CHAPTER 22

1.7K 93 0
                                    

Setelah menunggu lebih dari satu bulan, kolam renang sebentar lagi rampung dikerjakan. Dengan luas 4x7 meter dan kedalaman kurang lebih 60 cm sangat aman digunakan anak-anak. Para tukang tampak sibuk bekerja di tahap finishing memasang keramik usai memastikan mesin sirkulasi dan pipa-pipanya.

Karena di halaman samping disibukkan oleh lima orang pekerja, Shaba meminta Faith dan Elea agar tak jauh-jauh darinya. Pagi ini selesai sarapan, perempuan yang mengenakan sepatu bot tengah disibukkan menanam bunga.

Dibantu anak-anak, Shaba tertawa kecil melihat Faith dan Elea justru sibuk bermain tanah di dalam pot. Di sisi lain mungkin bukan membantu, tapi Shaba tak akan menegur apa yang diperbuat putrinya itu.

"Selagi Ibu menata pot bunga, Faith dan Elea jangan ke mana-mana ya."

Diingatkan seperti itu, keduanya mengangguk saja.

Berbeda dengan Shaba yang santai, Sam terkejut mendapati putrinya tampak kotor bermain tanah. Pria itu berdecak, mengapa dibiarkan? Kalau nanti terinfeksi cacing bagaimana?

"Nggak perlu khawatir, Sam. Anak-anak harus diperkenalkan cara menanam dan bentuk tekstur tanah," kata Shaba berupaya mencegah saat mengetahui sang suami kedapatan tak senang.

Mata pria itu menyipit tanda tak setuju. "Tanah itu kotor dan coba kamu lihat, kuku mereka bisa saja kemasukan virus cacing berbahaya."

Omelan Sam tak menjadikan Shaba tersinggung. Perempuan itu tersenyum tipis sambil sibuk menata bunga anggrek di undakan tangga. Sesudah itu, sejenak ia tatap sang suami yang masih berkacak pinggang menatap tajam apa yang dilakukan Faith dan Elea.

"Nanti mereka akan cuci tangan sampai bersih pakai sabun. Lagipula mereka juga nggak sering main kotor, " sahut Shaba begitu sabar menjelaskan. "Dan jangan lupakan setiap 6 bulan sekali anak-anak minum obat pencegah cacing, Sam. InsyaAllah, pasti aman," lanjutnya memaparkan.

Perlahan, lelaki itu menerima, mungkin sesekali ia harus memaklumi. "Baiklah. Tapi tetap saja, aku akan sering periksa mereka ke dokter untuk jaga-jaga."

Melihat Sam mulai melunak, Shaba menghembuskan napas lega. Sebenarnya menghadapi saat-saat sang suami protektif lumayan menyulitkannya.

"Iya, senyaman kamu saja," jawab Shaba kembali beralih menyelesaikan pekerjaannya. Tanaman bunga yang ia pilih memiliki jenis anggrek bulan dan anggrek cattleya.

Sam yang tak ingin mengganggu kesibukan istrinya lebih memilih mengawasi Faith dan Elea. Tak jarang lelaki itu kelepasan menegur ketika Faith tanpa sengaja mengelap tangan ke pakaian dan berakhir meninggalkan noda.

"Sudah ya, Faith dan Elea sekarang pergi mandi," katanya. Pada akhirnya Sam tak tahan melihatnya.

Karena kesenangan dihentikan oleh sang papi, wajah Elea merengut tak suka. Padahal anak itu baru menemukan hewan kecil lucu.

"Sebentar lagi, Papi," rengek anak itu mengiba dan diangguki oleh saudaranya.

Diperhatikan dengan sorot mata menggemaskan, Sam memalingkan wajah tak tahan. Dalam hati, ia menggerutu bisa-bisanya anak-anak merayu dengan sorot lucu. Mana bisa ia menghilangkan binar itu.

"Lihatlah Papi. Elea suka cacing ini. Lucu dan lembek," katanya memberitahu kemudian jemari mungilnya mencapit tubuh cacing yang menggeliat.

Sontak Sam terbelalak, jantungnya terasa turun ke lambung. Dengan panik, ia pun tak sadar membentak.

"Buang makhluk menjijikkan itu!"

Ditegur dengan nada keras ditambah raut wajah sang papi tampak menyeramkan. Elea menangis histeris ketakutan atau lebih tepatnya terkejut akibat suara menggelegar.

Mendengar suara bentakan dan tangisan, Shaba khawatir lalu secepatnya mendekat. Perempuan itu menatap bingung ketika mendapati sang suami terdiam tegang dan juga syok.

"Sudah nggak apa-apa, biar anak-anak aku yang mengurusnya," kata wanita itu menenangkan. Shaba mengerti, suaminya sedang dilanda krisis kepercayaan.

Melihat kedatangan sang ibu, suara tangisan Elea perlahan mereda, di sisi lain Faith yang melihat kejadian itu terdiam dengan mata memerah. Tubuh kecilnya pasrah digandeng sang ibu menuju ke rumah.

Selama Shaba sibuk memandikan kedua putrinya. Sam mengusap kasar wajahnya, jujur lelaki itu benar-benar kalut sampai tak sadar membentak mereka. Jika sudah begini, ia bingung harus menghadapi sang putri. Bagaimana jika Faith dan Elea sakit hati? Apa mereka mau memaafkan papinya ini?

Semua ini gara-gara cacing sialan pikir Sam.

***

Hingga malam tiba, tak juga terdengar suara menggemaskan dari mereka. Sejak dimandikan, anak-anak itu berdiam di kamar dan merengek meminta sang ibu menemani di dalam. Baru saat mereka terlelap, Shaba sejenak bebas keluar.

Hampir setengah hari fokus menemani, Shaba tak menemukan batang hidung suaminya. Tanda-tanda lelaki itu di dalam rumah juga sirna. Ke mana perginya?

Lalu Shaba memilih bertanya pada dua asisten rumah tangga. Namun hanya gelengan ketidaktahuan yang ia terima. Shaba lantas mencari ponsel untuk menghubungi suaminya.

Nada tak tersambung membuat Shaba dilanda kekhawatiran. Ada apa sebenarnya dengan Sam?

Sampai pukul sembilan malam terus dilanda keresahan menyebabkan Shaba tak berselera makan, barulah terdengar suara motor tiba di pelataran. Dari balik tirai jendela, perempuan itu melihat siapa yang datang.

Terlihat jelas, Sam yang mengendarai motor tersebut. Pria itu mengenakan jaket kulit dan celana panjang sambil membawa tiga kantung plastik.

Shaba gegas berderap membuka pintu, ia menahan napas saat bersitatap dengan pria itu. Sam tampak kusut, sorot matanya juga lelah.

"Belum tidur?" tanya Sam berusaha tersenyum seolah meyakinkan bahwa dia baik-baik saja.

Alishaba menggeleng lalu bergerak menyingkir membiarkan pria itu masuk. Selama suaminya melangkah ke belakang, Shaba memilih tutup mulut.

"Maaf, kamu pasti khawatir," ucapnya setelah menaruh jaket kulit ke dalam keranjang khusus pakaian kotor.

"Kamu beli apa?" Shaba lebih memusatkan perhatian pada kantung plastik yang tergeletak di meja.

"Hanya mainan anak-anak. Juga muffin kesukaan kamu."

Itu berarti Sam telah berkendara dengan jarak yang lama. Alishaba menarik napas panjang. Ia mendekatkan diri pada pria itu, kemudian ditatapnya penuh rindu. "Usahakan kalau pergi kamu izin dulu."

"Iya, ke depannya nggak akan aku ulang," katanya menyambut rengkuhan. "Aku bau dan kotor," gumamnya saat Shaba justru menenggelamkan diri ke dekapan.

"Nggak apa-apa."

Sam mengangguk membiarkan.

Lima menit saling berbagi kehangatan, Shaba bergerak renggang lalu mendongak. "Kalau kamu sedang kalut, kamu boleh cerita sama aku. Bahaya kalau kamu berkendara dalam keadaan nggak baik-baik saja."

Mendengar penuturan sirat perhatian, melegakan dada Sam yang semula berat dan sesak. Ia kira istrinya marah sebab Elea menangis karenanya.

"Aku nggak sengaja membentak Elea. Aku kecewa dengan diriku karena nggak bisa menahan diri. Maaf, belum bisa menjadi sosok papi yang baik bagi mereka."

Sam bersungguh-sungguh mengatakannya.

Melihat betapa besarnya penyesalan lelaki itu, tangan mungil Shaba terulur berpindah merangkul leher suaminya. Ia pun berjinjit. "Nggak apa-apa, kamu nggak sengaja."

Kalut dan gemetar akan kedekatan, juga napas hangat Shaba mendera. Sam menunduk mendekatkan wajahnya dengan mata terpejam menyatukan bibir mereka.

-tbc-

Life Recently [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang