawa ramah, tulus.

Dia mungkin lelah memperlakukanku seperti kemarin-kemarin: seperti dia yang paling tahu segala tentangku.

"Hari ini, kalau tidak selesai dilanjut besok, atau besoknya, atau besoknya lagi, terserah kau saja," ujarku sambil mengarahkan wajah ke arah Gam, tapi tidak menatap matanya, karena, oh, aku buta. Ha-ha.

"Oh, kau ingin berlama-lama berduaan denganku, ya?" tanya Gam bangga.

Aku mengerlingkan mata, lalu Gam menutup mataku. Aku dapat merasakan ia mendekat.

"Ingat, kau sedang berpura-pura buta," bisiknya yang kemudian tertawa.

Huh, dia kembali seperti semula.

***

Kantin sangat ramai. Pembeli sibuk memesan makanan, penjual siuk menyiapkan pesanan. Meja dan kursi yang tersedia dipenuhi oleh orang-orang yang sedang makan atau menunggu makanan.

Dosa besarlah aku, Kinar, dan Bobby yang hanya menumpang duduk dan mengobrol.

"Kami ingin meminta bantuanmu," ujar Kinar pada Bobby dengan mimik serius. Ntah apa yang ia rencanakan, tapi aku yakin bahwa ini tentang Gam.

"Bantuan apa?" tanya Bobby dengan mata yang hampir terpejam. Huh, ia memang selalu mengantuk.

"Kau pasti tahu banyak soal Gam," ujar Kinar, "apa kau mau membaginya kepada kami?"

Ingin rasanya melirik ke arah Kinar dan menatap tajam, tapi itu tidak mungkin.

"Mengapa kalian menginginkan informasi tentang Gam?" tanya Bobby, masih dengan gaya seperti sebelumnya.

"Ayolah, Bobby, ini tentang hidup dan mati," pinta Kinar sambil memegang kedua tangan Bobby, membuatku tersenyum menahan tawa. Kinar benar-benar senang sekaligus pintar berdrama.

Uh, sebentar, bukankah aku juga begitu?

"Hidup dan matimu?" tanya Bobby lagi. Ia masih tampak tak tertarik dengan pembicaraan kami.

"Hidup dan mati Ay!" jawab Kinar sambil menggebrak meja. Bobby membulatkan mata, sedangkan aku memukul lengan Kinar.

"Hidup dan mati apanya?" tanyaku yang kemudian tertawa kecil.

Drama.

"Sudahlah, Ay, kau tak usah menutupi apa-apa lagi. Bobby pasti dapat menjaga rahasia."

"Rahasia apa?" tanya Bobby yang tampak mulai penasaran.

"Eh, kasihan yang membeli makanan, sebaiknya kita kembali ke kelas," ajakku sambil berdiri, membuat Kinar ikut berdiri dan memegang lenganku, "jangan terlalu percaya, kau sendiri yang bilang kalau ini soal hidup dan mati," bisikku padanya.

Aku pergi –dengan tangan Kinar yang masih berada pada lengan. Ia membantuku dan menjadi petunjuk jalan. Sedangkan Bobby, ntah ia mengikuti kami atau tetap duduk di kantin, karena aku tak mungkin melihat ke belakang.

Oh, bahkan aku harus bersikap seolah tak mungkin melihat apa-apa.


AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang