Keluarga dan Sekolah

359 35 3
                                    

Aku tak dapat membuka mata, tapi aku dapat mendengar ada yang mendekat secara diam-diam. Tak lama, aku mendengar teriakan, seperti memanggil. Ntahlah, aku tak dapat mendengarnya dengan jelas. Tapi tak lama, aku merasa tubuhku terangkat.

Akhirnya aku dapat membuka mata setelah waktu yang cukup lama. Aku berada di sebuah rumah sakit, dan beberapa orang sedang melihatku dengan lega, seolah aku baru terlahir ke dunia.

Aku memperhatikan mereka satu-persatu. Mereka berjumlah empat orang. Seseorang memakai jas putih yang ku yakini sebagai dokter, lalu ada ibu-bapak yang tadi bertanya dan ku yakini bahwa mereka adalah calon orang tuaku, dan seorang gadis yang tampak seumuran denganku dan ku tebak bahwa ia adalah calon saudaraku.

"Namamu siapa? Apa kamu tau keluargamu dimana?"

"Namaku Ay, Nayala Fiskha. Aku ... tidak tahu keluargaku dimana. Tapi sepertinya, aku memang tidak memiliki keluarga."

***

Aku dituntun memasuki sebuah rumah yang cukup besar, dengan halaman yang indah. Betapa beruntungnya aku diadopsi oleh pemilik rumah ini. Ya, tepatnya aku diadopsi oleh orang yang membawaku dari hutan, seperti kata si kotak hijau.

Ah, ya. Aku belum pernah berbicara lagi dengannya. Ntah karena dia sudah tidak dapat berbicara, atau karena ... ah, yang tadi itu bukankah tidak mungkin? Si kotak hijau masih dapat berbicara, aku yakin itu. Dia takkan meninggalkanku di dunia yang aku tidak tau mengapa aku tiba-tiba berada disini.

Tapi bukankah aku juga tidak tau kotak hijau itu apa atau siapa? Ah, bahkan aku tidak tau aku sendiri apa atau siapa.

"Kalau kamu sudah benar-benar pulih, kita bakal urus berkas-berkasnya, supaya kamu sah jadi bagian dari keluarga ini," ujar ibu yang menemukanku, ehem, Mama.

Suaminya, Papa, tersenyum sambil membantuku duduk di sofa. Mereka tampak senang dengan kehadiranku, karena ternyata mereka tidak memiliki anak. Gadis yang aku lihat di rumah sakit adalah keponakan mereka, yang juga tinggal di rumah ini karena ia sudah tidak memiliki orang tua.

"Terima kasih, Ma, Pa."

Mama yang duduk tepat di sampingku, tersenyum menatapku sambil mengusap tanganku dengan tangan lembutnya. Hangat. Aku dapat merasakan kasih sayang yang tulus darinya. Papa yang duduk di kursi yang berada di hadapanku, ikut tersenyum.

"Oh, ya, karena sopir kita sedang sakit, sekarang Papa harus menjemput Deyna dari sekolah."

Papa berdiri, lalu mengusap rambutku, dan melirik ke arah Mama sambil kembali berpamitan.

Ah, ya, aku lupa memperkenalkan Deyna. Dia adalah gadis itu. Maksudku, gadis keponakan orang tua angkatku yang aku lihat di rumah sakit dan mulai hari ini akan tinggal seatap denganku.

"Nanti kamu sekolah bareng Deyna, ya? Mama rasa, kalian seumuran," ujar Mama selepas Papa pergi.

"Sekolah?" Aku terkejut. Aku tahu sekolah. Itu adalah tempat orang-orang belajar, kan? Orang-orang itu akan diberi tugas, pekerjaan rumah, juga ujian. Membosankan.

"Iya. Walaupun kamu lupa ingatan, tapi kamu tidak lupa apa itu sekolah, bukan?" tanya Mama, yang aku rasa pertanyaan itu hanyalah candaannya. Jadi aku hanya tertawa kecil untuk menjawab. "Ayo, Mama antar ke kamarmu."

Malam hari. Akhirnya aku dapat menghirup napas sendirian, di kamar baru yang dipenuhi warna pink dan biru pastel, kamar pertamaku.

"Akhirnya ...." Itu bukan suaraku, tapi si kotak hijau. Aku sempat kaget mendengarnya, tapi aku segera sadar bahwa itu adalah suara dia.

"Kenapa baru berbicara?"

"Apa kamu pernah sendirian akhir-akhir ini?" Kotak hijau balik bertanya. "Aku tidak dapat berbicara ketika ada orang berada di dekatmu, bahkan ketika ada orang yang memperhatikanmu, atau ketika ada orang yang mengupingmu."

"Hebat," pujiku dengan nada datar. Aku berjalan menuju jendela, lalu membukanya. Udara malam yang segar, dengan langit hitam yang tidak ditemani bintang ataupun bulan.

"Kamu suka keluarga barumu?" tanya kotak hijau. Acara pura-pura marahku rupanya tidak berhasil.

"Tentu saja," jawabku dengan nada biasa, ceria. "Mereka baik, dan mereka sangat menyayangiku."

Aku memegang si kotak hijau yang masih menggantung di leherku.

"Tapi keponakan orangtuaku, Deyna, dia sepertinya tidak suka"

Si kotak hijau tidak menjawab. Tiba-tiba, seseorang membuka membuka pintu. Aku langsung melihat ke arah pintu, dan menyembunyikan si kotak hijau ke dalam baju.

"Belum tidur?"

Ternyata Deyna yang datang, dan ia tampak kaget ketika melihatku.

"Belum. Ada apa?"

Deyna tidak berkata apa-apa. Ia langsung menutup pintu.

"Menurutmu, untuk apa dia kesini?" tanyaku sambil kembali memegang kotak hijau.

"Itu tidak penting. Sebaiknya, sekarang kamu tidur."

Aku menutup jendela, lalu tertidur seperti apa yang disarankan si kotak hijau.

***

Hari Senin. Tepat seminggu setelah aku diadopsi oleh Mama dan Papa. Hari ini mungkin akan menjadi hari yang cukup berat, karena untuk pertama kalinya, aku akan bersekolah.

Entah bagaimana aku akan belajar, entah bagaimana aku bisa mengikuti pelajaran. Semalam, si kotak hijau menyuruhku untuk jangan gugup, dan hadapi saja. Baiklah. Apa pun yang terjadi, bagaimana pun nasibku, aku akan hadapi, karena memang hanya itu yang dapat aku lakukan.

"Om dan tanteku mengadopsinya minggu lalu."

Teman-teman Deyna meng-oooh dengan kompak, mereka seperti telah mengatur hal itu.

Ah, ya, aku diperkenalkan oleh Deyna di depan kelas. Semua pasang mata yang ada di kelas ini memperhatikan kami. Entah karena Deyna selalu diperhatikan, atau karena aku yang menarik perhatian. Apa aku terlalu percaya diri? Hahaha. Tapi bukankah benar, yang namanya anak baru selalu diberi perhatian lebih? Maksudku, pada awalnya. Besok-besok ... kita liat saja.

"Udah, ya, kenalannya. Sekarang, Ay harus duduk. Kursi yang kosong ada dimana ya, teman-teman ...?"

Sungguh, aku merasa dipermainkan. Tapi, entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja.

"Disana ...."

Semua orang yang ada di kelas menunjuk sebuah kursi kosong. Di sampingnya terdapat seseorang yang, oh, dia satu-satunya orang yang tidak menunjuk kursi kosong tersebut, karena dia sedang tertidur.

"Kalau begitu, Ay, silakan simpan tasmu dan duduk disana. Sebentar lagi bel berbunyi."

Semua orang –kecuali orang yang tertidur itu, tertawa. Aku benar-benar merasa bodoh. Apa arti tawa itu? Mereka sedang mengejek, atau sedang bercanda?

Aku berusaha untuk tidak peduli, dan berjalan mendekati kursi kosong itu, lalu menyimpan tas di meja yang berada di depan kursi tersebut. Sebelum duduk, aku melihat orang yang sedang tertidur tadi. Dilihat dari rambutnya dan celana yang ia pakai, aku dapat menyimpulkan bahwa ia adalah seorang lelaki.

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang