CHAPTER 11

2.5K 124 0
                                    

"Emran akan datang bersama istri mudanya."

Baraq pun membuka suara. Setelah dua hari kesepakatan dengan Alishaba terjalin. Kabar penting ini menemukan titik terang. Di luar dugaan, Emran begitu antusias menyambut kapan saatnya bertemu putri yang diimpikan.

Meski begitu, informasi ini jelas menyentil benak Alishaba, tak mungkin babanya datang sendiri pikirnya. Seiring ungkapan papa mertua, ruang keluarga senyap seketika. Sam hanya mampu menatap teduh istrinya, sementara Jelena pura-pura sibuk bermain dengan Faith dan Elea.

Perasaan berkecamuk tak juga pudar meskipun berulang kali sang suami bergerak menenangkan. Bagaimana tidak, jika pagi ini, tepatnya satu jam lagi sosok yang digadang-gadang akan menemui segera menampakan diri. Alishaba tentu merasa bahagia dan kalut. Terakhir berjumpa dengan sang ayah sangatlah lama, itupun dulu terjadi perdebatan sengit di antara keduanya.

Masih dengan jantung berdentum resah, Alishaba berulang kali menarik napas. Kain rok bawahnya lebih dari kusut sebab sedari tadi ia remas. Sampai tiba saatnya suara deru mobil dan klakson terdengar tanda tamu telah sampai, penghuni ruang keluarga berseru lega. Tak terkecuali Alishaba yang justru berkeringat dingin, nampaknya perasaan berkecamuk kembali mendera.

Di halaman rumah tiga lantai, beberapa mobil mulai masuk usai pintu gerbang terbuka. Sesuai kesepakatan, Baraq meminta Emran datang ke Jakarta atas persetujuan menantunya. Tempat perbincangan yang telah ditentukan bertepatan di rumah pribadi milik mereka.

Usai Emran turun dari mobil dibantu sang istri muda, tampak Baraq beserta Jelena menyambut besannya. Mereka bercakap-cakap sejenak sebelum melangkah ke dalam. Emran berjalan perlahan bersisian dengan Baraq. Walaupun tubuh itu telah termakan usia, raut gembira terlihat jelas di mata.

Ruang keluarga yang didominasi sofa kulit mewah kini telah terisi. Alishaba sendiri tak henti-hentinya mendapat genggaman erat dari sang suami. Emran sendiri tidak bisa membendung letupan bahagia usai memandang putrinya. Di depan sana, sejauh dua meter anaknya duduk diapit kedua balita.

Sejujurnya, Emran tak terlalu terkejut mendapati fakta Alishaba telah memiliki anak. Informasi terakhir yang ia dapat dari Baraq saat itu ketika Alishaba memutuskan menikah dengan pria biasa saja ketimbang dengan Samson putra kerabatnya. Ada perasaan pilu begitu mengetahui sang putri tak melibatkan dirinya dalam pernikahan. Ingin protes pun, seorang ayah tak berguna macam dia, tentu tidak memiliki hak.

"Ibu... "

Suara imut anak kecil menghentikan lamunan pria paruh baya. Emran lantas mengerjap, tubuh ringkih itu bergerak berusaha santai dan tak lagi tegang.

"Apa dia cucuku?" Lama kenal dengan Baraq, Emran begitu fasih berbicara bahasa Indonesia. Berbeda dengan sang istri asli keturunan Aljazair, perempuan bertudung itu cukup memperhatikan saja.

"Benar sekali, Emran. Mereka diberi nama, Faith dan Elea." Bukan sosok yang sedari tadi diam menjawab. Melainkan Baraq tanpa ragu menyahut. Selanjutnya suami Jelena menatap lekat perempuan yang masih saja bungkam. "Jangan ragu untuk menyapa, Shaba. Jika ingin menunggu babamu dulu, yang ada esok baru buka mulut."

Emran tak tersinggung, pria itu malah merasa bersalah. Mungkin sudah saatnya ia mengalah, wajib menurunkan ego dan sifat kerasnya. Namun, ketegangan mereka harus terhenti saat tiga pelayan rumah datang membawa masing-masing nampan berisi teh dan kudapan.

Barulah ketika para pelayan selesai menghidangkan, Emran kembali memusatkan perhatian pada sosok wanita dewasa di depan.

"Alishaba, anakku. Bolehkah baba meminta belas kasih darimu, Nak?"

Alishaba menahan napas, rasa sesak itu kembali hadir saat mendengar alunan suara khas di telinga. Babanya.

"Baba meminta maaf, izinkan baba mendekat dan mewujudkan keinginan masa tua. Baba boleh menjalin hubungan baik denganmu, Nak?" Suara Emran terdengar sirat penyesalan kala mengucap, sang istri tentu sigap menggenggam jemari keriput itu.

Bibir wanita dua anak itu masih dihiasi kebungkaman. Namun, tanpa disadari hatinya perlahan damai. Apalagi jika bukan mendengar suara tak berdaya dari pria penyumbang sperma pada mendiang ibunya.

"Biarkan babamu ini mendapat kesempatan terakhir sebelum ajal. Baba sudah tua, baba sadar hanya kalian yang belum sempat baba bahagiakan."

Alishaba tanpa ragu menatap lekat mata sang baba. Ingin ia lihat sejauh mana kejujuran itu bermuara.

"Baba bersalah, baba manusia penuh salah. Terutama padamu dan ibumu."

Emran lantas menunduk usai mengungkapkan isi hatinya. Benar-benar iklhas dan berserah tak lagi memaksa sang anak untuk memberi maaf.

Selagi kedua ayah dan anak saling mengungkap perasaan. Masing-masing penghuni lain diam menyimak. Bahkan Faith dan Elea yang biasa lincah bergerak tampak anteng duduk dipangkuan papinya. Sam telah mengubah mereka sejenak.

"Apa boleh, Shaba bertanya sebelum menjawab?"

Sorot mata Emran berbinar setelah mendengar suara putrinya. Tanpa berpikir panjang, pria ringkih itu menyanggupi. "Tentu boleh, Nak. Tanyakan saja, apa yang membuatmu penasaran."

Alishaba menghela napas. "Hal apa yang membuat baba menyadari bahwa baba telah salah?"

Emran kontan terdiam lama. Lama sekali, hingga mendengar suara imut milik Elea. Ia tersadar setelah kembali mengingat banyak kejadian, pria itu tersenyum pahit.

"Sepanjang malam setelah salat tahajud, babamu ini selalu merasa tak tenang. Tangisan ibumu selalu teringat. Kemarahanmu membuat dada baba sesak."

Cukup meyakinkan, pun mulai melegakan. Alishaba tanpa ragu mendekat lalu duduk di dekat Emran.

"Sebagai anak, baktiku ada padamu, Baba. Pelan-pelan kita perbaiki semua, ya."

Terkejut setengah mati bisa sedekat ini dengan sang anak. Mata tua itu menggenang, ditambah ia merasakan sebuah genggaman hangat di telapak tangan.

"Terimakasih, Nak. Terimakasih."

Emran tergugu. Hatinya meledak bahagia, jantungnya memompa cepat. Alishaba, putrinya, anak tercinta.

Hari itu perbincangan keluarga mereka dilanjutkan mendengar gelak tawa Faith dan Elea saat bermain dengan kakeknya. Keduanya begitu gembira, lagi-lagi mendapat saudara. Jika kata Elea, sekarang kakeknya ada dua, banyak ya.

Tak hanya cepat akrab dan berbaur, Emran tanpa ragu mengeluarkan banyak oleh-oleh dari negaranya. Aneka jenis mainan dan coklat terkhusus untuk sang cucu. Meskipun Faith dan Elea bukanlah satu-satunya cucunya. Tetap saja, mereka yang mendapat hak istimewa. Saat ini, giliran keluarga Alishaba yang menerima curahan kasih sayangnya.

***

Alishaba tersenyum lega berada dipelukkan suaminya. Lelaki itu begitu bangga sang istri mampu melewati masalalu yang membelenggu. Gerbang kedamaian tentu semakin terbuka lebar, apalagi jika bukan tentang sebuah penerimaan.

"Aku banyak belajar dari kehidupan yang aku jalani, Sam. Semakin aku renungi, kehidupan apapun itu, nggak akan berjalan baik kalau hati belum sepenuhnya paham akan penerimaan.  Menerima membuatku menjadi selega ini."

Sepasang suami istri saling berpandangan. Sam lantas tersenyum mendengar apa yang keluar dari bibir Alishaba.

"Semua berkat kamu. Nggak henti-hentinya aku berterimakasih dan bersyukur di persunting kamu." Alishaba berkaca-kaca saat mengatakan itu, kedua tangannya tanpa ragu menangkup rahang tegas yang ditumbuhi bulu kasar.

"Jangan lelah bimbing dan bantu aku."

Mata Sam terpejam, jantungnya berdetak kencang. Ini benar istrinya bukan? Alishaba yang memulai duluan, sebuah kecupan sayang tepat mendarat di rahang Sam.

...

Life Recently [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang