CHAPTER 23

1.5K 82 0
                                    

Alishaba terbangun dengan perasaan berbeda. Saat membuka mata, ia langsung disuguhkan tubuh suaminya yang bertelanjang dada. Usai melakukan hal menyenangkan, keduanya memang belum sempat berpakaian lengkap.

Kini waktu menunjukkan pukul empat, setengah jam lagi azan subuh berkumandang. Gegas, wanita itu turun dari ranjang untuk membersihkan diri. Dengan tubuh terlilit selimut, ia mengumpulkan pakaian yang tercecer dilantai untuk ditaruh ke keranjang kotor.

Di sisi lain, Sam mengerjap akibat suara langkah kaki berderap. Lelaki itu mengernyit tak mendapati istrinya di ranjang. Barulah lampu utama dihidupkan, Sam melihat sang istri yang sedang sibuk mengambil handuk.

"Nggak dingin mandi sekarang?" tanya Sam, suaranya terdengar serak dan dalam.

Shaba menoleh ke arah pria itu. "Sekalian mau shalat subuh. Kamu jangan tidur lagi ya, kita shalat sama-sama."

Seakan ucapan mengandung undangan, Sam berdiri menjulang. "Kalau gitu, boleh kita mandi bersama?"

Belum sempat menjawab, Sam sudah lebih dulu membuka pintu. Shaba pun mendesah pasrah, dengan langkah terseret, ia turut bergabung masuk mengikuti sang suami.

Kamar utama mereka memang mempunyai kamar mandi di dalamnya. Tak terkecuali kamar milik Faith dan Elea. Bukan tanpa alasan Sam membuatnya, karena kamar mandi di dapur diperuntukkan asisten rumah tangga.

Tepat pukul lima, Shaba dan Sam menyelesaikan kewajibannya. Wanita yang mengenakan mukena mencium punggung tangan suaminya kemudian dibalas kecupan hangat di keningnya.

Pagi ini, keduanya memiliki doa yang sama. Selalu ingin hidup berkecukupan dan juga dijauhkan marabahaya. Sam dan Shaba memang hanya manusia biasa, meski ada harta berlimpah, tak menjadikannya jumawa.

"Kamu semakin terlihat berkali lipat ketampanannya," puji Shaba menatap lekat sang suami yang memakai baju koko dan sarungnya, tak lupa songkok penutup kepala.

Mendengar pujian tulus itu, Sam tak bisa menyembunyikan rasa bahagia. Jantungnya berdegup kencang, padahal Sam masih banyak kekurangan, apalagi mengenai ibadah dalam islam. Shaba mau mengajar dengan sabar itu sebuah keberkahan. Harapan dan tekad di masa depan, ialah mampu menjadi imam bagi keluarga kecilnya hingga menuju surga-Nya.

"Terimakasih, atas pujiannya."

Shaba mengulum senyum, sekali lagi dikecupnya punggung tangan lalu bergantian bagian telapak milik Sam. Dalam hati, Shaba memasrahkan baktinya pada sang suami, semoga Allah memberkahi.

Tak ingin berlarut dalam kemesraan, Shaba dan Sam lekas berganti pakaian. Rencananya, seharian ini mereka akan menghadiri acara badan amal.

Shaba memutuskan hanya membuat pancake pisang dan dua gelas susu hangat sebagai menu sarapan. Jika Shaba sibuk di dapur, sementara Sam meminta pengasuh untuk memandikan Faith dan Elea. Mereka tidak hanya pergi berdua, anak-anak tentunya dibawa.

Sesudah Faith dan Elea berpakaian lengkap. Sam membawa keduanya ke ruang makan, di sana Shaba telah selesai menyajikan menu sarapan.

Menikmati makanan tanpa terburu-buru meski jam delapan sudah harus bersiap, tak menjadikan Shaba lelet bergerak. Usai sarapan, wanita itu lekas berganti pakaian. Busana yang dipakainya senada dengan Sam. Bersetelan sopan dan tidak menimbulkan hawa kegerahan.

"Rambut Faith dan Elea, Ibu ikat dulu."

Pilihan rambut kepang dua menjadi kesenangan bagi mereka. Faith dan Elea, terlihat menggemaskan karena pipi kemerahan dan mata bulatnya.

"Sayang, dompet kamu dijadikan satu di tas aku," seru wanita itu memberitahu. Sam yang tadinya sibuk menyemprotkan parfum mengiakan ucapan istrinya itu.

Tak lama kemudian, setelah semua anggota keluarga bersiap. Mereka lekas masuk ke mobil yang akan dikemudikan oleh sang sopir.

Di sepanjang perjalanan, Faith dan Elea sibuk memainkan boneka kucingnya. Boneka yang baru saja dibeli Sam tadi malam sebagai bentuk permintaan maaf akibat kelalaian. Dan untungnya, baik Faith maupun Elea, menerima dengan senang hati permintaan maaf sang papi begitu juga hadiahnya.

Omong-omong tentang desa ini, tempat tinggal yang dipilih Sam memang bukan sebuah pedesaan biasa yang semua aksesnya sulit dijangkau. Desa yang terletak di pinggir kota, memiliki jalan lebar dan besar. Memudahkan kendaraan roda empat berlalu lalang.

Setiap tamu yang datang, harus melewati serangkaian keamanan seperti menyerahkan kartu identitas di gerbang depan. Penjaga akan memberi arahan jika tamu tersebut layak untuk bertandang. Tak hanya itu, penghuni di sini sebagian besar adalah keluarga kelas atas yang menginginkan hidup damai akan lingkungan hijau.

Perihal aset lahan, maupun pekarangan, serta pinggir jalan dilengkapi lampu penerang dan juga kamera pengintai. Namun, tempat di sini tidak menyediakan fasilitas lengkap meliputi sekolah. Desa yang terdiri dari 70 hunian hanya bisa mengakses masjid, minimarket, apotek, dan puskesmas 

Lantas beralih pada mobil yang ditumpangi Sam beserta keluarga, butuh waktu satu jam untuk tiba di tempat acara. Dalam sekejap yang tadinya Faith dan Elea sibuk bersuara, mulai menguap tanda kebosanan tengah melanda.

"Tidur saja. Nanti setelah sampai, Ibu bangunkan."

Mendengar perkataan sang ibu, Faith dan Elea kian segera memejamkan mata. Keduanya bersandar nyaman di carseatnya.

***

Parkiran gedung dua bertingkat, kini telah dipenuhi mobil milik para tamu. Sepanjang acara, Shaba menggandeng lengan kedua putrinya, sedangkan Sam selalu didekati para kenalan untuk berbincang padanya.

Sehubung kedua anaknya sangat jarang berbaur di keramaian. Shaba tak bisa menemani sang suami hingga acara selesai. Ibu dua anak itu lebih memilih menunggu Sam di restoran.

Faith dan Elea sekarang kembali bertingkah ceria. Anak itu sibuk mengunyah makanan yang disuap ibunya. Menu daging panggang kalkun sepertinya akan menjadi santapan favorit mereka.

"Ibu... minum."

Shaba lantas menyodorkan gelas ke mulut putrinya. Faith sendiri sibuk menelan daging yang lembut dan gurih. Sedari merasa, anak itu seakan tak ingin berhenti mengunyah makanannya.

"Masih mau tambah?" tanya Shaba seraya mengusap pelipis Faith yang basah oleh titik keringat. Rambut kepangnya kini tak lagi rapi.

"Sudah, Ibu. Faith rasanya mau muntah," ujarnya menolak karena kekenyangan.

Mendengar itu, Shaba ingin tertawa sekaligus khawatir melihatnya. Bagaimana tidak ingin muntah? Jika hampir dua kali anaknya meminta tambah.

"Ya sudah, sekarang Faith dan Elea duduk manis. Ibu habiskan makanan ini dulu," kata perempuan dua anak itu.

-tbc-

Life Recently [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang