Gam

315 27 2
                                    

Selasa. Sekolah, hari kedua.

"Hai," sapaku pada lelaki yang duduk di samping, yang kemarin sedang tertidur. Kali ini ia tidak sedang tertidur, atau mungkin belum saatnya ia tidur.

Gam, itulah namanya, jika buku yang ia pakai untuk menulis pada hari kemarin benar-benar miliknya. Menurut kesan pertama, dia orangnya pendiam, cuek, dan suka tidur. Terbukti dari cara dia menjawab sapaanku –tanpa kata dan hanya dengan lirikkan, cara dia memperlakukanku –seolah aku anak lama dan tidak mengajakku berkenalan, dan cara dia menghadapi pelajaran –dengan sesekali terjebak gangguan angin pembawa tidur.

Aku membuka tas, lalu mengambil buku biologi. Aku tidak mengerti, mengapa aku dapat menghadapi semua pelajaran seolah aku juga sama tingkatan dengan manusia-manusia yang ada di kelasku. Tadi malam aku bertanya tentang itu pada si kotak hijau, tetapi lagi-lagi ia menyuruhku tertidur, hanya saja kala itu aku tidak menurutinya. Aku tetap menceritakan hal-hal yang terjadi di sekolah, padahal aku yakin si kotak hijau dapat mengetahuinya tanpa aku ceritakan.

Beberapa menit berlalu, entah dari kapan seseorang di sampingku berganti raga. Ia bukan lagi Gam, tapi aku yakin dia salah satu murid kelas ini. Mungkin ia hanya ikut duduk.

Bel pun berbunyi. Teman-teman baruku -yang sebenarnya masih membuatku ragu untuk menyebut mereka teman- yang masih berdiri dan berkumpul, langsung berpencar ke tempat duduk masing-masing. Tetapi orang di sampingku belum juga pergi.

"Gam," ujarnya tanpa mengalihkan mata dari ponsel. Apa dia berbicara padaku? Atau memanggil Gam? "Gam." Ia memperjelas ucapannya. Kali ini ia menatap mataku. Mata kami bertemu. Matanya berwarna cokelat muda, berbeda dari teman-teman yang lain, yang kalau tidak salah, semuanya berwarna cokelat tua.

"Bukankah ini kursi Gam?"

"Dia?" tanya orang di sampingku sambil kepalanya diarahkan ke pojok kanan belakang. Ada Gam disana, sendirian. "Apa dia mengaku-ngaku sebagai Gam?"

Tunggu sebentar. Sepertinya ada kesalahan.

"Bukankah dia memang Gam? Kemarin dia menulis di buku dengan nama Gam."

Lelaki bermata cokelat muda itu tertawa sinis. Lalu ia menunjuk dirinya sendiri, dan berkata, "Aku Gam. Dia Bobby. Kemarin dia menulis untukku."

Aku hanya meng-oh, lalu kembali membaca buku yang masih ada di tanganku. Tapi aku rasa bahwa dia, lelaki bermata cokelat muda yang berada di sampingku, belum mengalihkan pandangannya.

"Bukankah itu kursi Bobby?"

Mataku masih tertuju pada buku, padahal aku tidak dapat konsentrasi membaca. Tapi aku pikir, melihat buku lebih baik daripada melihat lelaki itu.

"Iya."

"Lalu kenapa kau duduk disana?"

"Kursimu sebenarnya kursiku."

"Kau becanda? Kemarin kursi ini kosong."

"Kemarin aku tidak sekolah."

Kali ini aku melihatnya. "Oh, ya? Seharusnya kau menyuruhku pergi, bukan Bobby," ujarku sambil berdiri.

Gam mengambil buku di tanganku, lalu menaruhnya di atas meja. "Tidak perlu." Tatapan matanya beralih ke arah pintu. "Sebaiknya kau duduk."

Aku mengikutinya mengarahkan mata ke pintu, dan melihat seorang guru berkumis cukup tebal yang memakai kemeja hitam-abu mulai melangkahkan kakinya memasuki kelas. Gam menekan bahuku ke bawah, tanpa berkata apa-apa. Aku pun hanya duduk, tanpa melihat ke arahnya atau mengatakan sesuatu.

Waktunya belajar.

***

"Maaf, Gam, aku benar-benar tidak sengaja." Seorang perempuan berambut cokelat lurus, dengan pita yang menghiasi kepalanya, juga dengan kacamata yang menemani matanya, tidak berani mengangkat kepala.

"TAPI KAU TELAH MEMBASAHI BUKUKU!"

Hari pertama mengenal Gam, dan kesan pertama yang aku dapat adalah: dia pemarah.

Perempuan itu jelas tidak sengaja menumpahkan minuman ke buku Gam. Begini, bel istirahat sudah berbunyi dari lima menit yang lalu. Aku sedang membaca catatan kimia yang baru selesai ku tulis, sedangkan Gam masih menyalin catatan dari papan tulis. Tiba-tiba perempuan tadi memanggilku –ntah untuk apa karena kami tidak saling mengenal, lalu aku melihat ke belakang, karena aku mendengar suaranya berada di belakang. Dia duduk di pojok kanan belakang, di samping Bobby. Belum sempat aku menjawab panggilannya, perempuan itu sudah berdiri dan menghampiri mejaku dan Gam. Lalu seseorang menyenggol tubuhnya dari belakang, mungkin orang itu juga tidak sengaja.

Tapi intinya, aku rasa Gam tidak perlu semarah itu hanya untuk tumpahan air yang membuat bukunya sedikit basah.

"Aku minta maaf."

"KAU HARUS MENGERINGKAN BUKUKU!"

Aku hanya memperhatikan mereka. Begitu pun teman-teman (ehem) yang lain. Tapi tak lama, terdengar suara orang yang menahan tawa, lalu ia benar-benar tertawa. Beberapa orang yang lain ikut tertawa. Apa yang lucu? Aku melirik orang-orang yang tertawa itu tanpa ekspresi apa pun.

"Ayo, Nar, tiup buku itu sampai kering!"

Dari suaranya, aku tau bahwa yang berbicara itu adalah orang yang pertama kali tertawa. Dan, oh, perempuan berkacamata itu ternyata bernama Nar.

"KAU MELEDEKKU?!"

Lalu suara tawa terdengar lebih kencang dari sebelumnya.

Aku memegang lengan Gam. Entah bisikan dari mana atau siapa yang membuatku melakukan hal itu. Kemudian Gam menatapku. Aku dapat melihat dengan jelas bahwa dia masih marah. Tetapi seisi kelas hening, tidak ada yang bersuara sama sekali. Mungkin mereka menungguku menjadi korban berikutnya.

"Apa kalian tidak mendengar bunyi bel?" tanya seseorang tiba-tiba. Guru perempuan yang cantik sekaligus tinggi, berbaju olahraga, dan rambutnya hitam bergelombang yang diikat tanpa menyisakan poni, sudah berada di pintu kelas. "Cepat ganti baju!"

***

Aku duduk sendirian di kursi penonton lapangan sepak bola. Sebenarnya tidak sendirian, karena semua perempuan di kelasku juga ada disana. Tetapi tidak ada satu pun yang mengajakku berbicara, dan aku duduk di tempat yang agak berjarak dengan mereka.

Tiba-tiba Deyna duduk di sampingku. Aku sempat melirik padanya, tapi kemudian aku kembali melihat ke lapangan. Gam sedang bermain bersama teman-teman yang lain. Tidak ada yang mempermasalahkan pertengkaran tadi. Ntah karena tidak ingin menyinggung Gam, atau karena itu sudah biasa terjadi.

"Kamu terlalu berani." Deyna memulai percakapan.

Sekali lagi, aku meliriknya, kemudian kembali melihat lapangan.

"Kamu telah mengundang masalah sebanyak dua kali." Deyna tertawa kecil. "Pertama, kamu telah merebut kursinya. Kedua, kamu menyela ketika dia sedang marah."

Tentu saja aku tahu siapa yang Deyna maksud "-nya" ataupun "dia".

"Dia tidak masalah dengan kursi itu. Lagipula, kemarin kalian yang bilang bahwa kursi itu kosong." Aku menatap Deyna. "Dan aku pikir, tak ada salahnya menyela pertengkaran tadi."

Deyna kembali tertawa. "Terserah, yang penting aku telah mengingatkanmu. Oh, ya, kemarahan dia yang tadi itu tidak seberapa."

Deyna pergi. Ia kembali ke tempat perempuan lain berada.

Aku kembali melihat ke lapangan. Tepat pada saat itu, seseorang memasukkan bola ke gawang. Ah, ternyata Gam. Dia bersorak dengan teman-teman satu timnya. Kemudian, ntah sengaja atau tidak, dia melihatku. Dia menatapku tanpa senyum sedikit pun, dan aku tanpa sadar melakukan hal serupa. Beberapa detik kami tertahan, tapi untunglah aku segera mengalihkan pandangan. Saat aku kembali, ternyata Gam telah berlari dan kembali bermain.

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang