CHAPTER 14

2K 108 2
                                    

Sekembalinya dari toko furniture, Sam dan Alishaba sibuk dengan tugasnya. Jika Shaba mengurus kedua putrinya, Sam sendiri mendengar Baraq dan Jelena tak bisa lama menginap di rumah Jakarta. Lusa bertepatan hari raya natal, mereka berencana akan merayakan di Singapura bersama kerabatnya. Keluarga Jelena memang lebih banyak tinggal di negara tetangga daripada di Indonesia.

Tidak terduga sebelum keberangkatan, di ruang keluarga justru tengah bersitegang.

"Kenapa harus absen, Miranda? Mama paham kamu sedang disibukkan urusan kantor. Tapi ini hari besar, akan banyak kerabat mama dan papa yang akan bertanya mengenai kamu." Jelena berseru kecewa.

Melihat itu, Sam menatap lekat adik perempuannya. Ini bukan Miranda yang ia kenal, adiknya itu tak pernah sekalipun pindah haluan. Apalagi perkara hari besar yang hanya terjadi sekali setiap tahunnya.

"Aku sudah dewasa. Tanpa aku, kehadiran kalian kurasa lebih dari cukup," sahut Miranda santai.

"Pa! Kasih paham Miranda. Mama pusing," keluhnya meminta pada sang suami. Kini Baraq lantas berdiri setelah sedari tadi hanya diam mendengarkan.

"Yakin tahun ini kamu merayakan di sini?" tanya Baraq menatap lekat putrinya.

Wanita dengan tubuh tinggi semampai mendengkus kesal. Ia lelah terus-terusan menyanggah. Walau sedikit enggan karena ada sang kakak, ia pun menjawab. "Lebih tepatnya Mira nggak merayakan, Pa."

Ucapan itu seakan menghantarkan sengatan listrik pada Jelena. Tubuh wanita paruh baya itu kaku, bibirnya kelu, ia tak menyangka putri bungsunya berkata seperti itu. Ini mengingatkan saat-saat dahulu.

"Papa tidak salah dengar bukan? Yakin kamu akan mengikuti jejak kakakmu?" tanya Baraq tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

Sam menarik napas panjang. Ia memandang bergantian pada orangtuanya dan juga Miranda. Apa ada sesuatu yang tidak diketahuinya?

Masih juga bungkam, Miranda tak gentar menatap balik mata sendu sang ayah.

"Astaga, Tuhan! Kenapa dengan anak-anakku." Jelena terduduk pucat setelah memahami apa yang membuat putrinya berubah.

Terjadi keheningan dengan perasaan tegang, Miranda berdehem ingin mengakui apa yang tengah ia sembunyikan.

"Aku masuk islam."

Sam terkejut. Ia menatap tak percaya pada Miranda. Berbeda dengan sang kakak yang terdiam tegang, tangisan lirih Jelena mulai terdengar. Baraq sendiri menghela napas berat dengan kepala tertunduk lelah.

"Lebih tepatnya, dua bulan yang lalu tanpa paksaan siapapun." Miranda menelan ludah yang terasa pahit. "Maaf jika keputusanku membuat kalian kecewa." Terdengar tulus saat Miranda mengucapkannya.

"Kalian sudah dewasa, sebagai orangtua, papa hanya bisa mendukung dan mendoakan." Berbeda dengan Jelena yang masih terisak, Baraq tampak menerima meski raut wajahnya mendung luar biasa.

"Mama masih nggak habis pikir. Ini... terlalu mengejutkan." Isakkan Jelena mereda, namun sisa-sisa air mata terlihat jelas di wajahnya.

Melihat kekecewaan sang mama, Miranda menarik napas bersalah. Perempuan itu perlahan mendekati Jelena. Ia berniat menyentuh tangan sang mama. Namun, belum sempat terjadi, Jelena menarik diri menolak bersentuhan dengan putrinya.

"Mama berangkat. Jangan hubungi mama untuk saat ini sampai kamu yakin dengan keputusanmu."

Jelena keluar dengan langkah kaki terseret. Tak lama disusul Baraq usai memberi senyum menenangkan untuk kedua anaknya. Seolah semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan ke depannya.

***

Sarapan pagi ini tampak berbeda dari biasanya. Terdapat tiga kursi kosong di antara mereka. Emran dan sang istri mengangguk mengerti setelah Sam memberi informasi mengenai kepulangan orangtuanya.

"Tahun baru, baba berencana membawa Faith dan Elea berlibur ke Selangor. Apa kalian mengizinkan?"

Sontak Alishaba dan Sam saling pandang. Keduanya tampak bingung, mengingat awal tahun nanti berencana pindah rumah.

Seolah mengerti, lelaki itu lantas mengambil alih. "Sam, rasa, ini masih terlalu dini untuk Faith dan Elea bepergian jauh. Maaf, bukan bermaksud menolak, Baba. Kami sejujurnya sudah memiliki agenda sendiri."

Emran mengangguk. Apalah dia hanya orangtua asing yang baru hadir. Tidak sepantasnya terlalu memonopoli anak cucunya.

"Baiklah, baba, paham."

Pasangan suami istri itu tersenyum lega menatap Emran mau menerima saran dari mereka. Tak lama, ruang makan kembali hening yang tersisa hanya suara denting sendok dan piring.

"Ah, iya. Mengenai perabotan, Sam berterimakasih sekali dengan, Baba," kata Samson usai menyelesaikan sarapan.

Emran yang hendak mengikuti langkah sang cucu menuju halaman belakang seketika terhenti. Pria tua itu tersenyum lebar, rasanya begitu menyenangkan pemberiannya diterima dengan baik oleh anak menantu.

"Tidak perlu berterimakasih, Sam. Itu memang sudah menjadi hak kalian."

Pria dengan tubuh tinggi besar sedikit menyesal. Jika seperti ini, ia tidak yakin bisa terhindar dari barang-barang pemberian di kemudian hari. Padahal istrinya telah memperingatkan.

"Ya sudah, baba mau menyusul cucu dulu. Habiskan waktumu saja dengan anakku selagi Faith dan Elea tidak mengekori ibunya. Baba ingin cucu laki-laki... " bisiknya di akhir kalimat.

Sam tersenyum tipis. Meski begitu ia tetap mengangguk seakan mengiyakan permintaan itu.

Sepeninggal Emran, lelaki itu melangkah mencari keberadaan sang istri. Alishaba tampak sibuk di kamar merapikan pakaian di dalam lemari.

Mendengar pintu terbuka sekaligus tertutup secara ringan, Shaba tahu jika itu adalah Sam. Wanita itu membalikkan tubuh saat merasakan aroma suaminya terasa begitu dekat. Keduanya lantas saling bersitatap.

"Nggak perlu kamu rapikan, Sayang. Apa gunanya ada pelayan."

Sam tak begitu suka istrinya selalu sibuk dengan pekerjaan yang bukan kewajiban.

"Pelayan memang ada Sam, tapi merapikan pakaian dalam kamu bukan tugas mereka," jawabnya tersenyum geli. Shaba lalu bergerak perlahan keluar dari kungkungan sang suami.

Sam berbalik sambil mengerutkan dahi ketika mendapati Shaba menepuk sisi ranjang kosong yang diduduki.

"Kita perlu bicara."

Nada serius Alishaba membuat Sam segera mendekati. Lantas keduanya duduk berdempetan.

"Benar Miranda sedang bertengkar dengan mama?"

Teringat kembali masalah itu, Sam menghembuskan napas berat. Pria itu berdehem kaku. "Mira, mengikuti jejakku."

Alishaba tampak kebingungan, apa maksudnya itu?

"Miranda mualaf sepertiku... Shaba."

"Kamu yakin?" Wanita itu terdengar ragu, pasalnya kabar ini terlalu tiba-tiba. Alishaba bahkan tidak melihat gerak-gerik aneh pada Miranda. Seperti halnya, beribadah ataupun berdoa saat makan, sesuai syariat islam.

Apa itu tidak terlalu membingungkan?

-tbc-

Life Recently [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang