Luka dan Ayah

242 18 0
                                    

"O-oh Gam." Aku memundurkan langkah, tetapi punggungku menabrak pinggiran tempat cuci. Mataku menatap Gam, ia tampak terkejut, sama sepertiku. Namun sesaat kemudian, keterkejutannya hilang, berganti menjadi sebuah senyuman.

Tidak. Gam tidak menyeringai layaknya orang-orang licik, jahat, ataupun berpikiran kotor. Ia tersenyum dengan tulus, seperti senyum-senyum yang pernah ia berikan sebelumnya. Sedangkan aku, jangankan tersenyum, menghirup dan mengembuskan napas saja rasanya sulit, begitu sesak, entah karena udara di ruangan ini yang terhalang tubuh Gam, entah karena detak jantungku yang terlalu cepat.

"Sudah selesai?" tanya Gam.

Aku mengerutkan dahi, lalu balik bertanya dengan suara pelan, "Apa?"

Gam terkekeh, kemudian menyimpan piring -yang entah sejak kapan ia bawa- di tempat cuci piring, kemudian mencuci tangan. Tubuhnya semakin dekat, membuatku dapat dengan mudah menyesap wangi tubuhnya yang ... tunggu, Gam belum mandi!

Refleks, aku mendorong Gam, membuat lelaki itu memundurkan kakinya sambil menatapku aneh.

"Dimana tempat piringnya?" tanyaku tanpa rasa bersalah.

Gam menutup keran, kemudian mengambil alat-alat makan dari tanganku. "Tolong cucikan itu, boleh? Biar aku yang menyimpan piringmu."

Aku mengalihkan pandangan pada piring yang sudah tergenang air, sedangkan Gam pergi dari hadapanku. Sebelum mengambil piring tersebut, aku memejamkan mata sambil mengembuskan napas lega. Kotak hijau, ada apa denganku?

Sebelum membalikkan badan, aku menengok ke belakang, takut mengulangi kejadian seperti sebelumnya. Setelah memastikan Gam jauh dari jangkauan -karena lelaki itu bahkan tidak ada di ruang makan-, aku membalikkan badan dan menyimpan piring di tempat Gam menaruh piring sebelumnya.

"Kau mau ikut menjenguk Bobby?" tanya Gam yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.

"Tentu saja!" jawabku semangat. Aku ingin tahu perkembangan kesehatan lelaki itu, dan tentunya, memberikan selamat atas kedekatan dirinya dan Kinar.

"Baiklah, aku mandi dulu," ujar Gam sambil berlalu.

Aku tersenyum kecil, teringat wangi tubuh Gam. Tidak, ia tidak bau, ia wangi, wangi yang khas, dan aku suka wangi itu. Tetapi kenyataan bahwa Gam belum mandi mau tidak mau memberikan sugesti tidak wangi. Bukankah jika Gam telah mandi, sugesti itu akan hilang? Aku pasti lebih menyukai wangi tubuhnya.

Tunggu, apa yang aku pikirkan?! Aku menepuk-nepuk pipi yang terasa panas. Lagipula bagaimana caranya aku menghirup wangi Gam? Apa aku harus mendekati tubuhnya sampai sedekat tadi? Senyum kecilku mengembang.

"Apa yang kau pikirkan?" Gam menatapku bingung.

Sejak kapan ia kembali?! Aku melepaskan kedua pipi, lalu berpura-pura membereskan rambut.

"Aku tidak memikirkan apa-apa," dustaku yang kemudian mengalihkan pembicaraan, "katanya mau mandi?"

"Ini." Gam mendekat, kemudian melanjutkan, "Kau mau memakainya sendiri, atau ingin aku pakaikan lagi?"

Aku memandangi plester yang disodorkan Gam. Bungkusnya kuning, dengan gambar-gambar hewan, sama seperti yang tadi aku lepas ketika mandi.

"Aku pikir, ini sudah tak diperlukan lagi," tolakku sambil menengok Gam.

Lelaki itu berdecak, menggeleng, lalu membuka bungkus plester dan menempelkannya pada luka di pipiku. "Setidaknya agar tidak perih ketika tersentuh, atau untuk menutupinya. Kau tahu, luka ini tidak enak dipandang," terangnya setelah plester itu tertempel sempurna.

Aku terkekeh, lalu bertanya, "Luka ini jelek, eh?"

"Ya, luka ini jelek." Gam melipat tangan di depan perut sebelum melanjutkan, "Tapi kau cantik." Ia pun tertawa sambil berlalu, meninggalkanku yang tersenyum malu.

Kotak hijau, kenapa aku merasa senang dibilang begitu? tanyaku dalam hati, sambil menggenggam erat kotak hijau.

***

"Akur, nih?" tanya Kinar setengah meledek. Aku memukul lengannya pelan, sedangkan Gam tak menggubris, ia langsung menghampiri Bobby yang terbaring di ranjang. "Apa dia telah memberikan si hijaunya?" bisik Kinar.

Aku menggeleng, lalu menjawab, "Sudahlah, mungkin sudah waktunya berakhir."

"Ya ampun, Ay, tidak mungkin begitu." Kinar menatap iba, sedangkan aku berlalu, menghampiri Gam dan Bobby.

"Sudah membaik?" tanyaku kepada Bobby yang mata sipitnya tampak lebih sipit, seperti ada sesuatu yang berat di dahinya.

"Begitulah, berkatmu." Aku tertegun, sedangkan Gam dan Kinar menatapku terkejut. "Berkat para dokter, berkat Gam, dan tentu berkat Kinar juga." Bobby menatap Kinar lekat, membuat kami tersenyum lega.

"Kau tidak masuk sekolah lagi?" tanya Gam kepada Kinar, membuat perempuan itu tersenyum malu.

"Aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia tidak mau. Padahal masih banyak dokter dan suster disini," terang Bobby, mewakili Kinar, sambil berusaha untuk duduk.

"Tapi kau tak bisa mengobrol bersama mereka," ujar Kinar yang membantu Bobby. Aku dan Gam pun ikut membantu, sambil terkekeh mendengar obrolan Bobby dan Kinar.

"Tentu saja bisa. Bahkan bukan tidak mungkin aku mengobrol lebih banyak dengan mereka daripada denganmu," canda Bobby yang membuat kami kembali terkekeh, sedangkan Kinar menggerutu.

Tiba-tiba seseorang masuk ke dalam kamar inap Bobby yang dingin dan serba putih. Lelaki, dengan jas putih, dan aku cukup mengenalnya.

"Ay, kau tidak sekolah?" tanya lelaki itu, dr. Andra. "Kau juga, Gam, kalian mengikuti Kinar?" candanya kemudian, yang membuat Kinar tertawa malu.

"Dokter, sudah lama tidak bertemu," sapaku yang menoleh kepada dr. Andra, disambut dengan tatapan aneh dari Gam dan Kinar.

"Kau mengenal Om Andra?" tanya Gam.

Dokter Andra mendekat, kemudian menjawab, "Om yang menangani mata Ay. O-oh?" Lelaki itu seolah tersadar akan sesuatu. "Kau bisa melihat, Ay? Kau baru saja menatapku."

Aku dan yang lain saling pandang, lalu Bobby mengerang kesakitan sambil menekan perutnya, dan hal itu membuat dr. Andra segera mendekati putranya.

"Ini sangat perih, Ayah," keluh Bobby yang kemudian menatapku sambil mengedipkan sebelah matanya.

Ketika dr. Andra membuka sebagian baju Bobby, tampak beberapa luka bekas jahitan. Kinar meringis ngeri, sedangkan aku menatap luka tersebut iba. Gam menenangkan Bobby, entah karena tertipu, entah karena ingin menambahkan tipuan untuk Dokter Andra.

"Lihatlah, luka ini begitu banyak." Lagi-lagi Bobby mengeluh, membuatku tambah iba sekaligus ingin tertawa, karena aku tak tahu Bobby mengatakan itu secara serius, atau hanya ingin meyakinkan ayahnya. "Dan luka ini sangat jelek," tambahnya.

Aku tertegun, begitupun Gam. Kami saling berpandangan, teringat perbincangan tadi pagi. Lelaki itu tersenyum kecil, membuatku tak kuasa untuk tidak melakukan hal serupa.

"Luka ini memang sangat jelek," komentar Kinar yang kemudian melanjutkan, "tetapi kau tetap tampan."

Sekali lagi, aku dan Gam saling berpandangan, terkejut akan kebetulan yang terjadi beruntun ini, sebelum akhirnya tertawa bersama yang lain. Bahkan Dokter Andra ikut tertawa, membuat Kinar meminta maaf karena malu telah menggombali anaknya.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Suster berpakaian putih yang terlihat cantik, tersenyum sambil mendekati kami. "Mohon maaf sebelumnya, Dokter ditunggu oleh orangtua pasien."

"Orangtua siapa, suster?" tanya dr. Andra yang baru saja menoleh kepada suster tersebut.

"Dia ayah dari pasien yang dulu akan melakukan donor mata," jawab suster itu yang kemudian melanjutkan, "nona Nayala Fiskha."

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang