CHAPTER 3

4.6K 250 2
                                    

Pertentangan dari orangtua belum menemukan titik terang. Baginya terlalu tidak masuk akal pemikiran putranya. Keinginan pensiun dini dan lebih memilih mencari pekerjaan lain itu sangat gegabah.

"Salah jika kamu berpikir hidup bahagia tanpa kekayaan, Sam. Seharusnya kamu bisa berpikir ulang. Saat ini ada Faith dan Elea yang butuh banyak biaya, tentu kamu tidak ingin hidup mereka terlunta-lunta seperti bersama ayah kandungnya."

Nasehat Baraq yang mengejutkan, membuat Samson mengulum senyum kemenangan. Itu artinya sang papa telah mengakui keberadaan anak sambungnya.

"Apa papa pikir aku asal-asalan saat memutuskan turun kepemimpinan? Tentu tidak, Pa. Perlu papa tau, meskipun Miranda mengambil alih perusahaan, aku tidak akan membiarkan adikku menanggung sendirian. Tetap saja aku ada di balik layar," kata Samson panjang lebar.

"Yang sekarang ini aku mau, cukup memiliki banyak waktu untuk anak istriku," sambung pria itu.

Penjelasan suami Alishaba melegakan hati kedua orangtuanya. Baraq dan Jelena kira, Samson main tinggal saja apa yang menjadi kewajiban.

"Lagipula sebelum memutuskan menikah, terlebih dahulu aku berdiskusi dengan Miranda. Dan ya, dia setuju tentang gagasanku."

Bertambah hilang segala kemarahan Baraq dan Jelena. Kini senyum menghiasi sudut bibirnya. Mau tidak mau, Alishaba yang melihat itu ikut bahagia. Walaubagaimanapun, ia kurang nyaman jika sampai Samson bermusuhan dengan keluarganya.

"Harusnya kamu mengucapkan dengan gamblang sebelum kami salah paham, Sam." Baraq menghela napas. Pria paruh baya yang masih tampak gagah tersenyum simpul seraya menatap bergantian Samson dan Alishaba. "Kalian berhak bahagia. Kali ini, papa dan mama tidak akan ikut campur."

"Benar, pesan mama, kalian fokus saja besarkan Faith dan Elea. Kasihan mereka, mama tidak tega melihatnya."

Jelena tanpa ragu menyentuh jemari sang menantu. "Maafkan mama tadi emosi sama kamu, Shaba."

Segala kemelut yang bercokol di hati telah sirna. Jelena sadar, pasti tidak mudah menjadi Alishaba. Sudah sedari kecil tak punya orangtua, punya suami juga tidak berguna. Mungkin jawaban dari kesabaran ibu dua anak itu adalah menikahi Samson-putranya.

"Terima kasih, Bibi."

"Panggil mama, sekarang kamu menantu kami, Shaba." titah Jelena.

Alishaba mengangguk dengan pipi bersemu. Apalagi di depan sana, Samson menatap lembut dirinya. Bolehkah merasa bersyukur jika Samson masih mencintai padahal pria itu sudah ia sakiti.

Percakapan haru tak berlangsung lama dikarenakan Faith dan Elea berhamburan ke pelukan Alishaba. Anak itu tidak ingin berlama-lama pisah dari ibunya.

"Faith, Elea, ayo salam sama nenek dan kakek." Dituntun sang ibu, kedua anak itu mendekati Baraq beserta Jelena.

"Ah, ya ampun gemasnya." Tak bisa membohongi diri, Jelena jatuh cinta melihat rupa Faith dan Elea. Tubuh kurusnya tak mengurangi keimutan mereka.

"Tugas kalian mulai sekarang, bahagiakan Faith dan Elea. Beri mereka kehidupan yang layak. Terutama kamu Samson, sebagai ayah kamu harus ikut andil." Baraq tak ragu mengusap sayang puncak kepala mungil kedua anak itu.

"Ya, Pa. Aku mengerti." Samson sadar tugasnya tak mudah. Dia juga menyesal pernah berdecih jijik pada anak yang tidak tau apa-apa. Anak yang polos tanpa mengerti pahitnya hidup di dunia.

***

Keputusan Jelena meminta mereka menginap tentu disetujui Samson. Mengingat malam nanti adalah malam pertama pernikahan dengan Alishaba, Samson tak ragu tersenyum jumawa.

"Faith dan Elea masih takut berjauhan denganku di tempat asing, Sam. Jadi malam ini mereka tidur bersama kita. Kamu tidak keberatan kan?" Alishaba bertanya dengan perasaan sungkan.

Senyum Samson kini berganti suram. Tidak ada pilihan lain, terpaksa mengangguk mengiyakan.

"Untuk malam ini kamu bisa lolos. Tapi tidak untuk malam berikutnya, paham!" bisik pria itu tanpa bantahan.

Alishaba berdehem gugup. "Baiklah."

"Bagus. Istri pengertian."

Setelah mengatakan itu, Samson bergegas membuka kancing kemeja. Kini dia bertelanjang dada.

"Aku akan mandi terlebih dahulu. Kamu bawa saja Faith dan Elea ke sini."

Secepatnya Alishaba keluar kamar mencari putrinya. Wanita itu tersenyum kecil menemukan kedua anaknya tengah asyik bermain di halaman belakang bersama kelinci peliharaan Miranda. Tak jauh dari mereka ada Jelena yang mengawasi Faith dan Elea.

Sadar akan keberadaan Alishaba, Faith dan Elea berteriak gembira. "Ibu!"

Jelena lantas menoleh. "Mereka suka dengan kelinci. Besok minta saja Samson untuk adopsi, anak-anak seusia mereka lebih bagus bermain dengan hewan lucu ketimbang gadget."

Alishaba setuju akan hal itu, lagipula sejauh ini ia tidak pernah memberi ataupun memperlihatkan ponsel pada Faith dan Elea.

"Iya, Ma. Shaba mengerti."

"Ibu, ayo kita bawa kelinci ini ke rumah. Faith mau malam nanti tidur sama kelinci."

"Elea juga mau ibu. Kelinci lucu, bulunya halus, Elea suka."

Kedua anak itu bersahutan bergembira akan hewan baru kesukaannya.

"Faith... Elea... dengarkan ibu. Kelinci tidak tinggal di dalam rumah, mereka sudah ada kandang. Jadi, ayo kita bawa mereka masuk ke kandang."

Dengan patuh kedua anak itu berlarian menuju kotak lumayan besar tempat tinggal para kelinci. Faith dan Elea memekik senang ketika hewan kecil itu melompat-lompat di dalam kandang.

"Nah, sekarang saatnya kita mandi. Ayo gandeng ibu."

Jelena mengusap sudut matanya yang basah, dia tersentuh akan interaksi cucu dan menantunya. Alishaba memang hebat. Wanita itu pantas mendapatkan Samson.

Tidak terasa waktu terus berlalu, kini sepasang suami istri terbaring canggung di ranjang. Lampu kamar temaram menyisakan rasa menegangkan. Di samping mereka sudah ada Faith dan Elea tertidur pulas usai menghabiskan susu panasnya.

Malam kian larut ternyata tak juga memunculkan rasa kantuk. Pikiran Alishaba berkelana, dia bertanya-tanya bagaimana nasib mantan suaminya-ayah dari Faith dan Elea. Sejujurnya ada perasaan takut jika sampai Samson berbuat hal buruk.

"Memikirkan apa?" Bersamaan itu, telapak tangan besar Samson menyentuh lembut pundak Shaba.

Alishaba terkesiap, dia pun menoleh dikarenakan posisi sekarang membelakangi sang suami.

"Tidak ada."

Jawaban singkat Shaba tak dapat dipercaya. Samson mendengus. "Kamu masih memikirkan mantan suami jelekmu itu ya."

Helaan napas berat terdengar, Alishaba beralih berbaring menghadap ke arah Samson. Di tatapnya dalam-dalam mata tajam pria itu.

"Jangan mengotori tanganmu lagi, Sam. Aku ingin hidup damai."

"Ini untuk terakhir kali. Tapi kalau sampai dia berulah, aku tidak bisa janji," jawabnya acuh.

Enak saja pria itu mengganggu apa yang menjadi miliknya. Sudah bagus Samson tak membunuhnya, cukup dilempar ke pulau terpencil sepertinya sudah bisa membuatnya jera.

"Leo, memang tidak baik-"

"Jangan sebut nama itu!" tekan Samson tak suka.

Alishaba mengangguk mengalah, meski begitu, ia tetap melanjutkan kalimatnya. "Tapi dia tetap ayah kandung Faith dan Elea. Dengan kamu membiarkan dia hidup, itu sudah lebih dari cukup. Walaubagaimanapun, ketika anak-anak sudah besar mereka harus tau kebenarannya, Sam."

Samson lantas tersenyum masam. "Harus ya mereka tau? Padahal inginku, cukup aku yang menjadi papi mereka."

"Kita tidak bisa serakah. Harus kamu ingat, dia boleh menjadi mantan suamiku. Tapi tidak ada yang namanya, mantan ayah dari anak-anakku."

----

Sejauh ini karakter Faith dan Elea yang membuatku jatuh cinta. Anak-anak berhak mendapatkan kehidupan yang layak.

Life Recently [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang