Mataku terbuka perlahan, tetapi aku tak mampu melihat apa-apa. Sekali lagi, aku memejamkan mata, lalu kembali membukanya perlahan. Langit-langit dan sekelilingku gelap, hanya ada sedikit penerangan dari lampu meja.
Sejak kapan aku tertidur? Batinku sambil bersiap untuk bangun, tapi tubuhku tertahan ketika melihat tangan Gam yang menggenggam tangan kiriku. Gam, lelaki itu, tertidur dengan kasur sebagai tumpuan kepalanya. Mungkin lelaki itu juga yang membawaku ke atas tempat tidur.
Aku melirik ke arah jam, dan berusaha melihat angka yang ditunjuk jarumnya, pukul 11. Seingatku, sore tadi aku tak beranjak dari depan lemari Gam. Aku duduk disana, diam, dan ... untuk kali pertama, menangis. Menyesal telah melakukan hal yang tak seharusnya aku lakukan. Saat itu kotak hijau hanya diam, sesekali menenangkan, dan bertanya, "Apa sekarang kau percaya, bahwa kita akan berakhir?"
Mataku kembali memandang Gam. Mengapa ia tidak marah? Aku menggigit bibir, masih merasa bersalah, dan tanpa sadar kembali meneteskan air mata. Tangan kananku menglap pipi kiri, kemudian menglap mata kanan, tak ingin menangis lagi. Namun aku dapat merasakan sesuatu yang kasar disana, di bawah mata, di pipi kanan. Sebuah plester menempel, menutupi luka yang dibuat Deyna.
"Terima kasih," bisikku sambil membalas genggaman tangan Gam. Kotak hijau, sekarang aku percaya, dan aku akan melepaskan semuanya. Aku menggenggam kotak hijau dengan tangan kanan, lalu kembali memejamkan mata dan tertidur.
***
Gam terbangun, ketika aku berusaha melepaskan tangannya. Pukul 7 pagi. Apa Gam tidak akan sekolah? Aku bahkan baru menyadari bahwa Gam masih mengenakan seragam sekolah, sejak kemarin.
"Selamat pagi," sapa Gam yang kemudian melepaskan tanganku, dan berusaha untuk terbangun, duduk tegak. Ia mengusap wajahnya, lalu memutar kepala, melihat jam. Awalnya ia tampak kaget, tapi kemudian kembali menatapku dengan tenang dan bertanya, "Mau makan apa?"
Aku terdiam, menatap Gam. Lelaki itu tak menyinggung soal kemarin, membuatku malu sendiri. Bagaimana bisa, ia melupakan kesalahan sebesar itu? Bagaimana bisa ia bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa? Bagaimana bisa ia berlaku baik padaku?
"Atau mau mandi dulu?" tanya Gam lagi.
Aku menunduk, lalu berkata, "Maaf."
Gam terdiam, lalu perlahan, ia mengusap puncak kepalaku. "Sebaiknya kau mandi dulu, dan aku akan menyiapkan sarapan untuk kita." Gam berdiri, lalu melanjutkan, "Aku akan membawa sikat gigi dan handuk untukmu dulu. Setelah itu, kau bisa memakai bajuku di lemari."
Bulu kudukku meremang mendengar kata lemari, lalu kejadian kemarin terngiang kembali. Aku masih menunduk saat Gam pergi, tapi sebelum ia keluar kamar, aku memberanikan diri menatap punggungnya dan berkata, "Aku minta maaf, Gam. Yang aku lakukan kemarin itu kesalahan besar. Kau berhak marah, Gam, kau bahkan berhak mengusirku. Kau tak bisa membiarkan orang yang mencuri barang berhargamu ada disini."
Gam terdiam, lalu membuka pintu, membuat cahaya terang keluar dari sana. Kamar Gam memang tak berjendela, hanya ada ventilasi di atas kusen pintu.
"Aku bisa melakukannya," balas Gam yang menghela napas sebelum melanjutkan, "jika orang yang mencuri barang berhargaku, lebih berharga daripada barang itu." Lalu Gam pergi tanpa menutup pintu.
Aku tertegun. Apa yang baru saja ia katakan? Apa maksudnya ia berkata seperti itu?
"Tentu saja maksudnya adalah kau lebih berharga daripada kotak hijau yang ia punya." Kotak hijau tiba-tiba bercicit dengan nada menggoda.
Pipiku memanas. Rasa bersalah yang sebelumnya menguasai diriku, terganti oleh rasa malu, sekaligus senang.
Tiba-tiba Gam kembali muncul di ambang pintu, dengan sebuah handuk dan sikat gigi disana.
"Apa kau tak bisa pergi dari tempat tidur?"
Aku menatap Gam datar, lalu berjalan menghampirinya. Entah mengapa aku merasakan sedikit keanehan, seperti jantung berdebar kencang, tetapi membuatku nyaman.
Gam tersenyum sambil memberikan barang-barang yang ia bawa, dan saat aku menggapainya, aku merasa sesak dan sulit bernapas. Tapi anehnya, hal itu terasa menyenangkan, dan mau tak mau bibirku tersenyum.
"Baguslah, kau sudah bisa tersenyum lagi. Kalau gitu, selamat mandi, dan jika butuh apa-apa, aku ada di dapur."
Gam pergi dari hadapanku, membuat sesak itu hilang, tetapi jantungku masih sedikit berdebar kencang. Kotak hijau, apa yang terjadi? Aku menekan dada, dengan bibir yang masih tersenyum malu.
***
"Apa ada hal lain yang bisa disiapkan seorang anak lelaki?" Gam tersenyum malu sambil menggaruk belakang lehernya, ketika aku datang ke meja makan dan menemukan piring berisi empat roti bakar yang di sampingnya terdapat piring berisi beberapa apel dan kiwi. Lelaki itu meninggalkanku yang ikut tersenyum, lalu kembali dengan membawa dua buah gelas dan satu kotak besar susu cokelat. "Sebentar, ya." Ia pergi lagi, lalu datang dengan beberapa selai dan dua piring kosong di tangan, begitu sibuk.
"Terima kasih, Gam," ujarku yang kemudian membantunya menata selai-selai tadi.
"Duduklah." Gam baru saja menarik kursi untukku. Aku tertawa kecil, dan memenuhi permintaannya.
Ketika Gam duduk di kursinya, aku berkata, "Terima kasih, Gam. Untuk semuanya."
"Selamat makan!" Gam mengacuhkan perkataanku sambil mengambil satu roti dan mengolesinya dengan selai stroberi.
Kami pun makan hidangan yang disediakan Gam, dengan hening, tanpa satu pun obrolan, seolah sarapan adalah hal yang sakral. Oh, ini berlebihan. Yang sebenarnya terjadi adalah, kami sama-sama canggung, dan sama-sama tak menemukan bahan obrolan yang tepat.
"Mau kemana?" tanya Gam ketika aku berdiri.
"Cuci piring," jawabku datar, lalu mengambil alat makanku sendiri, karena Gam belum selesai menyantap makanannya.
Meja makan dan dapur Gam memang satu ruangan, sehingga aku mengetahui letak tempat untuk mencuci piring. Selesai mencuci, aku berniat menanyakan tempat menyimpan piring basah. Namun ketika aku membalikkan badan, aku malah menabrak seseorang -yang tentu saja Gam.
Jantungku kembali berdetak kencang ketika menatap Gam yang juga menatapku, dan kami sama-sama menunjukkan ekspresi terkejut.
"O-oh, Gam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ay
FantasyAy menjadi buta karena suatu kecelakaan, kotak hijau pun menawarkan kekuatan agar Ay bisa melihat. Hanya saja, Ay harus mendapatkan kotak hijau lain selama satu bulan, atau ia akan mati. Ternyata, pemilik kotak hijau lain berada di dekat Ay. Namun a...