Hari Terakhir

243 19 3
                                    

"Kau mandi disini, ya. Aku akan mandi di kamar Bobby," ujar Gam yang kemudian pergi, meninggalkanku di depan pintu kamar mandi.

Oh, kami baru saja tiba di rumah Bobby. Gam membawaku kesini agar kami bisa mandi, setelah sebelumnya membeli pakaian masing-masing.

"Apa disini aman?"

Gam menghentikan langkah, kemudian aku dapat melihat tangan lelaki itu mengeratkan pegangan terhadap tali tas kertas berisi bajunya. Tanpa membalikkan badan, ia balik bertanya, "Kau tak percaya padaku? Kau pikir tempat ini perangkap untuk memberikanmu kepada mereka?"

"Bukan begitu, Gam." Aku menggigit bibir. "Aku takut orang-orang Papa menemukan kita disini, lalu mereka membuat keributan."

Akhirnya Gam membalikkan badan. Ia tersenyum menenangkan, lalu berkata, "Tenanglah. Selama ada aku, semua akan baik-baik saja."

Lelaki itu pergi, sedangkan aku masih terpaku di tempat yang sama. Baik-baik saja? Aku menarik napas panjang. Semoga, Gam. Semoga begitu.

Butuh waktu setengah jam untuk selesai mandi dan berpakaian. Gam pun telah siap di kamar Bobby yang terbuka. Aku mendekat ke ambang pintu, memperhatikan lelaki yang sedang menyisir rambut itu. Hidung mancungnya hanya berjarak tiga senti dari cermin, membuat uap-uapnya menabrak cermin tersebut.

"Hai." Aku terperanjat menyadari Bibi, wanita bermake up menor yang biasa membantu Bobby dan ayahnya membereskan rumah, sudah berada tepat di belakangku. "Makanannya sudah siap."

Gam menoleh, ia baru menyadari bahwa sejak tadi ada orang yang memerhatikannya. Uh, orang?

"Terima kasih, Bi. Nanti kami kesana," ujar Gam, membuat Bibi mengiyakan dan pergi meninggalkanku di pintu. "Memerhatikanku, eh?"

"Hanya menunggu, karena tak mau mengganggu," balasku beralasan. "Kamar Bobby rapi, ya?" Aku mengalihkan pembicaraan.

Gam terkekeh, tampaknya ia menyadari upaya pengalihan isu yang aku lakukan. "Ia kan sudah berhari-hari di rumah sakit."

Ah, iya. Bobby dan Kinar masih di rumah sakit, sedangkan besok adalah hari terakhirku hidup -jika Gam tak memberikan kotaknya. Meski Gam telah berjanji untuk memberikan kotak hijau miliknya, tapi aku belum tentu berhasil mendapatkannya. Gam tak mungkin memberikan kotak kesayangannya begitu saja, kan? Pokoknya, aku harus menemui Bobby dan Kinar hari ini!

"Yuk." Aku baru menyadari Gam berada di hadapanku. Tanpa berbasa-basi lagi, lelaki itu pergi, tetapi aku menahan lengannya. "Ada apa?" Ia menoleh ke arahku.

"Hari ini kita ke rumah sakit, kan?"

Gam mengerutkan dahi, lalu menggelengkan kepala. Ia berkata pelan, "Kita pernah bertemu mereka disana, Ay, berarti tempat itu sudah berbahaya."

"Tapi, Gam, aku ingin-"

"Bertemu mereka?" potong Gam. "Aku juga, Ay. Bukan hanya kau yang akan pergi, tapi juga aku, jadi aku juga ingin menemui mereka sebelum berpisah."

"Pergi?" Kali ini aku yang mengerutkan dahi. Aku pikir kami akan terus bersembunyi disini.

"Ya, pergi." Gam tersenyum lebar. "Pergi ke tempat yang jauh, agar mereka, orang-orang Papamu, tak dapat menemukan kita."

"Kemana, Gam?"

Gam mencubit kedua pipiku, lalu menjawab dengan tatapan jahil, "Rahasia!"

Sambil melepaskan tangan Gam, aku mengulangi pertanyaan, "Kemana?!"

"Percaya saja padaku. Pokoknya, hari ini kita menginap disini, dan besok ...."

***

Disinilah kami, keesokan harinya, di bawah matahari pagi, di atas kapal yang baru saja mendekati lautnya. Angin menerbangkan rambutku dan Gam, juga meniup luka di pipi kananku yang mulai kering. Luka yang diberikan Deyna.

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang