Bobby

203 20 8
                                    

“Bobby?”

Aku terkejut bukan main. Kakiku refleks mundur satu langkah.

“Jadi, selama ini ....”

Terbongkar sudah rahasiaku. Awalnya Kinar, lalu Gam, sekarang Bobby. Lalu nanti siapa? Deyna? Atau bahkan semua orang?

Bobby tersenyum kecil. Matanya menunjukkan kegelisahan.

“Kau terkejut, ya?” tanyanya pelan, kemudian kembali berkata, “Aku juga terkejut saat pertama kali menatapmu dari sini dan kau ikut menatapku. Aku tak mengerti mengapa kau bisa melihatku.”

Aku menggelengkan kepala, tak tahu harus menjawab apa. Namun kakiku melangkah mundur, lalu membalikkan badan dan berlari.

“Ay!” panggil Bobby. Lelaki itu mengejarku. “Ay, tunggu! Ada hal yang ingin aku bicarakan!”

Tidak. Tidak ada yang perlu dibicarakan. Dia hanya ingin tahu kenapa aku dapat melihat. Dia hanya ingin tahu kenapa aku pura-pura buta. Dia hanya ingin tahu siapa aku sebenarnya.

“Ay!”

...

“Aku mencintaimu!”

Kakiku berhenti melangkah.

Oh, Ay, ada apa? Dia hanya bilang cinta, mengapa kau begitu mudah terpengaruh?

“Aku mencintaimu,” ulang Bobby, kali ini dengan nada yang begitu lembut. Membuatku sesak.

Aku dapat merasakan Bobby mendekat, lalu beberapa saat kemudian ia sudah berada di depanku.

“Aku mencintaimu,” ulangnya sekali lagi, sambil menundukkan kepala. Oh, dia menangis!

Ntah apa yang membuatku terdiam. Ntah apa yang membuatku tak berani berkata, ataupun pergi begitu saja. Ntah apa yang membuatku bungkam begitu lama, hingga akhirnya Bobby mengangkat kepala dan menatapku lamat-lamat dengan matanya yang tak pernah aku lihat sedekat ini.

“Banyak hal yang ingin aku sampaikan.”

***

Kami, aku dan Bobby, duduk di sebuah kursi yang ada pada belokan. Ntah pukul berapa saat ini, tapi pasti sudah sangat larut.

“Katakanlah,” ujarku setelah sekian lama tak ada yang bicara.

“Sebelumnya aku ingin minta maaf, aku ....”

“Waktu kita tidak banyak,” ingatku.

“Baiklah,” Bobby menghela napas, “begini, aku tak tahu mengapa kau bisa melihat. Aku juga tak tahu mengapa kau pura-pura tak dapat melihat. Tapi aku tahu, pemeriksaan medis jelas-jelas menunjukkan bahwa kau buta.”

Aku hanya terdiam. Lagipula apa yang bisa aku katakan ketika lawan bicaraku berkata benar?

“Oh, mungkin itu penyebab kau pura-pura,” lanjut Bobby pelan, ntah ragu atau hanya ingin berbicara sendiri. “Tapi itu tidak penting, Ay. Hidupmu itu milikmu, aku tak ingin memaksa agar kau membaginya. Hanya saja, seperti yang aku katakan tadi ....” Bobby tersenyum kecil, raut wajahnya antara malu dan ragu.

Bobby yang semula melihat kesana-kesini, kali ini melihat ke arahku. Menatap wajahku yang sejak tadi memperhatikannya.

“Seperti yang aku katakan tadi, bahwa aku mencintaimu. Kau tahu? Aku yang awalnya selalu begadang sakadar untuk bermain game, berganti menjadi selalu begadang untuk menunggumu muncul di jendela. Aku tak peduli jika harus menunggu lama, karena aku senang melakukannya. Aku senang menunggumu, padahal kau belum tentu muncul.”

Bobby tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri.

“Ah, aku ini bodoh, ya. Mengapa aku malah menceritakan hal lain,” ujar Bobby sambil memalingkan wajahnya seperti salah tingkah.

“Bob,” ingatku sambil memegang lengan Bobby.

“Aku sungguh minta maaf. Kau tahu, kan, aku tidak pandai berkata-kata. Aku tidak pandai bercerita, apalagi mengobrol seperti ini. Kau tahu aku lebih sering sendiri, aku ....”

“Bob,” potongku.

Bobby menutup mata, lalu mengambil napas panjang.

“Maaf. Maksudku,” Bobby membuka matanya sebelum melanjutkan, “aku mencintaimu. Aku hanya ingin kau bahagia, dan aku pikir, rasanya pasti tidak nyaman jika harus berpura-pura buta.”

Bobby terdiam. Aku menunggu, tapi angin malam membuatku sadar bahwa aku harus segera pulang.

“Kemudian?”

Bobby tersenyum, tapi matanya tak dapat berbohong. Kesedihan terpancar jelas di matanya itu.

“Aku ingin mendonorkan mataku padamu.”

Sekali lagi, aku kaget bukan main. Malam ini Bobby menggelindingkan begitu banyak batu besar ke hadapanku.

“Aku akan mati, Ay.”

“Semua orang akan mati, aku yakin kau tahu.”

Bahkan sesuatu sepertiku pun akan mati.

“Tidak, Ay. Waktuku tak lama lagi.”

“Apa maksudmu?”

Lalu Bobby bercerita banyak tentang penyakit yang dideritanya. Selama bercerita, ia tersenyum. Namun aku dapat merasakan pedih di setiap getaran suaranya.

Bobby menderita penyakit aneh. Penyakit itu sama sekali tidak terlihat dari luar, tapi diam-diam mematikan. Ia bahkan sempat mati suri, tapi beruntung, kehidupan masih berpihak kepadanya.

Tak ada gejala apa pun, baik itu demam maupun sakit di sekujur tubuh. Bahkan penyakit itu baru ditemukan ketika ia mati suri dan diotopsi.

“Aku sudah berbicara kepada Ayah tentang keinginanku untuk memberikan mata kepadamu.”

“Ayah?”

“Ya, dokter yang menangani matamu. Dia ayahku.”

Aku tertegun. Bobby serius dengan ucapannya. Oh, bukan berarti aku tidak menganggap serius cerita yang diutarakan Bobby sejak tadi, hanya saja ....

“Besok kau akan menemuinya, kan?” tanya Bobby, membuyarkan pikiranku.

“Tidak bisa, Bobby. Kau akan hidup. Penyakitmu tidak akan membuatmu mati hari ini.”

Bobby tertawa, kemudian menjawab, “Memang tidak hari ini, Ay. Tapi sebentar lagi. Aku dapat merasakannya. Kematian itu hanya berjarak beberapa meter di hadapanku.”

Aku tidak mampu berkata apa pun lagi. Pikiranku berusaha mengolah kata untuk menyemangati Bobby tentang hidupnya, tapi tidak ada satu kata pun yang berhasil aku ucapkan.

“Sudah sangat malam, aku harus pulang. Kau juga harus segera masuk rumah. Jangan sampai ketahuan, ya. Keluargamu akan heran jika mendapati kau habis keluyuran,” ejek Bobby sambil berdiri dari kursi.

Oh, untuk pertama kalinya Bobby becanda.

“Besok kau harus ke rumah sakit, ya. Kalau kau tidak datang, aku akan sangat kecewa,” ujar Bobby sebelum pergi dari hadapanku.

Aku menatap punggungnya, namun perhatianku teralih pada cairan yang keluar dari seluruh kuku tangannya.

Cairan yang tampak seperti darah itu menetes perlahan-lahan.

Mungkin Bobby salah tentang penyakitnya yang tak bergejala.

Mungkin juga, ia hanya berpura-pura salah.

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang