Ternyata Deyna

228 25 1
                                    

Aku duduk di depan meja rias. Cermin memantulkan wajahku, dan sebagian dari bajuku. Cantik, bersinar, masih sama seperti dulu, seperti waktu aku melihat diriku sendiri untuk pertama kalinya. Cantik, hanya saja mata hijauku sedikit mengganggu.

Dress hitamku sama cantiknya. Kata Mama, ia sengaja memesannya untukku. Aku percaya, karena pada dress ini terdapat aksen-aksen hijau yang sama telak seperti mataku. Mungkin Mama ingin menipu orang-orang. Mungkin Mama ingin orang-orang berpikir bahwa aku memakai soft lens yang sama seperti warna pada hiasan bajuku.

Mungkin Mama malu memiliki anak sepertiku.

Sudahlah, itu tidak penting.

Cklek.

Pintu terbuka. Aku segera berpura-pura tidak melihat apa pun.

"Ayo, cantik, mereka sudah menunggu."

Mama menuntunku.

Oh, yang dimaksud "mereka" oleh Mama adalah para pemilik saham perusahaan Papa. Malam ini aku akan diperkenalkan pada mereka, ntah untuk apa.

"Anakmu cantik sekali," puji seseorang, mungkin ia berkata pada Papa, karena Papa langsung menjawab, "Tentu saja, lihatlah Papanya."

Mungkin Papa lupa bahwa aku ditemukan di hutan.

"Tersenyumlah," bisik Mama sambil melepaskan tangannya dari lenganku. Aku mengikuti perkataannya.

"Jadi, ini calon penerusmu?"

"Masih sangat muda, dan kau sudah mengenalkannya pada kami?"

"Tapi tunggu, dia ...."

Aku tahu orang itu sungkan untuk melanjutkan perkataannya.

"Ia akan segera mendapatkan donor mata. Itu tidak akan lama lagi." Papa terdengar seperti meyakinkan mereka.

Aku hanya diam, tersenyum. Bintang-bintang yang terpantul pada kolam renang di pinggirku lebih tahu kenyataannya: bahwa aku tidak buta, hanya saja aku hampir mati.

Tiba-tiba terdengar suara piring berjatuhan. Orang-orang yang kaget langsung melihat sumber suara, tak terkecuali aku.

Aku dapat melihat Deyna sedang melihat ke arah kami –ke arahku, Mama, Papa, dan beberapa teman Papa. Deyna mungkin menabrak orang-orang yang sedang menyiapkan makanan. Deyna mungkin baru pulang main bersama temannya. Deyna mungkin tidak diberi tahu tentang acara ini. Deyna mungkin kecewa, karena matanya berkata demikian. Kakinya pun sama, karena ia langsung berlari ke dalam rumah.

"Deyna," ucap Mama dengan suara tertahan. Aku segera sadar. Aku harus berpura-pura tidak tahu apa-apa.

"Apa itu Deyna? Dia kenapa, Ma?"

Mama hanya terdiam.

***

Berbeda dari biasanya, Deyna tak membantuku menunjukkan arah menuju kelas. Ia berada di depanku, membuatku harus berpura-pura mengarahkan tangan kesana-kemari. Orang-orang menatapku heran, lalu menatap Deyna. Aku yakin mereka berpikir macam-macam.

"Kau kenapa?" tanyaku akhirnya.

Deyna tak menggubris. Ia malah mempercepat langkah, sedangkan aku masih dengan kecepatan sebelumnya.

Aku tertinggal jauh dari Deyna, dan aku terus berdrama. Sampai akhirnya aku berpapasan dengan Gam, lalu ia menggapai tanganku. Aku segera menepis tangannya.

"Aku hanya ingin membantumu."

Aku terdiam, dan terus berjalan sambil menggerakkan tangan.

"Mengapa Deyna meninggalkanmu?"

Aku tidak menjawab, dan Gam masih berada di sampingku, berjalan dengan kecepatan sama sepertiku.

"Apa ia marah? Marah kenapa?"

Aku tetap bungkam.

"Wah, sepertinya kau juga tidak tahu mengapa Deyna bersikap begitu."

Kelas semakin dekat, dan Gam belum berhenti berceloteh.

"Jangan-jangan, ini karma karena kau marah padaku tanpa alasan?"

Akhirnya kelas sudah di depan mata. Gam dengan baik hati membantuku berdrama: memegang lenganku dan mengarahkannya menuju kelas sambil berpura-pura memberitahu bahwa kami sudah sampai di kelas. Lagi-lagi aku menepisnya, meski jujur saja, akting dia sangat membantu.

Kinar menghampiriku dengan tergesa.

"Pantas saja Deyna datang sendiri, ternyata kau bersama Gam, ya," ujarnya sambil tertawa dan membantuku menyimpan tas. Gam ikut tertawa, sedangkan aku hanya tersenyum kecut.

***

"Sebenarnya kau kenapa?" tanyaku pada Deyna, selepas masuk ke dalam rumah. Sejak tadi pagi hingga siang ini, perempuan itu belum mengucapkan sepatah kata pun.

"Apa kau tak bisa untuk tak bertanya mengapa?!" bentak Deyna sambil membalikkan tubuhnya dan menatapku tajam. Aku melihat ke arah lain, karena, oh, ingatlah, aku buta.

"Kau marah padaku? Kesalahan apa yang telah aku lakukan?" Aku masih saja bertanya.

"Kesalahanmu adalah datang ke rumah ini, dan jadi bagian dari keluarga ini!" Aku terdiam, tak mengerti, sampai Deyna melanjutkan perkataannya, "Perusahaan itu harusnya menjadi milikku, bukan kau!"

Oh, aku tahu sekarang. Deyna, perempuan itu, sepupu angkatku itu, ternyata menginginkan perusahaan Papa.

"Aku pikir membuatmu buta itu cukup, tapi ternyata tidak. Ternyata aku harus membunuhmu," ujar Deyna dengan penuh penekanan.

"Tunggu, tunggu," aku berusaha menenangkan Deyna, "maksudmu, kau yang mendorongku di tangga?" Oh, sebenarnya aku hanya ingin mengalihkan pembicaraan.

"Ya, Ay, aku yang mendorongmu! Aku yang ingin mencelakaimu, dan aku yang bahagia karena kau buta! Tapi ternyata, buta saja tak cukup. Kau terlalu berpengaruh untuk keluarga ini, Ay. Kau benar-benar harus disingkirkan!" teriak Deyna sambil berjalan mendekatiku.

Deyna mencekik leherku, lalu mendorongku sampai menabrak dinding. Aku memukul-mukul bahu Deyna sambil berusaha berteriak. Setelah membuatku sedikit merasa melayang, Deyna melepaskan tangannya. Ia menatapku tajam.

"Sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk membunuhmu. Kau tahu, kan, sebentar lagi Tante dan Om sialan itu akan segera pulang dari perusahaan mereka yang tak lama lagi akan menjadi milikku. Sebaiknya kau pergi ke kamar, bersikap seperti biasa, dan tutup mulutmu, atau kau akan menyesal."

Deyna meninggalkanku yang terduduk lemas di lantai.

Deyna, inikah perangai aslimu?


AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang