Sisa: Tiga Hari

240 19 2
                                    

"Dokter aku mohon," aku menghela napas, "jika Papa menanyakanku, jangan bilang aku kesini."

Dokter Andra mengerutkan dahi, sedangkan yang lainnya menatapku khawatir. Suster yang sebelumnya menatap kami bingung, mengatakan permisi dan beranjak pergi.

"Iya, Ayah, jangan beri tahu dia bahwa Ay ada disini," pinta Bobby, membuat dr. Andra semakin bingung. "Nanti akan aku ceritakan, Ayah," tambahnya kemudian.

Dokter Andra pun keluar dari kamar inap tanpa berkata apa pun. Kinar menghampiriku yang mengembuskan napas kasar.

"Bagaimana ini? Untuk apa Papa kesini?" Aku mengusap wajah, sedangkan Kinar mengusap bahuku, menenangkan.

"Untuk apa lagi kalau bukan mencarimu?" Gam mendekat, lalu memegang lenganku kuat. "Kita harus pergi."

"Aku yakin Ayah akan menyembunyikan perihal kedatanganmu, tapi untuk berjaga-jaga, kalian sebaiknya pergi," ujar Bobby pelan dan bergetar. Tak lama setelah itu, Bobby batuk dan mulutnya berdarah, membuat Kinar berlari untuk memberi pertolongan.

"Bobby."

Aku dan Gam baru akan menghampiri lelaki itu, tetapi ia mengangkat tangannya seolah berkata, "Pergilah."

"Baiklah, kau harus bertahan, Bobby. Kinar, jaga dia," pintaku sebelum berlari karena ditarik Gam. Bobby, bertahanlah, dan Kinar, kuatlah. Aku harap kalian selalu baik-baik saja, dan aku harap ini bukan pertemuan terakhir kita.

Gam menggenggam tanganku begitu erat dan ia menarikku begitu cepat. Kami berlari tanpa sekali pun melirik ke belakang, seolah api siap melahap wajah kami jika melakukan hal itu. Kami berlari hingga pengunjung dan pasien lain merasa terasa terganggu, bahkan beberapa menggerutu. Kami berlari hingga satpam rumah sakit menghadang, lalu dua orang berjas hitam menatap kami curiga dari pojok ruangan.

Tunggu. Itu, itu mereka!

Aku menarik Gam yang sepertinya tak menyadari kedua orang tersebut. Namun tanpa aku duga, pelarian diri kami malah mengundang bahaya. Ketika melakukan kesalahan -menengok ke belakang-, aku menemukan orang-orang Papa itu sedang mengejar kami.

"Gam, mereka mengejar kita!" teriakku yang kemudian masuk ke mobil Gam.

"Mereka siapa?!" Gam tampak mengatur napasnya, lalu menjalankan mobil secepat mungkin. Namun tampaknya sedang banyak orang yang tidak sehat hari ini, sehingga lelaki itu harus membunyikan klakson untuk setiap kendaraan yang menghalangi jalannya. "Siapa?!" ulang Gam, karena aku tak kunjung menjawab.

"Siapa lagi kalau bukan orang-orang Papa!" jawabku sedikit emosi. Aku mengusap wajah, lalu menarik napas panjang, menenangkan diri. "Maaf," ujarku akhirnya.

Gam mengelus rambutku, lalu berkata, "Tenanglah."

"Apa aku harus tenang ketika mereka ada di belakang?" tanyaku sambil melihat spion. Gam yang terkejut langsung melakukan hal serupa, lalu menambah kecepatannya.

Kotak hijau, jika aku tertangkap, maksudku jika kita tertangkap, bukankah itu tak masalah? Mau tak mau waktu akan tetap membunuh kita. Waktunya sebentar lagi, apa kau ingat?

Hari ini, sisa: tiga hari.

***

Kami, aku dan Gam, telah duduk di sofa selama berjam-jam. Tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun sejak tadi, mungkin karena terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Oh, aku tak tahu apa yang Gam pikirkan, sedangkan aku sendiri berpikir tentang cara meninggalkan rumah Gam.

Ya. Sejak Gam berhasil membuat mobilnya benar-benar jauh dari kejaran dua orang berjas hitam tadi, aku merasa iba dengan lelaki itu. Ia tak tahu apa-apa tentangku, tapi masih saja sukarela membantu. Namun aku harus tahu diri. Ini tidak baik baginya. Aku hanya akan menjadi beban untuk lelaki itu.

AyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang