Kotak Hijau

225 22 0
                                    

"Kau ingin minum apa?" tanya Gam, tepat ketika aku mendudukkan diri di sofa.

"Tak usah," jawabku sambil memandang Gam. Bukankah dia sudah tahu bahwa aku tidak buta? Jadi, aku tak perlu lagi berpura-pura di hadapannya.

Gam tersenyum mengejek, kemudian ia masuk ke bagian dalam rumahnya. Aku hanya terdiam sambil melirik ke tempat yang membuat Gam tahu bahwa aku tidak buta: meja dengan pigura berisi foto-foto Gam dan keluarganya.

"Ekhem."

Aku menarik napas panjang, terkejut, kemudian melirik Gam yang membawa dua gelas kosong dan minuman jus kemasan ukuran besar.

"Kau tertarik dengan foto-foto disana, ya?" tebak Gam.

"Aku hanya teringat kejadian dulu," jawabku terus terang, kemudian tertawa kecil, "kejadian yang membuatmu tahu tentang rahasia terbesarku."

"Kejadian yang membuatmu marah dan menjauhiku, eh?"

"Aku tidak menjauhimu," elakku, "buktinya kita selalu satu meja."

Gam tertawa, kemudian berdiri.

"Ya, kau tak menjauhiku, tapi kau membuat dinding yang membuat kita seakan terpisah." Perkataannya berhasil membuatku bungkam. "Lalu apa bedanya kedua hal itu? Bukankah hasilnya sama: kita tak lagi bersama dan berjalan berdampingan. Benar?"

Gam kembali masuk ke bagian dalam rumahnya sebelum aku membela diri. Oh, meskipun ia tidak pergi, aku tak berjanji akan membalas perkataannya.

Lagipula pemikiran dia benar, meski bukan berarti aku salah.

Begini, aku bersikap seolah marah pada Gam hanya karena takut. Takut dia tahu siapa aku yang sebenarnya, takut dia membenci "sesuatu" sepertiku, dan ketakutan-ketakutan lainnya yang aku sendiri pun tak dapat mendeskripsikan semua itu. Jadi, apa salahnya aku menjauhi hal yang aku takuti?

Oh, ya, aku menjauhi Gam, dan aku takut kepada Gam.

Takut dia tahu siapa aku yang sebenarnya, takut dia membenci "sesuatu" sepertiku, dan ketakutan-ketakutan lainnya yang aku sendiri pun tak dapat mendeskripsikan semua itu. Jadi, apa salahnya aku menjauhi hal yang aku takuti?

Dua kali aku berkata begitu, dan aku harap kalian dapat memahamiku.

Bahkan aku berharap Gam memahamiku.

"Sudah siap mengerjakan tugas?"

Aku baru menyadari bahwa Gam telah ada di sampingku, dengan laptop dan buku di depannya.

"Oh, ya," jawabku setengah sadar.

***

17.00

Kami baru menyelesaikan setengah dari tugas yang harus kami kerjakan. Tapi ini terlalu sore, dan Gam setuju untuk mengakhiri diskusi.

"Ya, Ay, aku mengerti, kau ingin kita mengerjakan tugas di hari-hari berikutnya, dan kita dapat berduaan lagi."

Aku hanya mengerlingkan mata sambil berkata, "Terserah kau saja."

Gam tertawa, lalu aku ikut tertawa. Oh, aku merasa sangat nyaman. Selama mengerjakan tugas, kami mengobrolkan banyak hal. Kami menjadi sangat akrab, dan jauh lebih akrab dari sebelumnya.

Mungkin hubungan kami sebelumnya adalah gelas, kejadian kemarin adalah hal yang membuat gelas itu pecah, kemudian keputusanku untuk bersikap seperti biasa adalah daur ulang, hingga akhirnya, kenyamanan ini adalah hasil dari daur ulang itu.

Oh, sejak kapan aku menjadi berlebihan seperti ini?

Tapi ... tunggu, aku tidak boleh seperti ini. Aku harus fokus kepada tujuanku. Aku harus menemukan kotak hijau lain, bukan terlena oleh kenyamanan, hal-hal yang membahagiakan, atau masalah-masalah lain.

"Kau tak bosan terus-menerus melamun, hah?"

Aku melirik ke arah Gam, kemudian berdiri.

"Aku harus pulang."

"Tentu saja, kau pikir aku akan membiarkanmu tidur di rumahku?"

Gam meraih tanganku, namun aku tepis.

"Bukankah di sekolah aku sering memegang tanganmu? Mengapa disini tidak boleh?" tanya Gam mengejek.

"Itu karena di sekolah, kau dan aku sedang berdrama," jawabku sambil berjalan mendahului Gam. Aku dapat mendengar tawanya, tapi yang dapat aku lakukan hanya tersenyum kecil.

"Tunggu sebentar," pinta Gam. Ia mengunci pintu dengan terburu-buru, sedangkan aku memperhatikannya tanpa minat.

Namun, oh, sebentar!

"Gam," panggilku pelan, "itu ...."

"Ya, apa?" tanya Gam sambil melepas kunci dari pintu.

Aku segera merebut kunci itu. Disana terdapat gantungan berupa kotak berwarna hijau, persis seperti kotak hijau. Benar-benar sama. Jelas-jelas sama. Warnanya, warna hijaunya, ini terlalu khas. Hanya kotak hijau yang berwarna seperti ini, dan, oh, mataku berwarna demikian juga.

Dengan tangan bergetar, aku memegang gantungan itu. Tidak salah lagi, ini kotak hijau. Ini yang aku cari. Ini yang aku cari selama ini.

"Ada apa dengan gantungan itu?" tanya Gam.

Aku segera menatapnya tepat di mata, tak mampu menyembunyikan rasa terkejut.

Jadi, benar-benar Gam orangnya. Benar-benar Gam yang memiliki kotak hijau lain.

Dan benar-benar Gam yang akan menjadi korban.

"Apa yang aneh dari gantungan itu?"

Aku hanya menggigit bibir. Kotak hijau milik Gam masih berada di tanganku yang tak dapat berhenti bergetar.

"Kau tampak ketakutan, Ay. Sebenarnya ada apa?" tanya Gam sambil memegang pipiku. Ia tampak khawatir.

Oh, Gam, kalau boleh, daripada aku yang harus membunuhmu secara tidak langsung, lebih baik kau yang membunuhku, meski secara langsung.

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang