Kinar sedang mengerjakan tugas di bangkunya, sedangkan Gam baru saja keluar dari kelas. Ingin beli minum, katanya, padahal aku tidak bertanya.
Seperti saat pertama kali aku melihat orang misterius di bawah jendela, hari ini Bobby datang terlambat. Atau bahkan dia tidak akan datang, aku tidak tahu. Yang pasti, aku agak khawatir dengan keadaannya.
"Nanti jadi ke dokter, kan?" tanya Deyna tiba-tiba. Ia duduk di kursi yang ada di depanku, dan, oh, untunglah aku ingat untuk tidak menatap matanya. Aku buta, ya.
"Sepertinya," jawabku seadanya.
"Syukurlah. Kau pasti senang akan segera mendapatkan mata." Aku tak menanggapi perkataan Deyna, hingga perempuan itu menambahkan, "Aku ingin menemanimu, tapi nanti aku ada urusan sebentar. Aku harap kau mau menungguku."
Jelas sekali Deyna memiliki rencana.
"Baiklah, aku akan menunggu."
Deyna tersenyum sinis, lalu ia pergi dari hadapanku.
Aku mengembuskan napas lega. Berhadapan dengan Deyna membuatku sedikit emosi, sebenarnya. Terlebih jika mengingat bahwa ia ingin menguasai kekayaan Mama dan Papa.
Bukan, bukan karena aku menginginkan hal yang sama, tapi karena aku mengkhawatirkan Mama dan Papa. Bagaimanapun, mereka orangtuaku. Mereka ....
Ujung mataku menangkap sosok Bobby.
Akhirnya, setelah cukup lama menunggu.
Aku berjalan mendekati lelaki itu. Seperti biasa, ia tampak mengantuk. Jalannya begitu lambat, tatapannya tak lepas dari lantai, hingga aku menyentuh lengannya dan berkata pelan, "Ikuti aku."
Aku, atau kami, jika Bobby benar-benar mengikutiku, berjalan menuju lapangan depan. Beberapa kali aku merasa orang-orang melihatku dengan tatapan aneh. Oh, ayolah, apa mereka masih menganggapku penyihir?
"Ada apa, Ay?" tanya Bobby sesaat setelah kami sampai di lapangan depan.
Aku membalikkan badan, lalu menatap Bobby. Ia masih tampak mengantuk. Ah, sebenarnya aku sempat berpikir bahwa selama ini ia hanya pura-pura, tapi sepertinya aku salah.
"Nanti aku akan menemui dokter," aku menghela napas sebelum melanjutkan, "maksudku, ayahmu. Apa kau juga akan datang?"
"Sebenarnya aku tidak perlu datang. Tapi jika kau ingin, aku bisa saja kesana."
"Lebih dari ingin kau datang, sebenarnya aku ingin kau berhenti."
Bobby mengerutkan dahi, ntah tak mengerti, atau pura-pura tak mengerti. Bukan rahasia kan, bahwa semua orang di dunia ini senang berpura-pura?"Tak usah bersusah payah mendonorkan matamu. Kau hanya perlu berusaha untuk tetap hidup."
Aku jadi ingat darah yang menetes dari jari Bobby pada malam tadi.
"Kemungkinannya terlalu sedikit untukku tetap hidup, kau tahu."
Aku menggapai kedua tangan Bobby. Kukunya putih bersih, tak ada darah atau bekasnya sama sekali.
"Kau akan tetap hidup, aku yakin. Penyakitmu sudah mulai menunjukkan tanda-tandanya, kan?" tanyaku sambil menatap Bobby lekat.
"Ah, apa maksudmu," balas Bobby sambil melepaskan tanganku. Pipinya memerah, membuatku ingin tertawa.
"Bobby, aku tidak membutuhkan matamu." Sekali lagi, Bobby mengerutkan dahinya. "Maksudku, aku kan bisa melihat. Walaupun hasil pemeriksaan tidak menunjukkan itu, yang penting aku bisa melihat."
"Lalu kau akan terus berpura-pura buta?"
"Itu bukan masalah, semangatmu untuk hidup jauh lebih penting."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ay
FantasyAy menjadi buta karena suatu kecelakaan, kotak hijau pun menawarkan kekuatan agar Ay bisa melihat. Hanya saja, Ay harus mendapatkan kotak hijau lain selama satu bulan, atau ia akan mati. Ternyata, pemilik kotak hijau lain berada di dekat Ay. Namun a...