Sisa: Tiga Minggu

272 27 0
                                    

Tiga minggu menuju kematian, jika kehidupan menuliskanku tidak akan mendapat kotak hijau lain.

Semua manusia memperlakukanku layaknya orang buta, karena kenyataan yang mereka tau adalah seperti itu. Oh, kecuali Kinar, tentunya, karena dia adalah ‘sesuatu’ sepertiku dan tau apa yang terjadi sebenarnya.

Perbincangan kami di lapangan memang berakhir dengan tidak baik, tapi kami tidak pernah membahasnya lagi seolah tak pernah membicarakan tentang kekuatan itu.

Kinar selalu berpura-pura menganggapku buta ketika di depan orang banyak, tetapi ketika kami hanya berdua, ia memperlakukanku berbeda.

“Waktuku tinggal tiga minggu.” Akhirnya aku yang membuka perbincangan yang tak pernah kami sentuh lagi itu.

Kinar mengarahkan pandangannya padaku yang sedang menatap lurus ke depan. Saat ini kami sedang duduk di pinggir lapangan, sedangkan teman-teman yang lain sedang berolahraga. Aku tidak ikut olahraga karena dianggap masih sakit, sedangkan Kinar karena tidak membaca baju –ia sengaja melakukannya untuk menemaniku.

“Aku bisa memberikanmu si hijau.”

Aku menggeleng sembari tersenyum.

“Kau memanggilnya si hijau?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Ya, apa kau juga memanggilnya begitu?”

“Aku memanggilnya kotak hijau,” terangku. “Letak si hijaumu dimana?”

“Disini,” jawab Kinar sambil menunjuk bahu kanannya. “Kotak hijaumu?”

“Awalnya ia berada di punggung.” Aku mengeluarkan kalung kotak hijau dan memperlihatkannya pada Kinar, tanpa melepasnya dari leher. “Tapi dia berubah menjadi kalung karena aku kesusahan untuk melihatnya.”

Kinar tertawa kecil mendengar penjelasanku.

Tiba-tiba sebuah bola terlempar ke wajahku, tapi bola itu tertahan tepat lima senti dari hidungku. Tak lama, bola itu terjatuh.

“Aaaaaa!”

“Bolanya?!”

“Kenapa bolanya bisa berhenti kayak gitu?!”

“Ay, lo punya kekuatan ajaib?!”

“Ay?!”

Aku melirik Kinar seolah berkata, “Mengapa bisa seperti ini?!” dan Kinar menjawab dengan tatapan, “Kau baru tau?”

Berbeda dengan teman-teman yang lain yang hanya berteriak kaget, Gam malah menghampiriku dengan berlari. Air mukanya menampakkan kecemasan.

“Kau tidak apa-apa?”

Aku berlari meninggalkan Gam, Kinar, dan teman-teman yang mungkin saja sedang berpikir aneh.

***

“Ay!! Ay!!”

Kinar mengetuk-ngetuk pintu dengan keras. Aku tak dapat bergerak, tanganku menutup mulut yang terbuka begitu saja. Apa yang harus aku katakan pada orang-orang?

“Buka pintunya! Jika kau terus bersembunyi, mereka akan mencurigaimu!”

Aku menarik napas panjang, lalu membuangnya. Benar kata Kinar. Aku harus tampak tenang. Aku harus berlaga seolah tak tau apa-apa.

Oh, bukankah aku memang tak tau apa-apa?

Dengan tangan bergetar, aku membuka pintu toilet. Kinar langsung memegang pipiku, matanya menatapku tenang, sekaligus menenangkan.

“Yang perlu kau lakukan hanyalah tenang. Jika mereka bertanya, jawablah bahwa kau tidak tau. Katakan bahwa kau juga kaget.”

“Lagipula aku memang kaget.”

Kinar tertawa sambil melepaskan tangannya dari pipiku.

“Kotak hijaumu tidak memberitahu?”

Aku menempelkan telunjuk ke bibir sambil menggelengkan kepala dan mengerutkan dahi.

Sekali lagi, Kinar tertawa.

“Sebentar lagi pelajaran olahraga berakhir. Mereka pasti akan segera kemari untuk mengganti baju,” terang Kinar. “Oh, ya, kau harus segera menemui Gam. Tadi dia ingin mengejarmu, tapi aku larang. Dia benar-benar mengkhawatirkanmu.” Kinar tertawa di akhir perkataannya.

“Ay, kau ada di dalam?” tanya seseorang dengan berteriak dari luar sekat toilet. Panjang umur, kata manusia. Baru saja kami –sebenarnya hanya Kinar, membicarakannya.

Kinar tertawa kecil, lalu aku memelototinya. Ia pun mengambil tanganku, dan aku kembali melancarkan aksi penipuan: berpura-pura buta.

“Kau tidak terluka, kan? Kau tidak apa-apa?”

“Bagaimana mungkin aku terluka? Semua orang tau bahwa bolanya tidak menyentuhku sama sekali.”

Kinar meremas tanganku. Oh, apa aku telah melakukan kesalahan?

“Syukurlah. Kalau begitu, kita ke kelas saja.”

Gam memegang tanganku, menggantikan posisi Kinar. Oh, mengapa dia begitu senang menggantikan posisi orang?

***

“Memang seperti itu. Kau tidak akan dibiarkan terluka selama satu bulan ini, kecuali oleh air, api, dan tanah.”

“Bagaimana bisa kau tidak menceritakan ini sebelumnya?!”

Aku menutup selimut sampai kepala. Hari ini cukup melelahkan, rasanya tak ada hal lain yang ingin aku lakukan selain menenggelamkan diri di kasur bersprai pink dan selimut hijau mint ini.

Kotak hijau tertawa kecil.

“Kejutan,” ujarnya kemudian.

Aku berusaha menghirup oksigen dari balik selimut. Rasanya pengap, tapi menenangkan. Ah, ralat, menyenangkan.

“Tapi kau telah mendorongku ke dalam masalah. Kau tau? Orang-orang bertanya mengapa bola itu bisa berhenti sebelum mengenai wajahku. Mereka juga bertanya mengapa aku bisa berlari ke toilet dalam keadaan buta. Mereka mencurigaiku!” terangku beberapa saat setelah memunculkan kepala dari balik selimut.

“Jika mereka mencurigaimu, berarti mereka peduli padamu. Seharusnya kau senang.”

“Tidak mungkin. Mereka hanya penasaran, bukan peduli. Bukankah semua manusia seperti itu?”

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang