CHAPTER 13

2.4K 119 0
                                    

"Aku segan jika bicara hal itu pada Baba sekarang. Kamu tahu sendiri, sebentar lagi kita akan pindahan."

Alishaba tak menyetujui usul dari sang suami. Lagipula, babanya masih ada waktu seminggu di sini, mungkin nanti-nanti saja ia bicarakan lagi.

"Kalau itu sudah menjadi keputusan kamu, aku ikut saja bagimana baiknya. Terpenting saat tiba baba membicarakan hal itu, kamu tidak kaget ataupun marah padanya," sahut Sam sambil menyeruput kopi yang mulai mendingin.

Tak lagi menjawab, perempuan itu mengangguk. Apapun nanti pemberian babanya, mungkin jauh lebih baik diterima ketimbang pria tua itu kecewa. Bukan bermaksud plin plan, aset yang akan menjadi miliknya juga akan berguna di masa depan. Alishaba jamin pemberian babanya, ia pastikan untuk digunakan hal kebaikan.

"Selagi ada baba dan istrinya, bagaimana jika kita pergi membeli perabotan untuk rumah baru kita?" tawar Sam setelah menghabiskan kopi buatan Shaba.

"Apa nggak merepotkan mereka jika kita menitipkan Faith dan Elea?" terang wanita itu sungkan. Meskipun menyanggah, ia yakin, sudah pasti Emran tak masalah menghabiskan waktu bersama sang cucu. Kebersamaan itu, membuat binar kebahagiaan menyala di mata tua Emran.

"Ditanya dulu, Sayang. Kita juga harus pamit agar mereka tidak kebingungan." Sam lantas berdiri lalu diraihnya lengan halus sang istri, kini keduanya melangkah pergi meninggalkan ruang makan yang sepi.

Di ruang depan yang sangat luas, Sam dan Alishaba disambut gelak tawa riang dari anak-anaknya. Berulang kali meski tak sengaja terpeleset, Faith dan Elea tak jera bermain perosotan dibantu serta dijaga oleh dua pelayan.

Lantas bagaimana dengan kakek neneknya, mereka lebih memilih menonton aksi sang cucu sambil berbincang ringan. Jika ditanya mengapa tidak turut andil dalam permainan, kondisi mereka yang sudah tua, tidak sanggup mengimbangi keaktifan Faith dan Elea. Kedua balita itu seakan tidak punya rasa lelah. Selalu ada saja energi cadangan meski keringat sudah membasahi badan.

Lalu saat melihat kedatangan kedua orangtua, Faith dan Elea berlari menghampiri seraya bercerloteh memamerkan mainan barunya. Alishaba tersenyum menanggapi, tangan lembutnya tak ketinggalan mengusap kening Faith dan Elea yang basah oleh keringat. Meskipun ruangan telah dilengkapi pendingin udara, tapi tampaknya tidak mengurangi energi lebih yang dikeluarkan anak mereka.

"Ibu, ayo main!"

Ajakkan Elea tentu ditolak halus oleh Alishaba. Wanita itu perlahan berjongkok mensejajarkan tinggi anaknya. "Kalian bermain bersama kakek nenek saja ya? Ibu dan Papi ada urusan sebentar."

"Kalian mau pergi ke mana?" tanya Jelena.

Sam lantas menatap sang mama. "Aku dan Shaba akan membeli perabotan rumah baru."

Mendengar jawaban dari anak lelaki mereka, para orangtua mengangguk mengerti. Tak ingin hanya diam, Emran pun membuka suara. "Datanglah ke toko furniture A. Malik. Baba rasa perabotan di sana cukup bagus dan lengkap."

Saat mendengar nama toko itu, dahi Sam mengernyit. Bukan lagi bagus dan lengkap, di sana perabotan kualitas tinggi jelas bermuara, dan lelaki itu yakin sampai di sana, mereka mendapat secara cuma-cuma.

"Papa setuju, properti A. Malik tentu tidak perlu diragukan lagi kualitasnya," timpal Baraq ikut meyakinkan.

Alishaba mengerjap bingung, belum lagi wajah cemberut sang anak yang sangat mengganggu ketenangan hati. Begitu bersitatap dengan Sam, wanita itu baru paham apa maksud pembicaraan para orangtua, seketika Alishaba meringis. Kelihatannya di masa mendatang, hidupnya tak lagi sama. Akan banyak kejutan tak terduga yang mengguncang keinginan hidup sederhana.

Lima belas menit terjadi adu nego, Alishaba bernapas lega keluar rumah tanpa mendengar tangisan dari anak-anaknya. Duduk di samping kemudi dengan Sam yang menyetir mobil melupakan sejenak rasa khawatir. Meskipun Faith dan Elea rela ditinggal, tapi perasaan tak tega justru membelenggu hatinya. Lagi-lagi mereka belum memiliki waktu pergi berempat saja.

"Sabar ya. Aku pastikan setelah pindah ke rumah baru, Faith dan Elea tidak akan sering ditinggal." Sam menenangkan keresahan Alishaba, diusap lembut lutut istrinya.

"Aku tahu, hanya saja terbiasa bersama mereka sejak bayi, aku merasa bersalah meninggalkan mereka meskipun sebentar." Wanita itu menoleh memandang sendu pria di sampingnya.

"Wajar sayang, kamu ibunya. Percaya sama aku, mereka akan baik-baik saja bersama kakek neneknya." Sekali lagi, Sam melepas satu tangan dari kemudi hanya untuk menggenggam lembut jemari sang istri.

Alishaba tersenyum tipis, ia balas genggaman hangat tangan Sam. Perlahan mobil pun melaju menambah kecepatan saat tak ada lagi pembicaraan. Sekitar satu jam setengah menghabiskan waktu di perjalanan, Alishaba lega, mobil telah sampai pada tujuan. Sesuai perintah Emran, kendaraan mewah milik Sam berhenti tepat di parkiran Toko furniture A. Malik yang berada di kawasan kota dengan bangunan dua lantai begitu besar dan luas.

Sesudah keduanya keluar dari mobil serta berdiri berdampingan, keduanya berjalan menuju pintu masuk dan langsung disambut dua pria yang mempunyai jabatan penting di toko itu. Sam dan Alishaba dilayani baik oleh mereka. Sebelum memutuskan memilih perabotan, Sam dan sang istri diminta duduk di kursi empuk. Tak lama kemudian, dua perempuan muda dengan pakaian seragam datang membawa nampan berisi dua cangkir teh dan kudapan.

Sambil menikmati suguhan, Sam dan Alishaba memperhatikan dua pria yang tak lain manajer dan asisten tengah merekomendasikan beberapa jenis perabotan yang best seller seraya menyerahkan beberapa katalog. Kali ini, Sam percaya sistem manajemen milik perusahaan Emran benar-benar tertata.

Tak hanya sekadar wacana, manajer tersebut langsung membawa Sam dan Alishaba turun ke lapangan guna mengecek perabotan. Sam berdecak puas, perlengkapan rumah yang diinginkan semua tersedia. Jenis perabotan yang dipilih adalah kayu bernilai tinggi, dan tentu Alishaba menyetujui. Wanita itu juga tanpa sungkan berniat memborong perabotan dapur. Benaknya saat ini telah dipenuhi peralatan memadai yang akan menyempurnakan memasaknya.

"Yakin kamu ingin jenis kompor ini? Tidak yang pertama saja?" Sam bertanya, pasalnya kompor yang ditolak Shaba memiliki kualitas memadai dan tentunya aman dalam jangka panjang. Meskipun harus diakui, harganya cukup membuat tercengang.

"Itu terlalu mahal dan canggih. Aku tidak yakin bisa menggunakan."

Alishaba menolak, terlalu berlebihan hanya untuk satu kompor sampai menguras dompet. Walaupun jika ditanya, isi dompet Sam jelas tak berkurang banyak hanya untuk satu kompor saja.

Sam tentu menyerah tak lagi membujuk. Namun, kompor tersebut tetap akan terpasang di rumah baru dikarenakan lelaki itu sudah jatuh hati akan kecanggihan yang dimiliki kompor itu. Setidaknya aman bagi Faith dan Elea, pikirnya.

Dua jam berputar dan mencari perabotan yang cocok. Sam dan Alishaba lega, barang yang mereka inginkan telah tersedia semua. Rencananya pihak toko akan mengantar esoknya. Akan tetapi, ada yang lebih mengejutkan di antara rasa lelah mereka, pihak manajer memberi info ketika pembayaran total semuanya tidak sampai 1 Milyar.

"Atasan kami mengimbau, jika Bapak Samson dan Ibu Alishaba mendapat potongan harga senilai 50%."

Pasangan suami istri itu saling tatap. Mereka yakin jika atasan yang dimaksud adalah, Emran. Bingung ingin sedih atau senang, baik Sam dan Alishaba hanya mengangguk mengiyakan.

tbc.

Life Recently [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang