Epilog

297 20 4
                                    

"Inilah rekaman amatir dari penumpang kapal yang menjadi salah satu saksi dari kejadian ini," ujar suara dari televisi, yang kemudian menampilkan video dua remaja sedang beradu argumen, hingga salah satu di antara mereka menjatuhkan diri ke laut.

Pria dan wanita yang berada di sofa depan televisi langsung saling pandang. Keduanya terbelalak, tak percaya. Tentu saja mereka tahu, siapa perempuan yang ada di dalam siaran yang mereka tonton. Lalu si wanita menutup mulutnya, menahan isakan, membuat si pria mendekat dan membawanya ke pelukan.

***

Seorang perempuan mengambil sesendok nasi bersama sayur dari piring, lalu menyuapkan sendok tersebut perlahan kepada lelaki yang ada di hadapannya. Lelaki itu mengenakan piyama rumah sakit, dan di beberapa bagian tubuhnya terdapat selang-selang berisi cairan.

"Kau masih belum bisa menghubungi mereka?" tanya si lelaki sebelum membuka mulut untuk mempersilakan sendok masuk.

Si perempuan menggeleng. "Mungkin karena di laut tak bisa menerima telepon atau pesan," ujarnya sambil menjauhkan sendok dari mulut si lelaki.

Setelah mengunyah dan menelan sarapannya, si lelaki bertanya, "Kapan kapal mereka tiba di tempat tujuan?"

"Entahlah, mereka pasti menghubungi mereka jika telah sampai." Si perempuan telah siap dengan sendok penuh di tangannya, hendak mengarahkan sendok tersebut kepada si lelaki.

Namun tiba-tiba, seseorang membuka pintu ruangan dengan kasar. Orang itu berjas putih, dengan wajah yang tampak cemas.

"Ada apa, Ayah?"

Dengan terengah-engah, lelaki yang disebut ayah itu menjawab, "Ay ...."

***

Angin bertiup perlahan, dan matahari bersinar malu-malu. Suasana begitu ramai, begitu sibuk.

"AAAAAAY!"

Seorang lelaki berteriak di atas kapal laut. Terdapat beberapa lelaki lain disana, mengenakan seragam tim penyelamat.

"Ay, kau bilang kau memilihku," lirih lelaki itu. Lelaki lain tak menghiraukannya, mereka sedang melaksanakan tugas bersama alat-alat yang mereka bawa. "Kau bilang kau memilihku, tapi kau melompat untuk mengambil kotak itu, meninggalkanku."

Si lelaki meremas bibir kapal, matanya terpejam, hidungnya menarik napas panjang. "Kau yang salah, Ay. Kau membohongiku. Kau memilih kotak itu, tapi kau tak mau mengaku."

Mata lelaki itu tak kunjung membuka. Kali ini ia menggigit bibir, menahan gejolak yang ia rasakan di dada. Sesak, kecewa. "Kau yang salah, Ay ...."

Kemudian mata lelaki itu terbuka, genggamannya di bibir kapal pun mulai melemah. "Kau yang salah ...."

Lelaki itu menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan, beriringan dengan tubuhnya yang mulai merosot ke bawah. Tangannya bergetar, dan matanya mulai berkaca-kaca. "Kau salah ...."

Ia mulai terisak, pelan, begitu pelan. Entah karena malu, entah karena tak punya kekuatan lagi. "K-kau ..." isaknya dengan mulut bergetar, "kau yang pergi ... meninggalkanku."

"Tuan, apa kau baik-baik saja?" Seorang lelaki lain mulai peduli.

Lelaki itu tak menjawab, wajahnya menunduk, dan setiap detiknya semakin menunduk. "Kau yang bersalah," lirihnya.

"Tuan?"

"Tapi kau bersalah karena aku yang salah ...."

"Tuan?"

"Aku yang membuatmu pergi ...."

***

Air yang begitu dingin menyelimutiku. Rasanya sesak, dan aku merasa akan hancur sesaat lagi. Sudah tak ada harapan, tapi aku tak peduli. Jika pun aku mati, kotak hijau akan tetap hidup. Itu yang paling penting.

"Kau gila," komentar kotak hijau, membuatku terkekeh. "Kau meninggalkannya, padahal kau mencintainya."

Aku menggenggam erat kotak yang ada di tanganku, kotak yang aku raih beberapa menit yang lalu, dan menggenggam kotak lain yang masih menggantung di leherku.

"Apalah guna cinta itu, jika kita harus mati karenanya."

"Apa kau tak memikirkan nasib lelaki itu?"

Aku terdiam, berpikir, sekaligus menikmati sesak yang begitu menyakitkan di seluruh tubuh ini, menikmati tubuh yang semakin tak berdaya. Bahkan genggamanku atas kotak-kotak berharga itu semakin melemah. Oh, betapa mati itu tak menyenangkan ....

"Kau memikirkannya, aku tahu." Kotak hijau menjawab sendiri. "Tapi kau-"

"Jika dia benar-benar mencintaiku, maka dia akan merelakanku. Bukankah begitu? Bukankah saat ini aku juga merelakan dia?"

Kali ini kotak hijau yang terkekeh. "Kau merelakannya demi hidupmu sendiri."

"Demi hidup kita. Kau yang dulu selalu bilang, aku adalah kau, dan kau adalah aku."

"Ya, kau benar, anak pintar ...."

Kami tertawa bersama, hingga sesak itu benar-benar tak sanggup aku rasakan lagi. Rasanya aku akan meledak sekarang juga, menyisakan raga yang hancur tak bersisa. Rasanya aku akan mati sekarang juga.

"Lalu sekarang, bagaimana?"

"Apanya yang bagaimana?"

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Ayolah, apa yang bisa aku lakukan saat ini? Tubuhku saja tak bisa bergerak."

Kotak hijau tertawa, tepatnya, menertawakan. "Aku hanya berbasa-basi. Ini detik-detik terakhirku berbincang denganmu, Ay." Aku ikut tertawa, menutupi luka. "Kalau begitu, seandainya kau bisa melakukan apa saja, apa yang ingin kau lakukan? Biar aku mendengarnya, bersama air-air ini, bersama senja yang mulai gelap ini."

Yang aku inginkan adalah kembali. Yang aku inginkan adalah tetap hidup sebagai Ay. Tetap hidup bersama Gam, bersama Bobby dan Kinar, bahkan kalau boleh, aku ingin bersama Mama dan Papa.

Namun tak semua keinginan berhak menjadi kenyataan.

Dan, keinginan yang tak berhak menjadi kenyataan, tak sepatutnya dibicarakan.

"Apa lagi yang bisa aku inginkan ketika tujuanku telah tergenggam?" Aku tertawa setelah mengucapkan kata terakhir. Kotak hijau ikut tertawa.

Lalu tawa-tawa itu menjadi suara terakhir yang dapat aku dengar.

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang