Belum Saatnya

200 18 2
                                    

Ketika aku membuka pintu jok belakang mobil Gam, keempat orang yang tadi mengejarku tiba sekitar tujuh meter dari tempatku berdiri. Dengan buru-buru, aku masuk ke mobil, sedangkan Gam hanya menatap bingung.

"Ada apa?!"

Aku mencengkram jok kemudi, lalu berkata, "Jalan!"

Seolah mengerti keadaan, Gam mengebutkan laju mobilnya, bahkan ia tak peduli pada orang-orang Papa yang langsung menyisi.

"Kenapa, Ay? Kami baru saja akan ke rumahmu, aku baru tahu bahwa Deyna meninggal," ujar perempuan di pinggir Gam, yang ternyata adalah Kinar. Ia membalikkan badan, melihatku.

"Ah, ya, sekarang kita ke rumahmu, kan?" tanya Gam sambil sesekali melirikku.

"TIDAK!" Aku terengah, kemudian menyandarkan punggung ke jok sambil menglap wajah dengan telapak tangan, gusar. "Aku ketahuan, Kinar. Apa yang harus aku lakukan sekarang?!"

Mata Kinar membulat, sedangkan Gam yang sudah melajukan mobil dengan kecepatan normal kebingungan dan bertanya, "Ketahuan apa, Ay? Apa kau membunuh Deyna?"

"Apa sebaiknya aku mati saja?" lirihku, tak mempedulikan pertanyaan Gam.

"Tentu saja tidak!" jawab Kinar cepat. "Bagaimana bisa orangtuamu mengetahuinya, Ay?"

"Karena suatu hal, mereka tahu bahwa aku tidak buta, mereka juga tahu bahwa aku tak bisa terluka, hanya saja mereka tak tahu siapa atau apa aku ini."

"Aku juga tak tahu," sanggah Gam yang lagi-lagi diacuhkan.

"Tapi mereka menganggapku berbahaya, mereka menganggapku mempunyai rencana jahat."

Kinar terdiam, berpikir, sambil membalikkan badannya kembali ke arah depan. Gam ikut terdiam, hanya sesekali melirikku dan Kinar bergantian, dengan tatapan curiga.

Suasana begitu hening, hingga aku tersadar akan sesuatu yang penting. "Lalu sekarang kita akan kemana? Dimana aku harus bersembunyi?"

***

Kinar tertegun melihat foto kekasih kakak Gam. Ia melirikku yang sedang meminum jus jeruk di sofa, lalu kembali melihat foto tadi. Gam selonjoran di sofa panjang dengan mata terpejam, tapi aku yakin bahwa ia tak sedang tidur.

Jadi, si baik hati Gam, mengizinkanku menginap dan bersembunyi di rumahnya. Namun untuk ke depannya, aku belum tahu akan seperti apa. Lagipula tak lama lagi hari kematianku akan datang.

Ah, tidak. Aku tak boleh menyerah. Aku harus mendapatkan kotak hijau Gam, lalu melanjutkan hidup bagaimana pun caranya.

Masalahnya, apakah Gam mau memberikan kotak hijau kesayangannya kepadaku? Terlebih aku baru saja diizinkan berteduh di rumahnya, jadi aku tak boleh membuat lelaki itu marah -jika tak ingin diusir.

"Kembar, ya," komentar Kinar sambil menghampiriku. Tanpa Kinar menjelaskan, aku mengerti bahwa yang ia bilang kembar adalah aku dan kekasih Kakak Gam.

Kinar mengambil kotak besar jus jeruk, lalu menuangkannya ke gelas. Gam yang telah menyuguhkan itu, padahal ia jarang melakukannya ketika aku datang untuk kerja kelompok.

"Gam, ayo, aku tak boleh meninggalkan Bobby terlalu lama." Kinar menaruh gelas yang telah kosong, setelah menenggak habis isinya.

"Hmm." Gam masih saja memejamkan matanya.

"Apa aku harus naik taksi? Apa kau tega kepadaku?"

Aku terkekeh, lalu menepuk-nepuk Gam, ikut membangunkan orang yang mungkin sebenarnya tidak tidur itu.

"Baiklah, baiklah." Gam membuka matanya, lalu berdiri dan mengambil kunci mobil. "Kau mau ikut?"

Aku menggeleng, lalu Kinar menjawab, "Ay mungkin lelah karena telah berlari sepanjang jalan."

Gam melirik ke bagian dalam rumahnya, lalu menatapku dan bertanya, "Aku bisa mempercayaimu, kan?"

Mataku membulat, dan menjawab tak terima, "Maksudmu apa?!"

Gam terkekeh, lalu keluar rumah, diikuti Kinar yang sebelumnya melambaikan tangan ke arahku.

Kemudian, hanya ada sepi, bersama pikiran-pikiranku tentang kotak hijau.

"Sekarang, apa rencanamu?" Aku terdiam. "Kita akan berakhir, Ay. Kita akan berakhir."

"Tidak!" Aku memegang kotak hijau, lalu melanjutkan, "Aku akan membujuk Gam untuk memberikan kotak hijaunya."

"Itu takkan mudah, Ay."

"Kalau begitu," aku berdiri, "aku akan mencarinya sendiri."

Kotak hijau tak berkomentar lagi, sedangkan aku mulai melangkahkan kaki menuju bagian dalam rumah Gam. Beruntung, rumah Gam tak terlalu besar, mungkin karena ia hanya tinggal sendiri, sehingga aku dapat dengan mudah menemukan ruangan yang kemungkinan kamarnya.

"Kau ketakutan," ujar kotak hijau, tapi aku tak memedulikannya.

Tanganku menelusuri setiap sudut meja yang hanya ada satu di kamar tersebut. Banyak laci disana, dengan barang-barang yang cukup berantakan. Namun aku tak menemukan apa yang aku cari.

Pandanganku beralih ke kasur busa Gam yang tak beranjang. Sebagian orang meletakkan barang berharganya di balik bantal atau di bawah kasur, kan? Aku pun memeriksa keduanya.

Sayang, aku tak menemukan apa pun di kedua bantal Gam, pun di guling atau di balik selimut. Aku beralih ke bawah kasur. Dengan susah payah, aku mengangkatnya. Tangan kiriku menahan kasur tersebut, lalu tangan kanan meraba alas kasur tersebut. Namun, aku tak menemukan apa pun selain sebuah koin berwarna silver.

Harapanku yang tersisa hanya lemari. Langkah beratku menghampirinya, dengan debaran di dada yang semakin kencang, mengalahkan detak detik jam dinding yang terpasang di dinding atas kaki kasur. Tepat ketika aku membuka lemari tadi, seseorang membuka pintu kamar lebar-lebar.

"Aku tak dapat mempercayaimu."

Kakiku bergetar, lemas. Dengan penuh rasa bersalah, aku menatap Gam yang perlahan menghampiriku. Kinar terdiam di ambang pintu, menatapku terkejut.

Tanpa berkata apa pun, Gam mengambil sesuatu dari tumpukan bajunya. Kotak hijau.

"Kau butuh ini?" Gam mengangkat sebelah alis sambil memperlihatkan kotak tersebut di depan mataku, lalu melanjutkan, "Belum saatnya, Ay."

Gam memasukkan kotak hijaunya ke saku celana, kemudian pergi meninggalkanku yang perlahan menutup lemari dengan tangan yang begitu dingin.

Sebelum berjalan mengikuti Gam, Kinar menatapku sambil menggigit bibir. Ia tampak mengerti alasan aku melakukan hal tadi, sekaligus tampak kecewa dan tak percaya.

Tepat ketika punggung Gam dan Kinar menghilang, kakiku kehilangan keseimbangan.

"Iya, kotak hijau, kau benar. Ini tidak mudah. Bagaimana pun caranya, ini tidak mudah. Sama sekali tidak."

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang