"Gam," panggilku dengan suara tercekat. Ini tidak baik. Dia sudah terlanjur tahu, dan aku tidak berdaya.
Gam melepas daguku pelan, sambil tertawa sangat kencang.
"Aku sudah menduganya."
Mataku tak dapat beralih dari wajah Gam. Mataku berusaha menebak-nebak jalan pikirannya.
"Duduklah, kau tidak usah takut seperti itu."
Aku sebenarnya tidak takut, hanya saja aku tidak tahu harus berbuat apa selain diam.
Gam menarikku pelan, lalu membiarkanku duduk di sofa. Ia sendiri duduk di sampingku sambil membuka laptopnya dengan tenang.
Gam menunggu laptopnya menyala, sedangkan aku menunggu apa yang akan dikatakan Gam. Atau mungkin apa yang akan ditunjukkan Gam, karena dia langsung membuka laptop.
"Jadi, tugas kita apa?" tanya Gam tanpa melihat ke arahku, beberapa detik setelah laptopnya menyala, sambil tangannya mengklik aplikasi browser.
Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya. Apa aku tidak salah dengar? Kenapa ia malah bertanya tentang tugas?
Gam akhirnya memandangku, setelah beberapa saat aku hanya diam dan tak menjawab pertanyaannya.
"Kau tak ingin bertanya apa pun?" Aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Aku kan baru saja bertanya, tugas kita apa? Kau tidak mendengarnya, atau tidak tahu jawabannya sehingga tidak menganggap itu sebagai sebuah pertanyaan?"
Aku hanya menatap mata Gam, dan Gam juga menatapku. Kami sama-sama terdiam untuk beberapa saat, tapi pada akhirnya Gam mengalihkan pandangannya sambil tersenyum kecil.
"Kau ingin aku bertanya apa?"
Gam memang orang yang aneh.
"Sebenarnya aku tidak ingin kau bertanya," jawabku sambil ikut mengalihkan pandangan.
"Ya sudah, kalau begitu."
Gam pergi tanpa berkata apa pun lagi. Aku pikir dia marah, tapi ternyata aku salah besar. Ia hanya pergi untuk mengambil buku sejarahnya saja. Dengan bermodalkan buku sejarah, ia kembali duduk di sampingku sambil membuka-buka halaman bukunya.
"Sepertinya tugasnya yang ini. Disini dituliskan tugas kelompok," terang Gam masih fokus dengan bukunya. "Ayo, kita harus mulai bekerja dan segera menyelesaikannya." Kali ini Gam berpindah ke laptopnya.
Aku benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana mungkin ia tidak penasaran tentang kepura-puraanku? Atau bagaimana bisa ia berpura-pura tidak penasaran terhadap kepura-puraanku?
Gam terus mencari bahan untuk mengerjakan tugas, sambil sesekali bicara padaku. Aku hanya memperhatikannya tanpa berucap sepatah kata pun. Bukan, bukan terpesona, tapi bingung harus bersikap bagaimana.
Gam berhasil membuatku bingung, sekaligus penasaran.
"Menurutmu, apalagi yang kurang?"
Aku memegang tangan Gam, mencari perhatian, tak sanggup lagi untuk diam.
"Apa kau tahu siapa aku? Apa kau tahu alasanku berpura-pura buta? Apa kau tahu mengapa mataku berubah menjadi hijau secara tiba-tiba? Apa kau tahu bagaimana bisa bola berhenti sebelum mengenaiku?"
Gam memutar tangannya, lalu ia membalas genggaman tanganku. Gam tersenyum sambil menatap mataku.
"Memangnya aku siapa, bisa mengetahui segala tentangmu?"
Aku berusaha melepaskan tangan Gam. Sepertinya memegang tangan Gam adalah hal yang berlebihan, dan seharusnya tadi aku tak melakukannya.
"Kau benar-benar tidak tahu?" tanyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ay
FantasyAy menjadi buta karena suatu kecelakaan, kotak hijau pun menawarkan kekuatan agar Ay bisa melihat. Hanya saja, Ay harus mendapatkan kotak hijau lain selama satu bulan, atau ia akan mati. Ternyata, pemilik kotak hijau lain berada di dekat Ay. Namun a...