Emran Malik menatap lekat pria yang sedang duduk bersedekap namun masih memberi kesan sopan. Samson putra sahabatnya sejak memasuki usia remaja, sudah jelas terlihat bibit unggulnya. Putra dari Baraq tak hanya dibekali wajah dan tubuh rupawan namun juga otak yang cemerlang. Banyak ide-ide inovasi gagasan sering diajukan oleh Sam.
Kini pria menawan itu tak lagi bujangan, sekarang sudah menjadi seorang suami dari putrinya. Terkadang Emran masih seperti mimpi mendengar kabar Alishaba menikah dengan Sam, ia mengira harapan mempunyai menantu seperti lelaki itu hanya sebuah angan, mengingat Shaba menjatuhkan pilihan pada Leon Raguna-pemuda biasa beserta kehidupan sederhananya.
Lantas jika putrinya bercerai membawa dua anak kembar, ke mana perginya sosok Leon? Apa benar pria itu telah main serong?
Semua jawaban dari dasar pertanyaan tentu ada pada Sam. Lalu sebelum memutuskan pulang ke Brunei, Emran meminta Sam berbicara berdua tepat di balkon rumah kayu ditemani semilir angin segar.
"Pria itu aman di tempat yang tepat, Baba."
Perkataan Sam menimbulkan kernyitan dalam di kening berkerut Emran.
"Apa kamu telah melakukan sesuatu padanya?" tanya pria tua itu merasa curiga. Dilihat sisi lain dari seorang Sam, Emran tak percaya menantunya diam saja.
Samson berucap pelan. "Dia pantas mendapatkan itu semua."
Terdengar tarikan napas berat dari Emran. Benar bukan? Meskipun kurang setuju perihal Sam bermain kotor, namun ia bisa apa selain tidak ada hak ikut campur di sana.
"Saat ini kamu tidak sendirian, Sam. Baba harap kamu lebih bijak dalam mengambil keputusan," katanya memberi nasihat.
Diperingatkan seperti itu, Sam tetap santai. Lelaki itu mengangguk paham. "Saat ini Leon tinggal di desa pinggiran berada di daerah Jawa Tengah. Aku memberi kesepakatan pada lelaki itu untuk pelunasan hutang, dengan imbalan dia tinggal di tempat yang sudah aku tentukan, lalu bekerja serabutan dan hidup sendirian, kemudian tidak boleh mencari ataupun mengusik kehidupan Alishaba dan anak-anaknya."
Emran lantas tercengang, jika sampai sebegitunya. Ia tidak yakin ini bukan persoalan hutang saja.
Seolah mengerti rasa penasaran sang mertua, Sam kembali melanjutkan perkataannya. "Lelaki itu terlibat judi serta memakai obat-obatan terlarang. Karena itulah, dia memiliki hitung bertumpuk di mana-mana, membuat Alishaba, Faith dan Elea terlantar hidupnya."
Akibat terlalu terkejut, Emran menatap kosong pada hamparan tanah pekarangan di depannya. Pria tua itu tak menyangka harus mendengar betapa buruknya sifat Leon Raguna, pemuda yang dikatakan lurus dan memiliki kehidupan sederhana, bagaimana bisa?
Setelah kembali pulih dari keterkejutan, Emran menatap bangga pada menantunya.
"Kamu sudah mengambil langkah bagus, Sam. Baba berterimakasih sekali sama kamu telah menyelamatkan hidup Shaba dan anak-anak."Ditatap penuh bahagia, Sam terdiam lama. Mungkin awalnya ketika menikahi Shaba, ia memperlihatkan sisi angkuhnya. Namun, semua itu hanya kedok menutupi agar Alishaba tak menolak pinangan untuk kedua kalinya. Karena mau ditaruh mana harga dirinya jika lagi-lagi seorang Samson tampak tak layak untuk wanita cantik yang menjadi pusat hidupnya.
"Kalaupun Shaba hingga saat ini masih pada titik terendahnya, rasanya percuma semua kemampuanku, Baba. Apa gunanya memiliki harta dan cinta jika belum juga bisa membahagiakan seorang Alishaba."
Samson mungkin bukan sepenuhnya lelaki baik dan sempurna. Adanya harta tidak lebih diperuntukkan kehidupan lebih baik pada anak istrinya. Saat ini pun, ia masih belajar dan berusaha agar semua berjalan sesuai semestinya. Dan beruntung, semesta perlahan seakan mendukungnya.
"Baba, titip Shaba, kamu jelas lelaki terbaik untuk hidupnya." Emran begitu bangga pada menantunya. Tolong ingatkan pada tubuh rentanya agar selalu kuat dan seterusnya mampu melihat kebahagiaan mereka.
Perbincangan penuh emosional harus berakhir ketika suara Faith dan Elea terdengar. Kedua pria berbeda generasi lantas berderap menuju ruang makan yang saat ini telah disulap bergaya ala restoran, dengan perabotan kursi kayu berukiran unik dan etnik yang pagi tadi baru datang di antar.
***
Alishaba, Faith dan Elea beserta papinya melambaikan tangan saat mobil milik Emran bergerak meninggalkan pekarangan. Terhitung hanya dua hari pria tua itu tinggal. Sesuai rencana, usai mengadakan acara syukuran berkat rumah baru dihadiri tetangga sekitar, Emran berniat pulang.
Kini rumah kayu tinggal hanya keluarga kecil Sam. Mereka masih berdiri di depan rumah diiringi tatapan sedih melihat kepergian mobil Emran. Bahkan Faith dan Elea meneteskan air mata harus berpisah dengan sang kakek. Kakek baiknya.
"Sudah tidak apa-apa, besok kakek Baraq dan Nenek Jelena berganti datang ke sini menemui Faith dan Elea." Shaba mengelus punggung keduanya. Mereka masih meringkuk di pelukan, bersamaan terdengar suara lirih isakkan kesedihan.
Melihat kedua putrinya terisak pilu, Sam menarik napas panjang. Lalu ia pun berjongkok mengambil alih atensi anak-anak.
"Jangan sedih terus ya, Sayang. Coba katakan pada Papi, besok Faith dan Elea ingin dibawakan oleh-oleh apa dari Kakek dan Nenek di Singapura?"
Mendengar ucapan sang papi, keduanya lantas menoleh disertai wajah sembap.
"Faith mau anak doggie lucu, Papi." Anak sulung pertama pun berakhir menjawab. Tak lama Elea juga berteriak semangat. "Elea, mau rumah boneka barbie, Papi."
Melihat kembali binar ceria sang anak, Sam mengangguk mengerti. "Baiklah, nanti akan Papi katakan pada Nenek melalui telepon."
Sam, mengerling pada sang istri setelah berhasil menggandeng lengan mungil mereka.
Kontan Alishaba harus banyak-banyak bersabar. Padahal kelinci dan marmut baru saja dibuatkan kandang, sekarang justru akan menambah binatang peliharaan.
Meski begitu, ia tidak mempermasalahkan Sam untuk memanjakan asal masih di batas kewajaran. Walau bagaimana pun, putrinya masih terlalu dini jika dicekoki perihal kemewahan. Inginnya sekarang, mereka tumbuh dengan baik disertai penuh kasih sayang.
Kemudian, Alishaba beralih menekuri pekerjaan membersihkan kamar. Tinggal di pedesaan, ia memang tidak mengizinkan Sam membawa pelayan.
***
Malam harinya setelah menidurkan anak-anak. Alishaba menghabiskan waktu berdua bersama Sam di balkon kamar ditemani cahaya rembulan. Duduk di atas kursi kayu berlapis kain beludru menjadikan momen saat ini begitu tenang.
Perempuan itu mengenakan gaun malam terusan tetapi masih terlihat sopan. Setidaknya tidak menimbulkan hawa dingin menusuk, kalau ia memakai pakaian tertutup.
Di usapnya lengan berotot suaminya yang melingkari pinggang. Shaba mendongak lalu tersenyum tipis melihat rahang tegas pria itu.
"Kamu terlihat seperti wanita yang sedang jatuh cinta," kata Sam buka suara. Lelaki itu heran semenjak kepulangan baba, wanitanya selalu saja menatap intens padanya.
Shaba tertawa pelan, agak malu juga dikatakan jatuh cinta padahal usianya memasuki kepala tiga. Namun, tidak bisa menampik, dadanya terus berdebar setiap berpapasan dengan Sam. Apa semua itu terjadi setelah ia tak sengaja mendengar pengakuan Sam perihal sang mantan?
Suaminya itu terlihat begitu berani dan pintar. Berani mengambil kesempatan, dan pintar mencari celah lawan.
"Sayang... "
Nada suara Sam yang rendah dan dalam terdengar menyenangkan. Alishaba semakin tersenyum lebar karena protesan dari Sam.
"Aku memang sedang jatuh cinta, Sam. Bahagia karena kamu mampu membuktikan, meskipun pernah mendapat penolakan." Suara Shaba bergetar saat mengucapkan.
Lelaki itu termangu, saat sadar apa maksud dari perilaku itu, tanpa sadar ia semakin merapat pada tubuh istrinya itu.
-tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
Life Recently [END]
RomanceKalau saja saat itu Alishaba menerima pinangan Sam, ia tidak akan terlantar dengan keadaan memiliki anak kembar. Mantan suami yang dahulu paling ia harapkan, ternyata hanya membawanya pada sebuah kesengsaraan. Tubuh kecil putri kembarnya, tampak lay...