Sisa: Satu Minggu

190 19 0
                                    

"Ay."

Aku menoleh ke asal suara. Bobby, orang itu, baru saja duduk di bangku Gam.

"Ada apa?" tanyaku sambil tersenyum.

"Apa yang kau katakan pada ayahku?"

Bobby tampak kesal, tapi matanya menunjukkan keraguan sekaligus kesedihan. Oh, aku lupa. Aku tidak boleh menatap matanya. Aku ini buta.

"Sudah ku bilang, Bobby, aku tidak membutuhkan donor darimu," terangku pelan.

Bobby mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Ia tampak berpikir, hingga seseorang menghampiri kami.

"Kalian mengobrol? Waw!" Kinar tampak senang dan takjub.

"Memangnya kenapa? Kau cemburu?" godaku. Bobby tak menanggapi. Ia malah kembali ke bangkunya sendiri.

Kinar duduk di kursi Gam, menggantikan Bobby.

"Kalian mengobrolkan apa? Tentang Gam, ya?"

Aku terdiam. Kemarin, seharian aku memikirkan Bobby dan penyakitnya. Padahal ada hal yang lebih penting daripada itu. Pantas saja tadi malam kotak hijau marah-marah tidak jelas.

Berapa hari lagi menuju kematianku?

Oh, sisa: satu minggu.

***

"Ini kali pertama aku ke perpustakaan," ungkapku sambil terus berjalan di samping Bobby.

"Benarkah?"

"Tentu saja. Apa gunanya aku ke perpustakaan?"

Bobby tertawa kecil.

Kami sedang berjalan mengitari perpustakaan sekolah, yang berada cukup jauh dari kelas kami. Perpustakaan ini ada di lantai empat. Tempatnya sangat luas dan dipenuhi rak-rak buku yang menjulang tinggi.

Wangi-wangi buku memenuhi tempat ini. Tapi jujur saja, aku lebih menyukai wangi rumah sakit.

"Ngomong-ngomong, bukankah disini kita tidak boleh berisik?" bisikku sambil mendekat pada Bobby.

"Ya," balas Bobby yang ikut berbisik.

"Kau bilang ingin mengobrol? Lalu kenapa kau mengajakku kesini?"

Aku menghentikan langkah, membuat Bobby berada di depanku. Tapi beberapa saat kemudian, Bobby menyadari hal itu. Ia memberhentikan langkahnya, membalikkan badan, dan menghampiriku.

Tanpa sepatah kata pun, Bobby menggenggam tanganku dan menuntunku agar mengikuti langkahnya.

"Bobby, kita mau kemana?"

Bobby tidak menjawab, tapi aku tahu ia sedang tersenyum.

Kami melangkahkan kaki menelusuri tangga, dan Bobby belum juga melepaskan tanganku. Ia juga tak menunjukkan bahwa ia sedang menuntunku dengan hati-hati, seperti yang biasa orang lakukan -meskipun itu pura-pura, haha!

Tapi ... tunggu.

Perpustakaan sekolah ini memiliki dua lantai?

Aku tertegun. Langit biru yang cerah, dengan matahari bersinar terang. Awan putih yang tampak lembut menghiasinya sedikit saja. Atap!

"Kita bisa mengobrol disini, kan?"

Aku tersenyum, melepaskan tangan Bobby, lalu berjalan perlahan melewati lelaki itu.

"Disini sangat nyaman," komentarku sambil memeluk diri sendiri.

Beberapa menit aku lewatkan untuk menikmati pemandangan, kemudian aku membalikkan badan untuk mencari Bobby. Aku tersenyum dan menghampirinya yang sedang tidur di atas tangan yang terlipat.

Aku memperhatikan wajah Bobby. Lelaki itu tidur penuh damai.

"Jangan terlalu lama memandangku seperti itu, nanti kau jatuh cinta," ejek Bobby tiba-tiba, tanpa membuka matanya.

Aku tertawa sambil memukul lengan Bobby pelan.

"Bukan aku yang akan jatuh cinta, tapi kau!"

Bobby membuka mata, lalu menatap mataku, "Kau kan tahu, aku memang telah jatuh cinta."

Aku terdiam, merasa canggung. Tapi kemudian tertawa kecil dan ikut tidur di samping Bobby.

"Kau orang kedua yang membuatku jatuh cinta."

Aku memejamkan mata.

Apa yang harus aku katakan?!

"Siapa perempuan beruntung yang menjadi orang pertama?" tanyaku berusaha untuk tak terlihat secanggung mungkin.

Bobby terdiam sangat lama, hingga akhirnya ia menjawab, "Kekasih kakak Gam."

Oh, nama itu lagi.

"Wajahnya sangat mirip denganmu. Amat sangat mirip. Bahkan, tingkah dan auranya, sangat mirip denganmu."

"Jadi, kau mencintaiku karena melihat perempuan itu di dalam diriku?" tanyaku bercanda.

"Ntahlah," Bobby menghela napas sebelum melanjutkan, "tapi kisah perempuan itu berakhir tragis. Aku harap, kisahmu tidak mirip dengannya."

Aku mengarahkan wajah kepada Bobby.

"Memang apa yang terjadi padanya?"

"Ia dibunuh oleh kakak Gam." Jawaban Bobby membuatku tertegun. "Setelah itu, kakak Gam bunuh diri. Aku dan Gam melihat hal itu dengan mata kepala kami sendiri. Kau tahu? Saat itu Gam sangat hancur, karena ia begitu menyayangi kakaknya." Aku masih terdiam. "Dan aku pun begitu, sangat hancur."

Aku menelan ludah, bingung harus mengatakan apa.

Namun, aku teringat pada foto yang pernah aku lihat di rumah Gam. Disana ada perempuan yang begitu mirip denganku. Oh, bahkan, setelah dipikir-pikir, saat melihat foto itu aku seperti melihat diri sendiri!

"Apa yang membuat kakak Gam membunuh perempuan itu?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.

"Aku tidak tahu banyak, tapi kalau tidak salah, pembunuhan itu ada hubungannya dengan kotak yang diberikan kakak Gam."

Mataku membulat. "Kotak? Kotak apa?"

"Kotak biasa. Seingatku, kotaknya berwarna hijau. Ah, ya, hijaunya sama seperti matamu." Aku menutup mulut yang terbuka begitu saja. Mungkin yang Bobby maksud adalah kotak hijau. "Bukankah kau pernah ke rumah Gam untuk mengerjakan tugas? Dulu kotak itu dijadikan gantungan kunci oleh Gam, mungkin sekarang ia masih menggunakannya."

Tepat, itu kotak hijau!

"Jadi, kotak itu pemberian dari kakak Gam?"

"Ya, ia memberikan kotak itu pada detik-detik terakhir hidupnya."

Aku mendudukkan diri. Tanganku yang dingin mengepal kuat.

"Ngomong-ngomong, kau tampak sangat tertarik mendengarkannya. Apa karena ini tentang Gam? Apa karena kau menyukainya?"

Aku tidak menjawab. Pikiranku hanya tertuju pada Gam dan kotak hijaunya.

Jadi, kotak itu sebenarnya bukan milik Gam?

Jadi, jika aku mengambil kotak itu, Gam tidak akan mati?

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang