Mungkin ini hari tersibuk bagi Alishaba di rumah kayu, di mana sejak pagi, ia bersama Sam sudah pergi ke toko pertanian untuk membeli pupuk dan bibit tanaman. Sepulang dari sana, Shaba berniat menyemai biji pakcoy, sementara Sam akan memupuk pohon buah-buahan.
Di belakang rumah kayu nantinya, akan Shaba gunakan tempat menanam beragam sayur. Terlebih dahulu wanita itu mengisi beberapa buah pot menggunakan sekam bakar dan kompos. Setelah semua pot terisi, satu persatu ia lubangi menggunakan ujung jari lalu ia masukkan dua biji pakcoy perlubang.
Selanjutnya, Alishaba mengubur semua lubang tanpa perlu menekan. Sebelum semua pot dipindah ke tempat yang aman, terlebih dahulu ia menyiram menggunakan sprayer.
"Sudah?"
Alishaba menoleh ketika mendengar suara suaminya. Tangan yang sibuk memegang sprayer pun ikut berhenti. Ia tersenyum kecil lalu mengangguk.
"Biar aku saja, Sam. Memang kamu sudah selesai?" Wanita itu menolak ketika pria itu ikut membantu memindahkan pot tempat menyemai.
Lelaki yang mengenakan sepatu bot itu tak mengindahkan, dengan cekatan ia memindahkan.
"Pupuknya kurang, belimbing dan jeruk nggak kebagian," jawab Sam setelah selesai menata pot di tempat aman. Kini keduanya duduk beristirahat di bawah pohon. Daun-daun tampak segar dan lebat. Sebentar lagi akan berbunga, mengingat musim mangga tak akan lagi lama.
"Di pekarangan, berapa jumlah semua pohon buahnya, Sam?" tanyanya mulai memperhatikan tumbuhan di sini yang sangat melimpah, padahal Sam telah membeli tiga kantong pupuk berukuran besar. Itu juga masih kurang.
Sam terdiam kemudian melihat pekarangan dengan sorot mata bersinar. "Cukup untuk kita makan sampai puas."
Shaba tertawa kecil. Seperti inilah suaminya, seringkali tak ingin mengakui. Padahal semua pohon di sini begitu terawat dan asri, sampai-sampai kedua putrinya betah berlarian ke sana ke sini.
"Faith dan Elea terlihat nyaman bersama Liana," ujar Sam menatap lekat anak-anak yang sibuk bermain tak jauh darinya. Tidak hanya ada gadis kecil pemilik koin, di sana juga ada dua pengasuh yang ikut mengawasi mereka.
Shaba menyetujui ucapan Sam, sejak ia dan sang suami sibuk di pekarangan, anak-anak memang betah bermain bersama kelinci dan marmut kesayangan.
"Sam, apa benar Liana hanya tinggal bersama kakeknya saja, tidak ada orangtuanya?" Shaba menyelami ingatan dahulu saat bersama mendiang neneknya, ia merasa nasib Liana sama seperti dirinya.
"Kasihan gadis itu, pasti kesepian," gumamnya tanpa tahu suaranya tetap terdengar di telinga Sam.
Lantas pria itu menoleh memperhatikan raut wajah mendung sang istri. "Kita bisa menjadi teman dan kerabat Liana, agar ia nggak merasa kesepian lagi," ujarnya pengertian.
"Kamu benar," sahut Shaba mengembangkan senyuman. Sesaat wanita itu memilih bangkit berdiri kemudian menunduk menatap sang suami. "Aku akan mengundang Liana untuk makan siang bersama."
Sam mendongak tersenyum tipis tanda mengizinkan, tak butuh waktu lama Shaba perlahan bergerak menjauhinya.
Merasa tubuhnya lengket dan gatal, Sam memilih membersihkan diri dahulu ke dalam. Makan siang bersama anak-anak tentu harus beraroma wangi dan segar.
***
"Liana, sekolah SMP di mana?" tanya Shaba ketika gadis kecil itu ikut membantu meletakkan piring ke meja.
"Aku homeschooling, Bibi."
Shaba menatap iba. Pasti itu terasa berat bagi Liana, meski begitu ia tak banyak berkomentar atas apa yang menimpa Liana.
"Sudah kamu duduk saja, biar Bibi yang menyelesaikan." Shaba meminta Liana untuk berdiam sewaktu Faith dan Elea tiba di ruangan bersama Sam. Anak-anaknya tadi sibuk meminta bantuan mencuci tangan.
Merasa segan atas kehadiran paman Sam. Liana pun mengiakan. Gadis kecil itu memperhatikan menu makanan yang tersaji, terlihat enak dan bergizi, sesaat Liana teringat kakeknya, raut wajahnya pilu seketika.
"Ada yang Liana nggak suka sama menunya?" tanya Alishaba kembali duduk bergabung.
Anak itu menggeleng sopan, semua masakan tampak enak, mana mungkin ia menolak. Saat masuk ke dalam saja, Liana baru paham latar belakang keluarga kecil paman Sam yang terbilang mewah, terhitung sejak tadi ia melihat semua perabotan di sini canggih-canggih sekali. Liana jadi iri.
"Syukurlah jika Liana suka, kalau nanti ada yang nggak sesuai di lidah, Liana boleh ngomong ya, jangan sungkan."
Shaba tersenyum teduh lantas sibuk menyendok menu pastel tutup ke piring kosong sang suami, di lanjut Faith dan Elea, lalu berakhir Liana dan dirinya. Sejujurnya masih ada menu sup udang dan nugget tempe serta sayur. Namun, untuk mencoba suka tidaknya, ia beri satu menu saja, selebihnya mereka sendiri yang akan mengambilnya.
Di sisi lain, Liana penasaran karena ini pertama kali melihat makanan bernama pastel tutup. Ia pun mencicip sedikit, terasa tekstur lembut dari kentang dan gurih dari keju membuatnya takjub. Gadis kecil itu tanpa sadar sangat lahap kala menyuap ke dalam mulut.
Sam dan Shaba saling pandang. Ini tidak seperti biasanya melihat Faith dan Elea sangat anteng menikmati makanan, apa mungkin karena ada Liana? Walau heran, keduanya membiarkan saja, makan siang kali ini terasa hening dan damai.
Siang itu di terik-teriknya panas matahari. Liana izin pamit pulang usai menyelesaikan makanan. Paham akan kegelisahan gadis kecil itu, Shaba pun mengizinkan, lagipula tempat tinggal Liana hanya berjarak 100 meter dari rumahnya.
"Bibi, titip ini buat kakek kamu ya." Shaba menyerahkan kantung kain berisi kotak segiempat, dari aromanya, Liana tahu jika itu makanan lezat.
Dengan senang hati, anak itu menyambut pemberian Alishaba. "Terimakasih, Bibi. Kakek pasti suka."
Wanita itu tersenyum mendengarnya. "Hati-hati di jalan ya, rumah ini selalu terbuka jangan sungkan untuk bermain bersama Faith dan Elea."
Liana mengangguk sopan sebagai jawaban, setelahnya berpamitan sambil membawa kantung kain berharga pemberian istri paman Sam yang baik hati.
Dalam perjalanan, gadis kecil itu sibuk terdiam memikirkan ketika tinggal di rumah kayu milik paman Sam. Liana seolah bertemu rumah yang sebenarnya. Kehidupan bahagia yang damai akan anggota keluarga.
Kapan ya, ia bisa merasakannya?
***
Shaba menyeduh susu hangat di gelas milik putrinya. Setelah makan siang, anak itu merengek mengantuk dan ingin tidur ditemani ibunya.
"Tidak apa-apa kan, aku tinggal sebentar?" Sekarang Sam tampak rapi mengenakan kemeja hitam dan celana bahan. Kakinya yang terbungkus rapi sepatu kain kian menampilkan ketampanan.
Shaba tersenyum geli, ini untuk ke sepuluh kalinya Sam berucap. Padahal sore nanti lelaki itu juga sudah kembali.
"Nggak apa-apa, Sam. Di sini ada pengasuh, kamu nggak perlu khawatir meninggalkan kami." Sejak Jelena membawa dua pekerja dari Jakarta, Shaba merasa terbantu oleh mereka.
Tak lama kemudian, terdengar suara deru mobil mendekat. Itu pasti sopir sang suami telah tiba, rencananya Sam akan bernegoisasi dengan pemilik peternakan di desa sebelah. Sesuai permintaan, Sam akan membeli tiga lembu dan sepuluh ekor bebek demi menyenangkan hati putrinya.
Kebetulan lahan pekarangan yang kosong di samping rumah telah sah menjadi miliknya, tentu sebuah kesempatan demi merealisasikan keinginan, Sam bergegas mempersiapkan.
"Baiklah, aku akan berangkat. Nanti mau dibelikan oleh-oleh apa?" Seperti kebiasaan sebelum bepergian, Sam selalu bertanya.
Baru disadari Shaba, ternyata ini bentuk kasih sayang seorang Sam pada keluarga.
"Apa aja, Sam. Aku suka semua pemberian kamu."
Sebelum benar-benar berangkat, terlebih dahulu Sam mengecup lembut keningnya.
-tbc-
Sudah sejauh ini kisah mereka. Mungkin mulai terasa membosankan, tapi aku selalu berterimakasih pada kalian yang tetap stay...
Jika berkenan, silakan follow akun ini ya teman-teman...
KAMU SEDANG MEMBACA
Life Recently [END]
RomanceKalau saja saat itu Alishaba menerima pinangan Sam, ia tidak akan terlantar dengan keadaan memiliki anak kembar. Mantan suami yang dahulu paling ia harapkan, ternyata hanya membawanya pada sebuah kesengsaraan. Tubuh kecil putri kembarnya, tampak lay...