Salah Paham

220 18 0
                                    

Karangan bunga berjajar di meja dan halaman rumah. Sekumpulan orang berbaju hitam memenuhi ruang tamu, tapi suasana begitu hening, walau tak semua terlihat berduka. Sebagian besar dari mereka hanya berusaha menyamakan diri -berusaha menghargai.

Keluarga besar, rekan-rekan bisnis, dan tetangga, semuanya berbisik duka. Namun mereka seolah mengerti, bahwa kesunyian ini bukan tentang duka. Rasa kecewa lebih tergambar pada diri Mama dan Papa: keduanya tak mampu bersandiwara, meski tak juga memaparkan hal yang nyata.

"Kematian Deyna sepertinya tidak berlangsung baik." Di tengah-tengah keheningan, aku mendengar seseorang berbisik pada orang di sampingnya. Perempuan bersanggul, dengan gincu merah tua.

"Bukankah tak ada kematian yang berlangsung baik?" Perempuan dengan rambut bergelombang menyanggah.

"Maksudku, seperti ada sesuatu yang tidak beres. Kau lihat, kan, mereka tampak datar, tidak menangis sama sekali. Menurutmu, apa mungkin mereka membun-"

"Mama?"

Kedua perempuan dewasa itu membalikkan badan, dan tampak terkejut melihat gadis buta bermata hijau di belakang mereka.

"Kalian tahu Mamaku ada dimana?" tanyaku, berpura-pura buta.

Sebelum para rekan bisnis Papa itu menjawab, keheningan terpecahkan oleh sekelompok orang berseragam SMA. Teman-teman kami, teman-temanku dan Deyna, datang membawa satu karangan bunga cukup besar.

"Ay!" pekik Gam saat melihatku. Kakinya berjalan menghampiriku, berbeda dengan teman-teman lain yang terlebih dulu menemui Mama dan Papa. "Apa yang terjadi?"

Aku mengernyitkan dahi, heran. Lelaki itu menanyakan apa yang terjadi kepada orang yang -seharusnya- sedang berduka?

"Oh, maksudku, mengapa bisa? Menurutku ini terlalu tiba-tiba. Bukankah kemarin ia baik-baik saja?"

"Tiba-tiba?" Aku menghela napas, kemudian melanjutkan, "Memangnya ada kematian yang terencana?"

Gam terkekeh. Ya ampun, dia terkekeh di acara seperti ini. "Apa kau berduka?"

Aku menaikkan sebelah alis, lalu balik bertanya, "Pertanyaan macam apa itu?!"

Sekali lagi, Gam terkekeh. "Hubungan kalian kan tidak baik. Mungkin saja kau bahagia melihat perempuan itu sirna."

Aku tak menjawab, dan melihat ke arah Mama dan Papa yang sedang dikerubungi teman-teman kelas. Kerabat lain yang sebelumnya memenuhi ruangan, beberapa sudah mulai pulang.

"Kalian dipulangkan?"

"Ya, setelah kesini, kami diperbolehkan pulang," jawab Gam, "kami harus berterima kasih kepada sepupumu." Lelaki itu terkekeh lagi, lalu berkata, "Kau tahu, Kinar tidak sekolah hari ini. Dia benar-benar menjaga Bobby, bahkan sepertinya tadi malam ia tak akan pulang jika tak dipaksa olehku dan ayahnya Bobby."

"Lalu bagaimana keadaan Bobby sekarang?"

"Kata ayahnya, Bobby terkena suatu penyakit, dan ia bersama dokter-dokter lain sedang berusaha memberi pengobatan," jawab Gam sambil melipat tangan di depan perut, lalu melanjutkan dengan nada bingung, "tapi anehnya ia tampak senang."

Aku tak mampu menahan senyum mendengar berita dari Gam. Dengan mata berbinar, aku menambahkan, "Syukurlah kalau begitu."

Gam membulatkan mata. "Kau senang?!" Kali ini, aku yang terkekeh. "Apa kau mau menjenguknya hari ini? Aku bisa menemanimu."

"Pantaskah aku keluar rumah saat ini?"

"Ah, iya, ya." Gam mengangguk mengerti.

Detik berikutnya, teman-teman kelas menghampiriku, membuat Gam mengakhiri perbincangan kami.

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang