CHAPTER 10

2.9K 144 0
                                    

Sejak bayi, Alishaba diasuh oleh sang nenek. Dia terlahir tanpa ayah karena sang ibu hamil di luar nikah.  Kejadian itu terjadi saat ibunya bekerja di luar negeri menjadi TKI. Setelah melahirkan pun jarak satu tahun ibunya mendadak meninggal dikarenakan riwayat penyakit paru-paru menjadikan umurnya tak panjang.

Selain figur orangtua tak mengiringi kehidupannya, Alishaba tinggal di rumah sederhana berdampingan dengan Villa milik keluarga Baraq dan Jelena. Sejak saat itu sewaktu keluarga itu liburan, Alishaba sering berjumpa dengan Sam.

Sampai usia 17 tahun, Alishaba harus hidup sebatang kara sebab sang nenek ikut menyusul mendiang ibunya. Di hari terberat, Sam selalu ada di sampingnya. Lelaki itu meskipun disibukkan sekolah selalu menyempatkan diri menemani Alishaba.

Lalu ketika lulus SMA, Jelena dengan sukarela membiayai kuliah Alishaba. Tak hanya itu, usai lulus perguruan tinggi pun, keluarga Vittori juga memberi perempuan itu pekerjaan Walau bukan jabatan tinggi setidaknya wanita itu bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Secara tidak langsung keluarga Sam adalah sosok penolong yang dikirim oleh Tuhan. Namun, kedamaian itu terjadi tak berlangsung lama. Saat usianya memasuki 25, tiba-tiba Sam melamarnya. Tentu Alishaba tak menyangka.

Dulu, Alishaba pikir kedekatan mereka hanya berwujud sebagai sosok teman. Walau terkadang disisipi perasaan berbunga ketika remaja, ia tidak pernah berpikir sedikit pun untuk menjadi pendamping lelaki itu.

Perbedaan kasta tentu menjadi penyebabnya. Samson merupakan putra sulung keluarga konglomerat yang memiliki segudang prestasi tentu tidak cocok disandingkan dengan perempuan sepertinya. Perempuan tak jelas asal-usulnya juga hanya hidup sebatang kara.

Pada saat itu tanpa banyak waktu, Alishaba menolak lamaran Sam. Akan tetapi, kegigihan pria itu benar-benar membuatnya tercengang. Tak pernah terbayangkan, keluarga Sam sampai menghadirkan sosok ayah kandungnya yang selama ini ia nantikan. Emran. Pria paruh baya kelahiran Brunei Darussalam.

Keluarga Vittori pikir dengan kehadiran pria yang menghamili sang ibu mampu menyetarakan derajat Alishaba. Emran ternyata bukan lelaki biasa. Selain pria tukang menikah dan mempunyai banyak istri, harta kekayaan Emran sama dengan milik Vittori Company.

Sakit hati sekaligus mati rasa, Alishaba tak sedikit pun tergugah akan itu semua. Baginya sudah cukup terlambat. Tanpa kehadiran Emran hidupnya berjalan dengan baik. Tidak peduli penolakan tersebut menyakiti hati keluarga Sam yang telah banyak membantu. Alishaba bertekad untuk tidak lagi berurusan dengan keluarga itu.

Menikah dengan pria kaya baginya sangat merepotkan dan melelahkan. Sejak dulu calon pendamping yang diinginkan sederhana saja. Lelaki keturunan biasa, dan memiliki mimpi sama dengannya. Dan semua itu ada pada Leon Raguna—mantan suaminya sekaligus ayah kandung Faith, Elea.

Pikirnya menikah dengan Leon dan menjauhi keluarga Sam adalah keputusan bijak. Akan tetapi, kenyataan menamparnya hingga telak.

***

"Maafkan papa telah lancang sama kamu, Shaba."

Di ruang tamu, keduanya duduk berhadapan. Baraq menghela napas sesal. Apalagi melihat dengan jelas sorot pias milik sang menantu. Bisa dikatakan, terlalu cepat Baraq membuka luka lama itu.

Alishaba kali ini tidak bisa menghindar. Dia sudah tua, dan juga telah menjadi seorang ibu. Maka dari itu usai sarapan, ia meminta izin untuk berbicara empat mata pada mertuanya.

"Apakah baba sehat, Pa?" Alishaba justru bertanya mengenai sosok ayahnya. Raut wajah tegang kini mulai memudar, berganti rona kerinduan.

"Babamu, sering tak sehat. Terakhir papa bertemu, saat ia di rawat di Singapura."

Alishaba terpaku. Apakah untuk kesekian kalinya ia terlambat?

"Papa harap, kamu mau memikirkan tawaran papa." Baraq menarik napas. Ditatapnya lamat-lamat wajah murung milik wanita itu. "Ada Faith dan Elea, tidak mungkin kamu membiarkan anak itu tak mengenalnya."

Alishaba tercenung lama, setelah lama menimbang. Perempuan itu mencoba tenang. Sudah saatnya ia berdamai dengan masalalu. Dirinya memang tidak langsung melupakan, tetapi paling tidak berusaha memperbaiki masa depan.

"Atur saja kapan jadwalnya, Pa. Kami akan menemui baba."

Jawaban tak terduga tentu melegakan hati pria paruh baya. Baraq lantas menyunggingkan senyum teduh. "Bagus, Shaba. Papa senang mendengarnya. Akan papa pastikan sebelum kepindahan kalian, Emran akan tiba di Jakarta. Secepatnya."

Alishaba tak menyahut, ia cukup menggangguk.

***

Waktu terus bergulir, rumah tiga lantai kini tak lagi ramai. Baraq dan Jelena serta Miranda memutuskan pulang meninggalkan kediaman Sam. Omong-omong tentang suaminya, setelah berbicara penting dengan Miranda. Pria itu tampak sibuk di ruang kerja. Katanya ada beberapa hal yang harus diselesaikan.

Sebagai istri, sebisa mungkin Alishaba tak mengganggu konsentrasi Sam. Bermain di halaman belakang bersama sang anak adalah pilihan paling benar. Ditemani angin sepoi-sepoi serta menggelar tikar di bawah pohon, ia memperhatikan Faith dan Elea yang sibuk memberi makan kelinci dan marmut.

Berbagai jenis sayuran berserakan, ada wortel dan kangkung sebagai santapan para binatang peliharaan. Faith dan Elea bergantian menyodorkan makanan ke mulut kelinci dan dibalas gigitan lahap oleh makhluk berbentuk lucu.

"Sudah kenyang kah, Ibu?" Faith bertanya ketika Kelinci tersebut lebih memilih berlarian ketimbang menerima sodoran wortel yang tinggal separuh.

"Iya, Sayang. Biarkan kelinci bermain. Sekarang waktunya Faith dan Elea makan siang."

Sontak kedua anak itu berhamburan menuju tikar. Telah tersaji beberapa lauk di piring beserta nasi. Tidak lupa pelayan juga membawakan buah sebagai camilan.

Faith dan Elea terlebih dahulu mencuci tangan sebelum menyantap makan siang yang disuap oleh sang ibu. Pilihan menu telur ceplok dan rebusan hati ayam membuat keduanya lahap menikmati suapan.

"Ibu, papi kerja kah?" Disela mengunyah Elea bertanya.

Alishaba mengangguk sambil menyerka bibir Faith yang belepotan. "Papi kerja sebentar. Sore nanti, baru kita ke taman. Kalian senang?"

"Waw... Faith mau es krim."

"Elea, no es krim. Mau pentol-pentol."

Sontak gerakan menuang air ke gelas terhenti, Alishaba menatap selidik. "Pentol apa itu? Elea tau dari siapa?"

Merasa terkejut karena reaksi sang ibu. Elea beringsut. "Kata bibi, Ibu."

Teringat Miranda yang pagi tadi membawa kedua putrinya memutari taman, lantas Alishaba menarik napas panjang.

"Kalian masih kecil, belum boleh makan pentol."

Elea mengangguk, anak itu juga teringat akan nasehat sang bibi sewaktu pagi tadi tak sengaja mendapati pedagang gerobak yang mangkal di pinggir jalan.

"Ibu, Faith mau buah saja." Anak itu menunjuk potongan buah apel dan anggur di mangkuk.

Alishaba lantas dengan senang hati memberi.

Di sisi lain, kegiatan mereka ternyata terpantau dari lantai tiga. Sam yang merasakan penat pada tubuhnya akibat terlalu lama duduk dan menatap layar laptop berniat melihat area rumahnya. Pria berusia 31 tahun tersenyum simpul menatap keakraban anak istrinya melalui kaca jendela. Samar-samar ia juga mendengar rengekan Elea yang sibuk meminta susu panasnya.

Kenapa Sam tiba-tiba rindu sekali pada mereka? Padahal baru sebentar ia sibuk pada pekerjaan, bukannya seharian. Efek Alishaba memang tak tertandingkan.

....

Life Recently [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang