Langit masih terang saat mobil yang ditumpangi Baraq dan Jelena tiba di pekarangan. Keduanya langsung turun kemudian disambut pekikkan riang Faith dan Elea di pintu depan. Anak-anak terlihat tak sabar menunggu oleh-oleh pesanan.
Rupanya kedatangan mereka juga membawa dua orang asisten rumah tangga. Padahal Shaba sudah mewanti-wanti agar tak merepotkan pekerja di rumah Jakarta.
Ibu dari Sam tersenyum sumringah menyambangi para cucunya. Di belakang, Baraq berderap pelan menuju ke dalam rumah kayu tempat tinggal baru putranya.
"Aduh, baru ditinggal beberapa hari, cucu Nenek semakin gemoy saja." Jelena memeluk satu persatu tubuh padat cucunya. Saat menyambut kedatangan sang nenek, Faith dan Elea mengenakan dress baby pink bertali spaghetti terlihat manis sekali.
Elea tertawa renyah ketika bibir berpoles lipstik merah milik Jelena hinggap di pipi kakaknya. Faith tampak pasrah dicium gemas oleh sang nenek.
"Capek sekali ya, Ma?" Shaba bertanya seraya menyuguhkah air dingin bercampur perasaan lemon dan gula.
"Lumayan capek, habisnya papa nggak mau istirahat dulu sepulang dari bandara. Mama jetlag rasanya," sahutnya kemudian meneguk gelas berisi air yang disuguhkan Shaba. Jelena berseru lega saat air dingin itu mengalir ke kerongkongannya, segar sekali setelah melewati perjalanan panjang dari Singapura.
Baraq yang diprotes memilih sibuk mengamati rumah kayu. Pria paruh baya itu mengangguk puas. "Sudah sedia genset, Sam? Jaga-jaga kalau mendadak listrik mati."
Samson berdehem tanda menjawab. Lelaki itu lebih fokus membantu Faith dan Elea duduk di kursi kayu.
"Oh iya, pesanan Faith dan Elea belum dikeluarkan dari mobil ya?" Kemudian Jelena berseru kepada dua pembantu memberi titah untuk mengambil barang itu.
"Mama yakin jadi adopsi doggie?" bisik Shaba agar tidak kedengaran anaknya.
Jelena mendesah pelan, wanita itu merasa bersalah. "Itu dia, Shaba. Mama dilarang Papa. Katanya belum saatnya menambah peliharaan lagi mengingat kalian masih harus beradaptasi di lingkungan baru."
"Tapi sebagai gantinya, Mama belikan Flash card. Mama mendapat rekomendasi dari teman mama karena cucunya suka bermain itu," lanjut Jelena, karena tahu jika mainan kartu itu tak hanya sekadar seru tapi juga mengedukatif pembelajaran baru.
Kemudian, Faith dan Elea berlarian menuju dua kotak berukuran besar yang diangkut dua pembantu. Sekarang, oleh-oleh tersebut terletak di tengah ruangan dan siap dibuka. Anak-anak lantas meminta bantuan papinya.
"Untung saja, Faith tidak rewel karena keinginannya tidak dituruti," ucap Jelena merasa bersyukur.
Shaba tersenyum tipis, tentu saja Faith tidak akan tantrum karena terlebih dahulu kolam renang impian akan segera dibangun.
Beberapa jam kemudian, lepas bersih-bersih dan mengisi perut, Baraq dan Jelena lebih memilih beristirahat di kamar tamu. Berbeda dengan kakek neneknya yang sedang kelelahan, Faith dan Elea sibuk meminta papinya untuk ditemani pergi jalan-jalan. Keduanya penasaran karena berulang kali melihat anak-anak hilir mudik bermain melewati jalan depan.
"Papi, bukan tidak ingin menemani, Nak. Papi masih ada pekerjaan." Ini entah ke berapa kalinya Alishaba tengah sibuk membujuk.
Faith dan Elea merengut sebal. Kedua lengan mungilnya bersedekap lalu wajahnya dipalingkan agar tak menatap.
Mengetahui drama ini tak akan berkesudahan, Alishaba menarik napas panjang. "Bagaimana jika sore ini kita melihat papi memasang lampu?"
"Lampu?" tanya Elea tak lagi menampilkan raut sendu. "Lampu di mana, Ibu?"
"Rencananya Papi akan membuat taman belakang menjadi cantik."
Lebih tepatnya, area dapur terbuka yang di khususkan tempat barbeque.
"Benarkah, Ibu? Secantik apa?" Kini beralih Faith yang bertanya.
Alishaba terdiam berpikir mencari jawaban yang sesuai imajinasi balita.
"Ah seperti, lampu-lampu di pasar malam. Banyak warna, cantik sekali."
Faith dan Elea menatap kebingungan.
Mengetahui tidak ada binar antusias di mata putrinya, Shaba mengulum bibirnya. "Untuk lebih jelasnya, nanti malam kita lihat saja saat lampunya menyala. Bagaimana?"
Anak itu lantas mengangguk saja.
***
"Papa rasa, pedesaan di sini bukan tempat biasa."
Baraq membuka suara setelah menemui putranya yang sedari tadi sibuk beralih profesi menjadi tukang.
"Papa pikir, aku mau tinggal di tempat sembarangan?"
Terdengar meledek suara Sam dan membuat Baraq berdecak. "Papa hanya beropini, Sam."
Lelaki itu mengangguk acuh, tangannya sibuk menggulung kabel sisa yang telah digunakannya.
"Repot sekali, padahal tinggal panggil yang lebih ahli," Baraq berkomentar.
"Di sini aku tidak berniat duduk berdiam. Apa gunanya pensiun dini kalau nggak ada kegiatan," kata Sam beralih membereskan peralatan. Walau terlihat lelah, tetapi batinnya membuncah karena keahliannya menjadikan Shaba semakin cinta.
"Ya-ya, papa mengerti." Lalu Baraq pun mengalah, diam-diam dipandanginya tubuh gagah putranya yang terbalut kaus basah oleh keringat. Kulit Sam juga semakin coklat. Anaknya itu banyak sekali berubah.
"Lebih baik, Papa buka laci di meja ruang keluarga." Sam berdiri hendak ke dalam.
"Memang ada apa di sana?" tanya pria paruh baya itu malas-malasan.
"Siang tadi, aku bertemu anak yang memiliki koin bagus. Aku rasa koin itu sangat berguna untuk Papa."
Seketika punggung Baraq menegak. Matanya membidik terkejut. Bukankah ini sebuah kabar baik setelah lama ia meninggalkan hobi mengoleksi koin kuno.
"Akan Papa lihat."
-tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
Life Recently [END]
RomanceKalau saja saat itu Alishaba menerima pinangan Sam, ia tidak akan terlantar dengan keadaan memiliki anak kembar. Mantan suami yang dahulu paling ia harapkan, ternyata hanya membawanya pada sebuah kesengsaraan. Tubuh kecil putri kembarnya, tampak lay...