CHAPTER 19

2K 94 0
                                    

"Kamu beri apa anak itu, hingga dengan mudahnya menyerahkan koin ke kamu?" tanya Baraq pada putranya. Berulang kali ia memperhatikan benda logam berbentuk bulat. Warnanya tidak terlalu terang cenderung kusam, tetapi pantulan keemasan dari koin tersebut menjadikan Baraq tak berhenti menatap.

"Aku hanya memberi uang imbalan 500 ribu."

Baraq tercengang. "Bisa-bisanya kamu menghargai barang etnik ini semurah itu, Sam?"

"Anak itu tidak keberatan sama sekali. Lagipula di rumahnya masih banyak koin yang serupa," jawabnya tanpa melihat raut Baraq yang semakin terkejut, bibirnya sedikit terbuka dengan mata melebar.

"Astaga, rasanya papa ingin menemuinya!"

Sam lantas menoleh memandang gerakan semangat sang ayah. Kemudian, bibirnya berkedut ke atas membentuk lengkungan sekilas. "Di sini dia hanya tinggal bersama kakeknya. Dengar-dengar, beliau pensiunan jenderal bintang empat."

Mendengarnya, Baraq menggenggam erat koin dengan tekad bulat. "Papa semakin yakin untuk bertamu ke sana."

Sam mengangguk, pria itu mengerti akan obsesi sang papa perihal hobi mengkoleksi koin kuno.

"Omong-omong berapa usia anak itu, Sam?" tanya Baraq penasaran, bisa-bisanya anak itu begitu mudah menemukan koin langka. Benarkah, kakeknya ikut andil menjadi kolektor sepertinya?

"Perkiraan, 13 tahun. Gadis manis bernama, Liana." Sam tak lama terdiam mengambang, pria itu teringat anak yang irit bicara. Ini mengingatkan pada Shaba saat remaja, lain kali akan ia pertemukan mereka berdua.

***

Hari ke-empat di rumah kayu, saat waktu menunjukkan pukul tujuh pagi bersamaan sinar mentari menghangatkan bumi. Tiga pekerja dari kontraktor yang akan membangun kolam renang telah tiba.
Mengenai material, sudah datang di kirim kemarin sore oleh toko bangunan. Melihat kolam renang impian sang anak segera dieksekusi membuat Sam mengembangkan senyuman.

Shaba sendiri sejenak memperhatikan suaminya tengah berbicara serius pada tukang. Selanjutnya, wanita itu kembali berjibaku pada kompor yang sedang merebus ayam cemani kesukaan prianya. Menu sarapan pagi ini, sup ayam dan sandwich isi tuna kesukaan mertuanya.

Baraq dan Jelena sama sekali tak mempermasalahkan masakan menantunya. Lagipula keduanya lebih sering sarapan dengan segelas teh herbal hangat serta satu dua tangkup sandwich tuna.

Setelah sup ayam matang sempurna, Shaba mematikan kompor lalu menuang ke mangkuk bening. Perlahan, ia bawa mangkuk itu ke meja makan, di sana sudah ada Jelena bersama suaminya.

"Faith dan Elea belum bangun?" tanya Jelena pada Shaba ketika menyadari kedatangannya.

"Tadi waktu Shaba lihat, mereka masih tidur," sahutnya sambil menata piring kosong.

Baraq dan Jelena mengangguk.

Setelah semua makanan telah terhidang di meja. Perempuan itu melepas apron lalu segera memanggil Sam untuk segera sarapan.

Namun belum sempat Shaba keluar, Sam lebih dulu masuk. Keduanya saling pandang. Shaba tersenyum kecil. "Ayo, sarapan."

"Faith, Elea sudah bangun?" tanya Sam berderap beriringan.

Alishaba menggeleng.

"Biar aku yang bangunkan," pinta lelaki itu lantas berbelok ke lorong kamar.

Sam membuka pintu dengan pelan supaya tidak mengejutkan. Bibir pria itu terkulum melihat anak-anaknya masih terpejam dengan gaya tidur tak beraturan. Selimut dan bantal tak lagi pada tempatnya. Boneka kelinci milik Elea jatuh tergeletak di bawah sana.

Faith dan Elea tampak damai tanpa terusik olehnya. Bahkan sinar mentari yang masuk melalui celah-celah ventilasi sama sekali tak mengganggu tidur mereka. Sam geleng kepala.

Usapan hangat di kening disertai kecupan lembut ampuh membangunkan Faith. Putri pertama Shaba tampak mengerjap, netra bulat yang memiliki bulu mata lentik perlahan terbuka.

"P-papi.. "

Sam melengkungkan bibirnya. "Selamat pagi, nyenyak tidurnya?"

Anak itu mengangguk lunglai, meski begitu tetap bergerak untuk duduk diikuti rasa menguap lebar.

"Elea belum bangun, Papi?" Setelah kesadaran kembali penuh, Faith menoleh mencari sang kembaran. Tubuh kecil Elea tergolek nyenyak di ranjang terpisah dengan gaya tidur miring membelakangi.

"Kita bangunkan Elea, Ibu sudah menunggu kita untuk sarapan bersama," ucap lelaki itu membantu Faith turun dari ranjangnya.

Faith mengiyakan lalu menggoyang lengan Elea, tak lupa Sam ikut mengusap pipi bulat anaknya. Mendapat serangan dari dua tangan, mata anak itu terbuka lebar. Bibirnya cemberut seolah tak senang tidurnya terganggu.

"Bangun, Elea. Sudah siang." Ternyata Faith menyadari ketika matahari berpendar terang, padahal korden jendela kamar belum dibuka sepenuhnya oleh Sam.

Karena nada Faith yang tinggi, Elea ikut terduduk dibantu papinya. Gegas kedua anak itu meminta tolong sang papi untuk membasuh muka.

***

Jelena tersenyum bangga melihat sang cucu sangat lahap menyantap sup ayamnya. Tak sia-sia, ia membeli ayam yang memiliki ciri khas daging berwarna hitam. Inilah, bentuk perhatian seorang Jelena ketika memperhatikan asupan anak cucunya. Sering kali saat datang berkunjung, wanita itu membawa penuh barang-barang belanjaan meliputi beragam daging, sayur-sayuran dan juga buah impor segar.

Saat ini pun, kulkas dua pintu milik Shaba penuh dengan bahan makanan. Bagaimana tidak, jika Jelena rajin membawa berbagai menu bergizi dari Singapura.

Selesai sarapan, Baraq dan Jelena berpamitan akan kembali ke ibukota. Walaupun selalu menghadirkan tawa dan canda, jauh di lubuk hati terdalam, ia sangat memikirkan Miranda. Di Jakarta, anak perempuannya disibukkan oleh segudang pekerjaan. Meskipun teramat kecewa mengenai pilihan keyakinan Miranda, wanita paruh baya itu tak bisa sepenuhnya mendiamkan putrinya.

"Aku tahu pasti ini berat bagi Mama. Tapi Shaba yakin, apapun keputusan Miranda itu yang terbaik buat hidupnya," ujar Alishaba berbisik saat berpelukan dengan Jelena.

Dalam rengkuhan sang menantu, mata Jelena memerah, ia sedih dan terluka. Namun bisa apa ketika anak-anak telah dewasa tentu paham mana baik buruknya.

"Terimakasih, Shaba," balas Jelena, kini keduanya bersitatap usai pelukan terlepas.

"InsyaAllah, secepatnya kami berkunjung kembali ke Jakarta."

Jelena mengangguk senang, ia tersenyum lebar. Tentu, sebagai orangtua selalu menantikan kedatangan anak cucunya.

"Jaga diri kamu di sini, pastikan Sam selalu memperlakukan kamu dengan baik." Jelena mengelus bahu Shaba. "Beruntung Faith dan Elea memiliki kamu, dan tentunya Mama lebih bahagia Sam menikahimu."

Shaba tertawa dengan sorot mata berkaca. Ia tersenyum tipis ketika jantungnya terasa kembali berdegup, letupan bahagia sangat menyenangkan baginya.

Untuk kedua kalinya, keluarga kecil Sam berdiri di depan rumah kayu melambaikan tangan mengiringi kepergian mobil orangtua.

"Hati-hati di jalan Kakek Baraq dan Nenek Jelena." Bedanya, sekarang Faith dan Elea tak mengeluarkan air mata. Senyum lebar terkembang di bibir mungilnya.

Di sisi lain, justru Jelena mengusap pipinya yang basah. Baraq sendiri hanya bisa menghela napas pasrah.

-tbc-

Life Recently [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang