Kinar baru saja menelpon Gam. Katanya, Bobby pingsan, dengan mulut, hidung, dan telinga penuh darah. Mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat ayah Bobby, dokterku, bekerja. Gam, sebagai sahabat sekaligus saudara Bobby, tampak begitu khawatir setelah mendengar kabar tersebut.
"Kau tak perlu ikut ke rumah sakit," ujar Gam, "aku akan mengantarmu pulang."
Aku tak menjawab, dan hanya mengikuti Gam yang sudah bersiap keluar rumah.
Selama perjalanan, kami, aku dan Gam, hanya terdiam. Gam tampak tenang, dan ia selalu menggeram ketika terjebak lampu merah, atau terkena macet. Gam benar-benar khawatir.
Sedangkan aku, jujur saja, sedikit senang dengan berita itu, karena akhirnya penyakit Bobby menunjukkan diri. Aku harap penyakit itu segera diketahui dan ditangani, sehingga Bobby tak perlu mati dan memberikan matanya kepadaku.
Sudah ku bilang, aku membutuhkan kotak hijau, bukan mata Bobby.
Ah, kotak hijau, hari ini aku gagal membawa kembaranmu. Aku terlalu percaya diri sebelumnya. Tapi tak apa, nanti kita coba lagi.
Tapi bagaimana jika kita gagal lagi? Sepertinya Gam begitu menyayangi kakaknya, sehingga tak mau memberikan kotak itu kepadaku. Atau ia hanya penasaran, lalu ingin mendengar cerita tentang "sesuatu" seperti aku dan kakaknya, sehingga ia akan menjadikan kotak itu sebagai imbalan.
Tentang menghilangnya kakak Gam setelah kematian, aku baru tahu ternyata "sesuatu" sepertiku akan seperti itu. Bagaimana jika aku mengalami hal yang sama? Tapi setidaknya aku tak akan membunuh Gam, ataupun bunuh diri.
Tunggu. Kakak Gam membunuh sekaligus bunuh diri menggunakan pisau, bukan? Ya, Gam bercerita seperti itu. Tapi bukankah "sesuatu" seperti kami tidak dapat terluka? Mengapa kehidupan ketigaku dan kakak Gam dapat terbunuh?
Aku benar-benar tak mengerti.
Gam membukakan pintu untukku. Oh, sejak kapan kami sampai di depan rumah?
"Terima ka ...."
"Maaf," potong Gam, membuatku menatap mata cokelatnya bingung. "Aku tidak tahu apa pun tentangmu, atau tentang kakakku," Gam menghela napas, "tapi kau tahu kan, aku begitu menyayangi dia. Jadi, aku tak dapat memberikan kotak itu."
Aku tertegun. Gam baru saja memvonis kematianku.
"Ah, bukan, maksudku, aku belum dapat memberikannya," ralat Gam, membuat mataku membulat. "Suatu hari, mungkin saja aku mau memberikan kotak itu padamu."
"Jadi, aku masih punya harapan?" tanyaku memastikan, sambil tersenyum, berusaha memecang ketegangan.
"Ya, tentu saja." Gam mendekatkan wajahnya ke wajahku, lalu melanjutkan, "Tetapi tidak gratis." Ia terkekeh di akhir kalimatnya, membuatku ikut terkekeh. "Aku tidak perlu mengantarmu sampai ke dalam, kan? Aku harus segera ke rumah sakit."
Aku mengangguk, kemudian berpesan, "Titip salamku untuk Kinar, ya, dan semoga Bobby cepat sadar."
Gam tersenyum sambil mengacak pelan rambutku, lalu berjalan menuju kursi kemudi. Beberapa menit kemudian, mobilnya berlalu, membuatku tersenyum kecil dengan tingkahnya.
Ntahlah, di samping semua pikiran yang berlarian di kepalaku, tetap saja aku merasa bahwa Gam itu lucu. Baru puluhan menit yang lalu kami "bertengkar", tetapi Gam sudah meminta maaf. Dia memang manis, dan ... malang.
Aku pun berpaling dari arah kepergian Gam, dan pintu rumah menjadi tujuan kakiku berjalan. Seperti biasa, pintu itu terkunci, membuatku harus mengetuk pintu. Namun, tak kunjung ada yang membukakan.
Karena penasaran, aku melihat ke dalam rumah, melalui celah dari gorden jendela. Betapa terkejutnya aku ketika melihat Deyna sedang berkeliling -ntah untuk apa, sambil mengacungkan pisau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ay
FantasyAy menjadi buta karena suatu kecelakaan, kotak hijau pun menawarkan kekuatan agar Ay bisa melihat. Hanya saja, Ay harus mendapatkan kotak hijau lain selama satu bulan, atau ia akan mati. Ternyata, pemilik kotak hijau lain berada di dekat Ay. Namun a...