CHAPTER 16

1.9K 91 0
                                    

Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba, rombongan keluarga Emran beserta istrinya ikut mengantarkan keberangkatan Sam dan Alishaba menuju ke rumah baru mereka.

Butuh waktu kurang lebih enam jam untuk sampai ke sana. Melewati beberapa jalanan berkelok dengan hamparan sawah hijau membentang. Di sepanjang perjalanan, Faith dan Elea tampak antusias melihat pemandangan.

"Ibu, ada lembu!" Elea berseru ketika mobil mereka melewati persawahan. Lembu tersebut tampaknya dipersiapkan untuk membajak sawah, istilah menggemburkan tanah agar siap ditanami bibit padi.

"Papi, kita juga akan punya lembu kan?" Anak yang sebentar lagi berusia 4 tahun kurang dari empat bulan menatap tanya pada sang ayah.

Sam meringis diingatkan kembali perihal pembahasan lembu. Padahal niatnya tidak ke situ, ia memang sedikit berencana mencari kegiatan di tempat baru, tidak terduganya Alishaba memberi saran itu.

"Kalau Lembu nya gemuk dan sehat, mahal di jual."

Menghela napas, Sam mengangguk mengiyakan agar Elea tidak lagi memberondongi pertanyaan. Sontak, anak itu berseru gembira mendapati persetujuan papinya.

"Kamu yakin, Sam?" Shaba bertanya ragu. Pasalnya, kemarin sarannya  tidak lebih dari upaya candaan, syukur-syukur Sam mengabulkan tidak ada unsur sedikitpun pemaksaan.

"Iya tentu yakin. Tapi kurasa kita hanya butuh dua tiga lembu saja. Biar nggak repot," jawabnya mengambang seolah berpikir. "Lahan sebelah masih kosong, kita bisa tempatkan di sana."

Shaba mengernyit. "Bukannya mau dibuat lapangan futsal oleh pemiliknya."

Sam tersenyum tipis. "Masih mau kan? Belum dikerjakan."

Perempuan itu mengangguk saja. Ia lupa jika pria itu mampu berbuat apapun sekejap mata.

Perbincangan perkara lembu berganti alih saat atensi mereka fokus pada rengekkan Elea yang hendak buang air kecil. Shaba dibuat panik, khawatir jika sang putri mengompol. Padahal sedari sebelum berangkat, ia sudah memberi penawaran agar memakai pamper namun ditolak dengan dalih tidak nyaman.

Sam lantas memerintahkan supirnya untuk segera mencari toilet terdekat. Shaba berseru lega waktu melihat sebuah masjid yang tak jauh darinya. Sigap mereka berhenti diikuti tiga mobil di belakangnya, milik Emran dan mobil angkutan barang yang diperintahkan.

Setelah buang air kecil, kendaraan kembali berjalan menempuh jalanan yang sedikit berlubang dan dipenuhi kerikil kecil. Selama itu pula, Faith dan Elea memilih tidur sebab kelelahan akibat terlalu lama menghabiskan waktu duduk di mobil. Tak lama kemudian, tepat pukul tiga sore, kendaraan roda empat memasuki sebuah pedesaan. Hunian sederhana yang indah, pekarangan  yang ditumbuhi aneka daun hijau dan bunga berwarna-warni yang menyegarkan. Tak jarang di sepanjang pinggir jalan berdiri menjulang aneka pohon buah seperti mangga, manggis, jambu, dan rambutan.

Yang membedakan pedesaan di sini adalah jarak antar rumah yang tak terlalu dekat. Bisa dikatakan, tanahnya yang begitu luas cukup ditanami beragam pohon buah dan sayur.

Faith dan Elea mengucek perlahan matanya, keduanya terbangun karena gerakan tangan sang ibu mengelus dahinya. Bibir mereka merekah sempurna seraya menyerukan kegembiraan di sana. Di mata mereka tampak berdiri rumah kayu satu lantai namun desain interior berbeda dari rumah kayu biasa.

"Cantiknya... " Faith untuk pertama kalinya terkagum-kagum. Kaki mungilnya berbalut sepatu kain menginjak rumput pendek yang dipangkas rapi. Ia lantas menelusuri ke seluruh penjuru pekarangan.

Shaba tersenyum geli melihat Faith dan Elea berlarian dan melompat  dengan pengawasan Emran.

Beralih pada Sam yang sibuk mengarahkan beberapa pria bertubuh kekar mengeluarkan barang-barang.

Emran menatap lekat rumah kayu yang akan dihuni anak cucunya. Hunian tersebut terbuat dari kayu berkualitas tinggi, yang digosok sampai mengkilap lalu dipernis agar terjaga keawetannya. Tak kalah menarik sehubung lahan pekarangan di sekeliling rumah begitu luas, sangat cocok jika ditanami sayuran seperti sawi dan wortel.

Sore itu, kedatangan beberapa mobil asing membawa banyak barang, membuat masyarakat sekitar paham jika akan ada penghuni pendatang. Tak jarang, anak-anak bermain sepeda dan layang-layang berhenti sejenak untuk melihat kesibukan di rumah milik keluarga kecil Sam.

***

Malam pertama tinggal di rumah baru dengan penerangan nuansa alami tak menjadikan Faith maupun Elea ketakutan. Situasi seperti ini lumayan membangkitkan kenangan. Namun, bedanya saat ini anak itu diliputi kebahagiaan. Mereka merasa aman karena tidak akan tinggal bersama ibunya saja melainkan ada papinya, kakeknya, dan ramai sekali suasananya.

Rumah kayu tersebut memiliki ruang keluarga yang luas beralas karpet tebal nan lembut. Faith dan Elea suka berbaring dan berguling sambil mewarnai buku gambar. Di sisi pojok kanan, terdapat lemari besar berisi aneka buku dan peralatan belajar untuk kedua anak kembar. Tak jauh dari lemari ada dua kursi kayu dilapisi kain beludru agar nyaman untuk diduduki. Tak ketinggalan akuarium berukuran sedang berisi ikan hias pesanan Faith tampak berenang mengemaskan.

Beralih area dapur, perabotan dapur terisi lengkap tak terkecuali kulkas dua pintu dan kompor canggih terpasang gagah. Shaba ingat, jika kompor tersebut memiliki harga fantastis.

"Baba merasa tenang meskipun kalian tinggal di rumah kayu, Sam tetap memperhatikan keamanan dan keselamatan kalian," kata Emran setelah menyelesaikan shalat isya berjamaah. Alishaba tentu senang mendengarnya, suaminya mendapat pujian dari babanya.

"Semoga kamu dan anak-anak betah tinggal di sini. Baba mungkin tidak bisa sering berkunjung. Cukup doa baba yang selalu menggaung."

"Alishaba berterimakasih sama, Baba. Nanti setelah kembali ke Brunei, Baba tetap jaga kesehatan, juga selalu ingat di sini kami sangat merindukan," Alishaba tanpa canggung menggenggam hangat jemari keriput Emran.

Pria paruh baya itu tersenyum teduh. "Baba, harap saat datang kembali ke sini, akan hadir seorang cucu lelaki."

"InsyaAllah," Perempuan itu menjawab seadanya karena persoalan keturunan sebuah anugerah dari Allah.

"Mengenai Villa di Dago beserta aset yang lain sudah Baba katakan pada suamimu dan notaris kepercayaan." Emran berkaca-kaca saat mengatakannya. "Hanya itu yang bisa Baba berikan pada kalian, anggap saja tabungan masa depan."

Alishaba menunduk mendengarnya, walau sedikit kurang setuju namun ia telah berjanji akan menerima. Tak ingin membuat babanya kecewa. Ia pun mengangguk rela. "Akan Shaba pastikan harta itu berada di tempat yang tepat. Semoga Allah membalas kemurahan hatimu, Baba."

Emran menatap lekat, ia tidak banyak berharap. Cukup diampuni segala dosa di masalalu hidupnya pasti terasa lengkap. Akan tetapi, ia harus berpuas diri dan tidak ingin terlalu rakus meminta pengharapan. Dimaafkan dan diterima oleh Alishaba adalah sebuah keajaiban.

Sebuah kebahagiaan

Yang tak akan lekang.

-tbc-

Life Recently [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang