Kesalahan

230 25 0
                                    

Berita tentang berhentinya bola di depan mataku begitu cepat menyebar. Semua mata yang ada di koridor melihat ke arahku dengan tatapan aneh, seolah berkata, "Hati-hati, ada penyihir!"

Oh, mata dan wajahku memang lurus ke depan, tetapi wajah manusia-manusia yang keheranan di pinggir koridor itu tetap saja dapat aku lihat.

Seperti biasa, Deyna memegang tanganku, membantu dan menjaga agar aku tidak terjatuh. Ntah yang ia lakukan ini kebenaran atau bukan, tetapi aku merasa bahwa ia sangat baik padaku akhir-akhir ini. Dan, oh, dia merupakan orang yang tidak bertanya padaku tentang bola itu –selain Kinar dan Gam.

Sampai di kelas, orang-orang memperlakukanku seperti biasa: seperti orang buta. Ya, aku sudah terbiasa.

Dapat aku hirup aroma kebohongan disana. Pikiran mereka sepenuhnya belum dapat menerima hal yang terjadi kemarin. Ntah mata ataupun bola kemarin, semuanya terlalu ajaib bagi pikiran mereka.

Oh, sejak kapan aku peduli pada manusia-manusia itu?

Aku dapat melihat Kinar sedang mengganggu Bobby yang sedang tertidur. Keduanya tak menyadari kedatanganku. Gam berdiri dari kursinya, mengambil tasku dan meletakannya pada meja. Ia juga membantuku duduk. Ia selalu melakukannya selama seminggu ini.

"Terima kasih."

Gam tidak menjawab, ia hanya mengelus rambutku –sebenarnya lebih mirip mengacak-acak. Oh, ini kali pertama ia melakukannya.

Tapi sungguh, aku merasa biasa saja.

***

Berkali-kali aku membuka mulut dan menutupnya dengan tangan. Menguap.

Gam tak jauh berbeda denganku, dan Bobby bahkan tertidur. Kinar sesekali melihat buku (sekaligus berpura-pura mendengarkan guru), mengganggu Bobby, atau melihat ke arahku dan tersenyum, sedangkan aku tak merespon apa-apa.

Ayolah, aku ini buta.

Aku tidak tau harus melakukan apa. Guru sejarah tak kunjung berdiri dari tempat duduknya, dan mulutnya tak sekali pun berhenti membacakan isi buku. Dulu, sebelum orang-orang mengenalku dengan "si buta", aku sering ikut membaca buku yang sedang dibacakan oleh guru. Tapi sekarang, yang bisa aku lakukan hanya mendengar, mendengar, dan mendengar.

Tiba-tiba Gam menyodorkan sebungkus permen karet. Sepertinya dia dapat membaca kebosananku.

Aku mengambil permen karet itu.

"Terima kasih. Kau tau sekali ya bahwa aku sedang bo ... " Ucapanku terhenti. Gam menyodorkan permen itu tanpa bersuara, bagaimana mungkin aku bisa mengetahuinya? Aku buta. "Ini permen, kan?" tanyaku berpura-pura.

Gam tertawa kecil.

"Sudah dapat kelompoknya?"

Suara guru yang agak keras membuat Gam menghentikan tawanya, lalu melihat ke arah belakang.

"Kelompok apa?"

"Bikin kelompok, empat orang."

Gam langsung mengacungkan tangannya dan melihat ke sekeliling kelas.

"Ada yang belum dapat kelompok?" tanyanya.

Tak ada yang menjawab. Mungkin semuanya sudah mendapat kelompok.

"Semua sudah punya kelompok?" tanya guru sejarah kami yang masih berada di kursinya. Seisi kelas mengiyakan, kecuali aku dan Gam. "Kalau begitu, kalian berdua saja." Gam mengiyakan, sedangkan aku hanya terdiam. "Pelajaran dicukupkan sekian, silakan istirahat. Jangan lupa besok tugasnya dikumpulkan di meja saya."

Guru sejarah itu berdiri, lalu pergi meninggalkan kelas.

"Karena dikumpulkan besok, berarti pulang sekolah kita harus mengerjakannya," ujar Gam sambil membereskan bukunya. Aku –yang tidak membawa buku karena yang bisa aku lakukan di hadapan mereka hanyalah mendengar, hanya mengiyakan. "Kau ingin mengerjakannya dimana?"

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang