Di Bawah Senja

216 18 0
                                    

Gam memegang perutnya sambil meringis menahan sakit. Kepalanya berada di pangkuanku, membuatku dapat dengan jelas menatap mata cokelat mudanya yang begitu menampakkan luka. Ia, laki-laki itu, benar-benar kesakitan, karena aku.

Dua orang Papa membawa seseorang yang tampaknya petugas medis. Dua orang Papa lainnya berjaga di ambang pintu. Ya, kami sedang berada di sebuah ruangan, setelah aku menyerahkan diri dengan syarat: Gam diobati sekarang juga. Oh, persetan dengan hidupku, yang penting Gam selamat -dan aku akan menagih janji lelaki itu untuk memberikan kotak hijaunya.

Meski sekarang aku menyerahkan diri kepada orang-orang Papa, lalu Papa memerintahkan mereka membunuhku, aku tak peduli. Yang penting kotak hijau tetap hidup, dan kami bisa hidup kembali di masa depan.

Ya. Ini pilihanku. Lupakan perasaan "menyenangkan" yang aku rasakan terhadap Gam, karena, oh, mungkin sesuatu sepertiku memang tidak ditakdirkan merasakan hal seperti itu. Takdir, maaf, apa aku pantas menyebutkanmu? Apa sesuatu sepertiku pantas melakukan itu?

Gam baru saja terbatuk, ketika langit yang ku lihat dari jendela berwarna jingga kemerahan. Sudah berjam-jam berlalu, dan lelaki itu baru bangun dari tidurnya. Kotak hijau, berapa lama lagi? Aku mendekati Gam, lalu mengelus lelaki yang kelopak matanya sedang bergerak-gerak itu. Perlahan kelompak mata itu terbuka, menampilkan iris berwarna cokelat muda yang begitu indah.

Kotak hijau, berapa lama lagi waktu yang kita punya?

"Ay?" Gam berusaha untuk duduk, sambil memegang perutnya, lalu meringis menahan sakit.

Kotak hijau, berapa lama lagi?

"Hingga senja berganti malam," jawab kotak hijau, berbisik.

Aku melirik jendela, lalu menemukan jingga masih memenuhi langit yang berada di atas lautan.

"Kau benar-benar menyerahkan diri kepada mereka?" Gam bertanya dengan suara pelan.

Aku menoleh kepada lelaki itu, lalu tersenyum kecil. "Aku tak mungkin melarikan diri lagi." Gam menggenggam tanganku. Uh, pagi tadi, lelaki itu juga menggenggam tanganku, sambil mengungkapkan cinta. Namun yang dapat membuatku hidup kembali bukanlah cinta, melainkan kotak hijaunya.

"Maafkan aku." Gam mengeratkan genggamannya. "Aku mencintaimu, aku ingin terus bersamamu, aku ingin melindungimu, tapi aku tak berdaya, aku ... lemah."

"Sudahlah, Gam."

"Maafkan aku."

Sekali lagi, aku tersenyum. "Aku akan memaafkanmu, asalkan ...."

"Asalkan ...?"

"Asalkan kau memberikanku kotak hijaumu. Kau tahu, kau sudah berjanji."

Mata Gam membulat. Api dan kilat seolah muncul disana, penuh kekecewaan, penuh kemarahan.

"Kau menginginkan kotak itu?!" bentak Gam, membuat senyumku hilang. Aku hanya menatap lelaki itu datar. "Kau ... kau bahkan tak peduli pada perpisahan kita?!" Gam mengerutkan dahinya sebelum berkata lirih, "Kau juga tak peduli pada lukaku?"

Gam beringsut dari tempat tidur, lalu berdiri sambil memegang perutnya, dan berjalan tergopoh-gopoh menuju pintu dengan empat penjaga.

"Gam!" panggilku yang kemudian menyusulnya, tetapi aku tertahan di pintu, karena orang-orang Papa segera mencengkram kedua lenganku.

"Kami tidak bisa membiarkanmu pergi, Nona."

"Lepaskan!" Aku berusaha melepaskan tangan mereka dengan kasar, tapi tak kunjung berhasil. "Kalian pikir aku bisa kabur di tengah lautan? Kalian pikir aku akan menenggelamkan diri dan membiarkan tubuhku hancur di perut hiu?"

Perlahan, mereka melepaskan tanganku. Aku mengembuskan napas kasar sebelum melangkahkan kaki, dan, seperti yang aku duga, keempat orang Papa mengikuti langkahku. Namun aku tak peduli, yang penting aku bisa bertemu dengan Gam dan mendapatkan kotak hijaunya.

Setelah melewati beberapa manusia yang sedang bercengkrama dengan sesamanya, akhirnya aku menemukan Gam di luar kapal. Ia sedang menatap langit, padahal laut ada di hadapannya.

"Gam," panggilku sambil menghampiri lelaki itu. Ia tak menoleh. Ia tetap memandang langit. "Gam," panggilku sekali lagi, kali ini sambil menyentuh bahu kanannya.

Aku dapat mendengar embusan kasar Gam. Lelaki itu menunduk, lalu memutar badannya, menghadapku. Ia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Tak ada lagi amarah disana, hanya ada kekecewaan yang begitu kentara. Tanpa berkata apa pun, dan tanpa aku duga, Gam memelukku erat. Begitu erat hingga aku kesulitan bernapas.

"Gam ...."

Lelaki itu tak menjawab. Ia malah terisak, pelan. Oh, perempuan mana yang tak tersentuh ketika berhadapan dengan lelaki yang sedang menangisinya?

"Apa kau tak menganggapku penting?" Aku menggigit bibir. "Apa kau tak membutuhkanku? Apa kau tak masalah meski jauh dariku?"

Tanganku yang semula hanya diam, mulai bergerak perlahan, membalas pelukan Gam. Rasanya tak mampu menjawab pertanyaan lelaki itu.

"Apa aku tak lebih berharga daripada kotak itu?"

Aku tak kunjung menjawab, membuat lelaki itu melepaskan pelukannya. Gam menghapus air matanya cepat, lalu mengambil sesuatu dari saku celana. Kotak hijau.

Dengan mata terbelalak, aku melihat kotak tersebut. Langit masih berwarna jingga, tetapi ia mulai gelap. Aku tak punya banyak waktu lagi.

"Sekali lagi, aku bertanya padamu, apa aku tak lebih berharga daripada kotak hijau ini?"

"Gam, aku mohon, jangan begini." Aku menangkup kedua pipi Gam.

"Lihat kotak ini, Ay, jangan hanya menatap mataku!" Gam menunjukkan kotaknya tepat di depan mataku. "Lalu jawab pertanyaanku, Ay, jawab!"

Langit semakin gelap, membuat napasku tertahan sejenak. Kotak hijau, bagaimana ini?

"Tentu saja kau lebih berharga, Gam," dustaku. "Tentu saja ...."

Gam tersenyum, membuatku melepaskan tangan dari pipinya.

"Tapi aku tetap membutuhkan kotak it-"

"Nona Ay, apa urusanmu sudah selesai?"

Aku mendecak, lalu menengok ke belakang. Keempat orang Papa masih berdiri disana dan, oh, bertambah dengan beberapa orang yang tampak penasaran. Bahkan di antara mereka ada yang merekam aktivitas kami menggunakan ponsel. Ayolah, apa setelah itu mereka akan mengunggahnya ke internet dengan judul "Sepasang Kekasih Bertengkar di Atas Kapal"? Uh, kekasih.

Tanpa berkata apa pun, aku kembali menatap Gam, lalu memohon, "Gam, berikan kotak itu padaku, aku mohon."

"Ay, aku bertanya untuk terakhir kalinya, di bawah senja ini. Siapa yang kau pilih: aku, atau kotak yang ada di hadapanmu?"

Aku menelan ludah. Kotak hijau, bagaimana ini?

"Ay, waktu kita tinggal beberapa menit lagi," bisik kotak hijau datar.

"Apa kau tak bisa menja-"

"Kau." Aku menatap tajam mata Gam. "Aku memilihmu, tetapi-"

Tiba-tiba Gam melemparkan sesuatu dari tangannya ke belakang, ke lautan. Ia melemparkan kotak hijau. Ia ... ia melemparkan kotak hijau, membuang kotak hijau, membuang hidupku.

"TIDAK!" Aku berteriak.

"Kau bilang kau memilihku, kan, Ay?"

"Kau ...." Aku menunjuk wajah Gam, lalu menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Orang-orang di belakangku saling bercicit, menggosip. Namun aku tak peduli.

Perlahan, aku mendekati bibir kapal, menatap lautan yang berwarna jingga, lautan yang memantulkan langit di atasnya. Lautan itu seolah meniru atapnya. Lautan itu, lautan itu baru saja menelan kotak hijau. Lautan itu menelan hidupku.

"Sudahlah, Ay, ini sudah berakhir."

Tidak, kotak hijau, tidak, kita belum berakhir.

Aku melompat dari kapal, meninggalkan Gam, orang-orang Papa, dan orang-orang yang penasaran. Saat itu, di bawah senja, hal yang terakhir aku dengar hanyalah teriakan nyaring dari mulut lelaki yang, katanya, mencintaiku.

"AY!"

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang