Jaga Jarak

244 25 0
                                    

Balon itu semakin mendekat, lalu melayang tepat di depan mataku. Aku meraihnya. Sial, aku lupa bahwa orang-orang mengira aku buta.

Aku segera membawa balon tadi dan menutup jendela. Sudah terlanjur, biar saja orang misterius tadi mengetahui rahasiaku. Biar saja, biar Gam tidak menjadi satu-satunya.

Aku memperhatikan balon merah muda yang kini sedang aku pegang. Aku menggoyangkannya, dan tampak ada gulungan kertas dalam balon tersebut.

Oh, apa lagi ini?

Aku membuka tali yang mengikat balon. Ayolah, aku tidak mungkin memecahkan balon tersebut dan membuat orang rumah mendengar letusannya, kan?

Setelah tali terbuka, aku mengambil kertas yang ada di dalamnya. Ini surat!

Kau misterius, menarik, dan aku suka.

Aku tersenyum kecut. Gam, untuk apa kau melakukan ini?

***

"Harusnya aku juga berpura-pura sepertimu, jadi tak perlu menulis catatan atau tugas. Ulangan pun lisan, dan belajar dengan cara dibacakan," bisik Gam tepat di telingaku. Tangannya yang berada di atas buku masih memegang pulpen.

Aku tak merespon. Bukan, aku bukan takut. Hanya saja aku merasa dipermainkan. Gam bersikap seolah dia yang paling tahu tentangku, dan dia mengaturku semaunya.

Oh, ntah bagian mana Gam mengaturku, tapi batinku selalu merasa demikian.

Gam melanjutkan pekerjaannya. Sesekali ia melirikku, lalu tersenyum senang. Ntah apa yang ada di pikirannya, dan aku benar-benar tak peduli.

"Selesai mencatat, kalian kerjakan latihan pada halaman enam puluh tujuh. Ibu harus pergi karena ada pekerjaan lain."

Teman-temanku bersorak. Persetan dengan tugas, yang penting guru tak di depan kelas. Begitu kira-kira prinsip mereka.

Selepas guru keluar, Gam menutup bukunya. Aku tidak yakin dia telah selesai mencatat. Oh, aku tidak seharusnya peduli, kan?

"Istirahat nanti kau akan .... "

Aku pergi meninggalkan Gam yang jelas-jelas sedang berbicara padaku. Dia yang mencari masalah, jadi dia yang salah, meski sebenarnya yang aku lakukan bukanlah benar. Ha-ha.

Dengan berpura-pura buta, aku menghampiri meja Kinar. Tampak Kinar sedang mengajak Bobby becanda, yang tumben-tumbennya tidak sedang tidur.

"Tuh, Ay," tunjuk Bobby yang membuat Kinar menoleh padaku. Seolah memanfaatkan kesempatan, Bobby pergi menjauhi kami (baca: menjauhi Kinar, haha).

"Toilet?" tawar Kinar.

Aku mengangguk mengiyakan sambil tertawa kecil.

Sepanjang jalan, Kinar memperlakukanku layaknya orang buta. Oh, memang selalu begitu, dan sepertinya lain kali aku tidak perlu menyebutkannya.

Sebagian orang di koridor masih melirikku aneh. Mungkin gosip tentangku belum padam. Ah, seandainya aku benar penyihir, aku akan menyihir mereka yang "terlalu" peduli padaku menjadi batu berduri, agar orang lain yang menyentuhnya tertusuk dan tertular menjadi batu.

"Aman," ujar Kinar beberapa saat setelah memastikan toilet kosong.

Aku mencuci tangan, sebenarnya hanya membasahi tangan dengan air, sekadar untuk berbasa-basi pada toilet yang sering menjadi tempat aku mengobrolkan kotak hijau dan "hal-hal non manusia" lainnya bersama Kinar.

"Kau tau, Gam, dia sangat mencurigakan." Aku membuka pembicaraan.

"Maksudmu?"

"Dia bersikap seolah mengetahui semuanya."

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang