CHAPTER 6

3.5K 166 0
                                    

Tiga hari berlalu, urusan mengenai kantor pun telah usai. Samson berkesempatan mengajak istrinya menjelajahi suasana baru. Sebuah tempat tinggal yang jauh dari hiruk pikuk padatnya kota Jakarta. Terdapat rumah bergaya arsitektur kayu. Namun, jangan salah sangka, meskipun furniture terbuat dari kayu, bisa dipastikan jenis yang digunakan memiliki nilai jual tinggi.

"Sejuk sekali, kamu berhasil buat aku mengenang masalalu, Sam."

Perkataan Alishaba mengejutkan pria itu. Raut wajah yang tadinya cerah berganti muram. Lantas mengetahui perubahan itu, Alishaba meralat ucapan.

"Maksudku, ini rumah impian aku sejak dulu. Tinggal di hunian berdampingan dengan alam lalu berkebun bersama itu sangat menakjubkan."

Samson tersenyum tipis, lengannya yang sedari tadi merangkul pinggang istrinya semakin mengerat.

"Aku tau. Itu artinya kamu setuju untuk ke depannya kita tinggal di sini?"

"Maksud kamu, kita pindah?" Wanita itu tentu terkejut. Sorot matanya terlihat menuntut jawaban.

Pria bertubuh atletis itu mengangguk. "Sebelum memutuskan menikah dengan kamu. Aku berencana untuk tinggal di sini."

Alishaba setia mendengar sambil dituntun prianya mengitari rumah tersebut. Tampak jelas rumah ini luas sekali ditandai dengan lelahnya dia berjalan.

"Lalu bagaimana dengan orangtua kamu, Sam. Aku merasa bersalah, setelah turun kepemimpinan kamu juga pindah rumah. Apa tidak bertambah kecewa?"

Keduanya kini duduk di kursi rotan menghadap taman belakang. Taman hijau yang ditumbuhi beberapa pohon buah. Alishaba tak sempat menikmati keindahan tersebut dikarenakan perasaannya tengah gundah.

"Jangan khawatir. Orangtuaku pasti tidak keberatan. Sekarang kita fokus saja pada tumbuh kembang Faith dan Elea."

Omong-omong tentang mereka, keduanya kali ini tidak ikut bersama Samson dan Alishaba. Faith dan Elea dibawa nenek dan kakeknya berlibur ke kebun binatang. Hitung-hitung pendekatan agar semakin akrab kata Jelena saat izin pada Alishaba.

"Sudah tidak perlu dipikirkan. Sini aku perlihatkan kamar anak-anak."

Alishaba tentu banyak bersabar. Bagaimana tidak, baru saja kemarin merenovasi kamar anak-anak. Kini sudah ada yang baru lagi.

"Sam, ini berapa banyak uang yang kamu habiskan? Mereka masih anak-anak tidak perlu ranjang terpisah."

Protesan sang istri tak menggoyahkan niat pria itu. Menurutnya memanjakan Faith dan Elea apalagi yang berhubungan dengan tumbuh kembang mereka wajib diperhatikan.

Kamar bernuansa serba pink itu memiliki dua ranjang berukuran sedang yang aman bagi balita, dua lemari rotan cantik, dan dua meja belajar. Masing-masing meja memiliki hiasan bola dunia. Tak hanya itu, di sisi kanan terdapat jendela besar menghadap ke arah timur yang nantinya cahaya matahari terbit akan masuk ke area ruangan.

Selesai melihat kamar anak-anak yang sukses membuat Alishaba geleng-geleng. Kini wanita itu juga dikejutkan kamar utama milik mereka. Tidak banyak perabotan, akan tetapi sangat luas untuk dikatakan kamar. Memiliki satu ranjang besar yang nantinya bisa digunakan tidur berempat. Juga ada lemari kayu jati buatan kota Jepara.

"Masih banyak barang yang harus kita isi. Sejujurnya aku ingin kamu yang memilih dan menata tata letaknya."

Alishaba tersenyum lebar. Sebagai perempuan yang hobinya belanja mana mungkin dia melewatkan kesempatan berharga.

"Boleh, jadi kapan kita membelinya?"

Ini yang Samson suka dari istrinya. Alishaba memang tipe wanita gampang diandalkan. "Kapanpun kamu mau Sayang."

Kontan Alishaba terkekeh. Sedikit malu mendengar Samson mengatakan hal mesra.

***

Butuh waktu enam jam perjalanan pulang menuju rumah. Alishaba sudah sangat merindukan putrinya. Padahal baru satu hari tidak bersama, sebagai ibu tentu kalian merasakannya. Mobil pun melaju dengan tenang, masih ada sisa dua jam tiba di tujuan.

"Mau mampir beli oleh-oleh?" tawar pria itu saat melihat sang istri tak kunjung membuka suara.

"Oleh-oleh apa?" Alishaba menoleh memandang sang suami. Kali ini perjalanan mereka bukan Samson yang menyetir. Keduanya berangkat dan pulang bersama sopir.

"Apa saja yang kamu dan anak-anak suka. Di depan ada toko yang menjual makanan khas daerah."

Berpikir sejenak, Alishaba lantas menyetujui. Keduanya berhenti untuk membeli oleh-oleh. Tiga puluh menit kemudian, mereka keluar dari toko menenteng beberapa paper bag berlogo toko terkenal.

Sore itu, Alishaba menikmati perjalanan pulang berada di dekapan hangat Sam.

"Ibu lama sekali." Tiba di rumah, Alishaba tersenyum seraya merangkul erat kedua putrinya. Ungkapan perasaan Elea tak sengaja terdengar di telinga. Samson tentu merasa bersalah. Sepertinya pergi tanpa mengajak mereka adalah pilihan buruk.

"Ke depannya, papi janji kalian tidak akan ditinggal lagi."

Faith dan Elea berseru senang. Bergantian mereka dekap tubuh besar papinya.

Baraq dan Jelena yang sedari tadi diam tersenyum tipis.

"Apa hari ini mereka merepotkan, Ma? Maaf Shaba menitipkan Faith dan Elea terlalu lama." Wanita berusia 29 tahun itu berkata sungkan.

"Bukan masalah besar, Shaba. Mereka anak yang menyenangkan. Sampai di sana mereka heboh melihat banyak binatang." Jelena antusias menceritakan kegiatan yang dilakukan bersama cucunya.

"Ibu, ayo kita ke halaman belakang. Faith dan Elea punya marmut baru dan ikan lucu."

Mendengar seruan dari putri sulungnya, Alishaba kebingungan.

"Ah, itu tadi papa adopsi hewan baru." Baraq lantas cepat menjelaskan.

Belum sempat menjawab, kedua tangan Alishaba ditarik tak sabar putrinya.

"Sudah turuti saja mereka."

Dengan raut wajah bersalah, ibu dua anak itu berlalu meninggalkan ruangan. Kini yang tersisa tinggal Samson dan kedua orangtuanya.

"Bagaimana? Apa setuju istrimu tinggal di sana?" tanya Jelena basa-basi. Meskipun dalam hati kurang setuju jauh dari cucu menggemaskan.

"Tentu dia bahagia. Rencana bulan depan kami akan pindah."

Baraq dan Jelena saling tatap. Sorot mata mereka menunjukan kepasrahan.

"Mama dan papa masih bisa bertemu Faith dan Elea. Minimal sebulan sekali kami ke Jakarta." Samson mengerti jika dirinya masih mempunyai orangtua. Opsi sebulan sekali menjenguk Baraq dan Jelena itu juga gagasannya. Namun, bukan berarti istrinya tak mengingatkan. Justru Alishaba sering mengatakan.

"Baiklah, mama percaya. Kamu juga jangan main lupakan Miranda dan urusan perusahaan, Sam. Sesekali tanya anak itu, kadang mama nggak habis pikir Miranda sulit sekali bercerita. Hari ini saja, anak itu berniat menginap di kantor."

Baraq mengangguk setuju. Walau dia sering bertanya pada putri bungsunya. Akan tetapi, Miranda lebih terbuka pada kakaknya.

"Akan aku lakukan."

Usai berbincang, pria itu pamit ke peraduan untuk segera membersihkan diri.

Sepeninggal sang putra, Baraq menghela napas berat. Pria paruh baya itu menyandarkan punggung ke sandaran sofa. Benaknya masih mengingat selentingan dari beberapa investor. Baraq khawatir, keberadaan Sam yang tinggal di lingkungan baru berimbas pada keselamatan.

Bukan hal aneh, jika banyak pesaing bisnis mengincar putranya itu. Sejak muda Sam memang acapkali berprestasi dan membanggakan.

"Papa harap, Sam mampu melindungi anak istrinya."

Gumaman sang suami menjadikan raut wajah Jelena seketika masam.

---


Life Recently [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang